Talenta
Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten dan Pikiran Orang Indonesia
Bu Mega merasa khawatir ketika Talenta, anak satu-satunya, terpaksa harus dikeluarkan dari SDN Karang Asem, Cilegon, meskipun dia baru mengikuti pelajaran di kelas I SD. Agak mengherankan memang, baru saja beberapa minggu duduk di kelas satu, tapi kepala sekolah tiba-tiba memutuskan agar dia dikeluarkan, atau dipindahkan ke sekolah lain.
Pasalnya beberapa hari lalu ketika Bu Mega diundang ke kantor kepala sekolah, sambil dihadapkan pula dengan Guru wali kelas Talenta, yang langsung bicara dengan nada emosi: “Anak Ibu betul-betul susah diatur, bikin kacau terus di kelas, dia selalu memukul-mukul meja pada saat jam pelajaran berlangsung, mulutnya terus saja nyerocos menyanyikan lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Bongkar’ atau ‘Bento’, bahkan kadang-kadang lagu yang berjudul ‘Kesaksian’. Karena itu kami mohon Ibu memindahkannya ke sekolah lain.”
Bu Mega bertanya pada Guru wali kelas itu, apa yang dia maksud dengan lagu ‘Kesaksian’? Lantas Guru itu pun mengutip sebagian lirik lagu itu, antara lain yang berbunyi: “Orang-orang harus dibangunkan, aku bernyanyi menjadi saksi, kenyataan harus dikabarkan aku bernyanyi menjadi saksi…”
Sebagai orang tua Bu Mega tidak terlampau kaget dengan kebiasaan anaknya bernyanyi-nyanyi, tapi dia tak habis pikir, dari mana Talenta bisa menyanyikan lagu berjudul ‘Kesaksian’ itu.
“Dia fasih sekali melagukannya sampai bait terakhir, dengan suara keras pula, sementara suara saya tidak kedengaran anak-anak yang duduk di bangku belakang. Kalau dia bernyanyi pada saat pelajaran kesenian barangkali saya bisa maklum, tapi meskipun pelajaran kesenian,” Guru itu menambahkan dengan suara serak, ”tetap saja dia tidak pantas memukul-mukul meja yang dianggapnya alat musik drum. Emangnya kelas bisa disamakan dengan studio musik?”
Guru itu mendehem beberapa kali, mengedip-ngedipkan matanya yang kusam, dan lanjutnya, “Yah, misalnya waktu pelajaran menulis huruf dan angka, anak Ibu tidak pernah mau memulainya dengan huruf berurutan ‘ABC’ tetapi tiba-tiba dia menulis huruf ‘P’ kemudian berlanjut dengan huruf ‘K’ kemudian dia tulis satu huruf lagi ‘I’.Saya sudah tegaskan bahwa belajar abjad dan huruf itu harus berurutan, tetapi dia tetap saja menolak dan menggeleng-gelengkan kepalanya.”
Dahi Guru itu mengkerut, bulu matanya agak bergetar, kemudian sambungnya lagi, “Sama saja waktu pelajaran menulis angka, mestinya kan dia nurut seperti anak-anak lainnya menuliskan angka 123, tetapi kenapa anak Ibu melompat menulis empat angka sekaligus 1965, saya tidak habis pikir dari mana dia mengenal angka itu di usianya yang ketujuh tahun, apakah dia pernah mempelajari buku Sejarah Indonesia?”
Omongan sang Guru yang agak ngawur itu tak dihiraukan Bu Mega, meskipun dia bisa mengerti keluhannya sejak semula, karena memang anaknya tak pernah mau diam. Di hari pertama pulang sekolah Bu Mega ingat akan kelakuan anaknya yang tiba-tiba melompat-lompat di atas kursi sofa dengan sepatu masih terpakai di kakinya: “Sekolah itu asyik, Ma, kereeen. Talenta punya kursi baru yang bisa dilipat, juga mejanya bisa dipukul-pukul kayak gendang! Pokonya asyiiik!”
Bu Mega membayangkan anak tercintanya yang sedang riang gembira menggeser-geser kursi atau memukul-mukul meja di kelas. Baginya hal itu cuma kenakalan anak-anak yang wajar saja, lagipula kalau dia sudah bosan memukul-mukul nanti juga diam sendiri. Bu Mega mencoba menegahi kekesalan Bu Guru, “Baiklah terimakasih atas masukannya, nanti akan saya peringatkan dia tentang hal itu.”
“Tapi bukan hanya itu, Bu,” nada Bu Guru semakin meninggi ketika dia menyela, “Kalau cuma itu persoalannya, tidak mungkin kesabaran saya bakal habis.”
Bu Mega jadi serba salah ketika Guru itu menjulurkan mukanya, “Kalau dia tidak bikin ricuh di kelas, kadang-kadang dia berlari keluar kelas dan bermain ayunan sendirian di halaman. Sewaktu saya tanyakan kenapa tidak mengikuti pelajaran bersama teman-teman lainnya, dia malah tak acuh sambil menjawab bahwa belajar itu di mana saja bisa, tidak harus di ruang kelas. Bayangkan, siapa yang mengajari kata-kata itu, kalau bukan ada yang memulainya?”
Bu Mega agak tersinggung mendengar perkataan itu, meski ia berusaha mengendalikan diri, dan terus mendengar ucapan sang Guru:
“Suatu hari pada saat jam pelajaran tiba-tiba dia melangkah menuju pintu masuk, sambil menjulurkan kepalanya keluar dia pun berteriak, ‘he, ngapain kamu ke sini?’ Kami tidak menghiraukan ucapannya untuk pertama kali, tapi tiba-tiba dia berteriak lagi, ‘he ngapain kamu ke sekolah, mau cari buku?’ Anak-anak mulai gusar, dan setelah dia berteriak untuk yang ketiga kali, saya pun mencoba melihat dengan siapa dia bicara. Tahu-tahu yang diajaknya bicara hanya seekor anak kucing dengan bulu kotor dan kumal.
Anak Ibu mengelus-ngelus dan menggendong anak kucing yang bulukan itu, lalu berlari sekencang-kencangnya keluar halaman sekolah…”
“Keluar halaman sekolah?” Bu Mega mulai khawatir, “Mau ke mana dia?”
“Nah, Ibu bisa bayangkan, saya bukannya membenci anak-anak yang bicara dengan seekor kucing, dan saya pun bukan mengajarkan anak-anak agar membenci binatang, tapi…”
“Tapi Bu Guru belