Sebuah Cerpen: Kampung Abal-Abal
Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten dan Pikiran Orang Indonesia
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam gundukan tanah itu sejak limabelas tahun lalu duduk di kelas tiga SD. Saat itu aku bersama teman sepermainanku, Idrus, melihat adanya warga pendatang di sekitar Kampung Kalitimbang yang menggali sebuah tanah di pinggir sungai, kemudian mengubur sebuah benda misterius sebelum ia menimbunnya dengan tanah galian. Tak berapa lama warga kampungku mempercayai bahwa gundukan tanah itu adalah makam Wali Surip yang konon dalam sejarah hidupnya pernah terbang di atas sejadahnya untuk melaksanakan solat Jumat di Masjidil Haram, Kota Mekah.
Warga pendatang itu kemudian memperkenalkan dirinya dengan nama “Ustad Samin”, di mana setiap malam Jumat menerima berbagai rupa sedekahan dari masyarakat di sekitar kampung kami. Di rumah yang didirikannya di sebelah makam Wali Surip itu ia mengumpulkan rupa-rupa sedekahan dari berbagai macam jenis bungkusan, yang terdiri dari beras, gula, minyak, mie, kopi, rokok, hingga amplop berisi uang sedekahan.
Selama limabelas tahun aku tak pernah berniat untuk mengusik kepercayaan masyarakat di sekitarku, bahkan sewaktu SD aku pernah diajak beberapa kali oleh ibuku untuk mengambil air putih dari sumur yang digali di samping makam Wali Surip, dengan jaminan dari Ustad Samin bahwa air putih itu berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, menangkal bala serta mendatangkan rizki dan barokah.
Selama bertahun-tahun warga Kalitimbang sangat mengagumi kesaktian Ustad Samin, bahkan rela memberikan berbagai rupa sedekahan, dengan harapan mereka mendapat cenderamata dari Ustad Samin berupa batu cincin atau biji tasbih, bahkan sepotong dahan kayu pun sangat diharagai warga Kalitimbang apabila mereka terima langsung dari tangan sang Ustad, yang konon telah dibacakan mantra-mantra sambil berpuasa di atas makam Wali Surip.
Dalam beberapa tahun Ustad Samin semakin mempersolek bangunan rumahnya di samping makam tersebut, hingga suatu ketika ia pun mengajak seorang istri dan dua anaknya untuk ikut-serta tinggal di rumah yang didirikan di bantaran sungai tersebut.
“Kalau anak Ibu sakit panas, kalungkan tasbih ini di lehernya, kemudian minumkan air putih ini setelah makan,” ujar Ustad Samin sambil menyodorkan sebotol air putih kepada seorang warga yang mengeluh karena anaknya sakit. Warga itu kemudian disuruh berdoa di depan makam untuk meminta pertolongan pada Wali Surip, sambil bernazar pula bahwa apabila anaknya pulih dari penyakitnya ia akan mengadakan selamatan dengan menyembelih kambing yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Ustad Samin bersama istrinya.
***
Limabelas tahun kemudian, ketika aku duduk di bangku kuliah di IAIN Serang, sementara Idrus temanku kuliah di Untirta, perasaan ingin tahu dan ingin paham tentang suatu permasalahan semakin tumbuh pada diri kami. Di Kampung Kalitimbang nyaris tidak ada yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi kecuali aku dan Idrus, yang kebetulan dibesarkan dari kelas pedagang yang tidak terlampau mempedulikan hal-hal mistik yang dihembuskan oleh Ustad Samin dan keluarganya.
“Apakah kau percaya bahwa Ustad Samin punya peran penting terhadap nasib masyarakat kita selama ini?” tanyaku pada Idrus.
“Aku tidak tahu, tapi masyarakat sudah kadung percaya,” jawabnya dengan mata menerawang.
“Yang terjadi selama ini, apakah Ustad Samin betul-betul membantu masyarakat kita, ataukah dia mengambil keuntungan dari kebodohan masyarakat kita?”
“Menurut saya, pihak yang membantu justru masyarakat kita, sedangkan dia dan keluarganya adalah pihak yang diberi bantuan.”
“Bagaimana kamu bisa berpendapat seperti itu?”
“Karena berkat kebodohan warga kampung, data statistik yang menyangkut jumlah kemiskinan, masyarakat buta huruf hingga jumlah kematian bayi, ternyata tidak mengalami perubahan di kampung kita.”
“Ya tepat sekali, sedangkan rumah yang dibangun Ustad Samin di samping sungai itu semakin lama semakin mentereng saja.”
Pada akhirnya aku pun membuat kesepakatan bersama Idrus untuk mencari tahu tentang kebenaran gundukan yang dipercaya masyarakat kami sebagai makam Wali Surip tersebut. Bagi kami, kepercayaan pada kuburan itulah yang menjadi pangkal permasalahan yang membuat masyarakat kami tidak berdaya, bahkan taraf hidup mereka tidak sepadan dengan perkampungan lainnya karena terbelenggu oleh pendangkalan dan pembodohan yang dibikin-bikin oleh Ustad Samin selama ini.
“Kalau begitu kita gali saja gundukan tanah yang dipercaya sebagai kuburan wali itu.”
“Bagaimana mungkin? Nanti malah kita kepergok sama Babinsa?”
“Justru Babinsa kita sudah tunduk sama Ustad Samin, termasuk Lurah kita. Mereka juga aktif menyetor sedekahan tiap malam Jumat.”
“Astaghfirullah al-adzim…”
“Yang menjadi problem, Ustad Samin itu tidak punya santri maupun anak-anak asuh yang menjadi tanggungan hidupnya. Jadi semua barang-barang sedekahan yang dia terima selama ini murni untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya.”
***
Cangkul dan linggis sudah kami persiapkan untuk pengembaraan kami di malam Minggu itu. Sepeda motor kumatikan ketika melintasi balai desa untuk kemudian menyusup masuk ke serambi sebuah rumah penduduk. Dari jembatan sungai kami melihat sebuah bangunan rumah di kejauhan, dan di belakangnya terlihat sebuah batu nisan di atas gundukan tanah yang selama ini dianggap sakral oleh masyarakat Kalitimbang.
Kami menaruh sepeda motor di samping jembatan, kemudian berjalan mengendap-endap menuju gundukan tanah itu sambil menenteng linggis dan cangkul di pundak. Selama berjam-jam kami membongkar gundukan tanah itu, dengan sedapat mungkin tidak menimbulkan suara-suara yang bakal mencurigakan keluarga Ustad Samin. Tak lama kemudian kami pun terperangah ketika yang kami temukan di malam itu hanyalah sebongkah batang kayu yang sudah menjadi fosil, dan kemudian berhasil kami cungkit dengan memakai linggis yang telah kami persiapkan sebelumnya.
“Berarti tidak ada yang bernama Wali Surip selama ini,” aku mendengar Idrus sedang bergumam dengan pandangan menerawang.
“Ya, benar Idrus, selama ini masyarakat kita hanya mempercayai sebongkah batang kayu ini,” kataku sambil mengangkat kayu itu di hadapan Idrus.
“Jadi siapa itu Ustad Samin? Manusia sejenis apakah dia hingga masyarakat kita begitu memujanya?”
“Dia adalah sosok yang nyata, dan ada di sekitar kita.”
“Lantas siapakah masyarakat kita selama ini? Apakah mereka juga sosok yang nyata, seperti halnya Ustad Samin?”
“Ya, mereka memang nyata, tapi selama ini telah mempercayai sesuatu yang tidak nyata.”
Kami terdiam sejenak, kemudian aku pun bertanya pada Idrus, “Sobat, selama ini kita percaya pada Tuhan, apakah Dia sesuatu yang nyata?”
Sambil menghela napas Idrus pun menjawab, “Ya, Tuhan itu sesuatu yang ada, tapi tidak ada yang dapat menyerupai Dia dengan sesuatu apapun.”
“Benar, kalau begitu rendah sekali kualitas keimanan kita bila menyamakan wujud Tuhan dengan sebongkah kayu, bahkan dengan seorang wali sekalipun.”
Setelah peristiwa itu kami sepakat untuk tidak membuka rahasia kuburan kayu itu kepada masyarakat kami, hingga ketika memasuki bulan Ramadhan keluarga Ustad Samin kemudian hengkang meninggalkan kampung Kalitimbang, karena banjir besar telah melanda perkampungan kami. Saat itu tanggul-tanggul di sekeliling sungai Kalitimbang jebol secara beruntun, hingga air bah menghantam rumah yang dibangunnya di bantaran sungai itu.
Keesokan harinya ketika banjir mulai reda, aku pun mengajak Idrus untuk melihat bangunan rumah Ustad Samin yang roboh berantakan, hingga reruntuhan bangunan itu pun menutupi lubang sumur dan gundukan tanah yang selama ini menjadi tempat bersandarnya masyarakat kami. ***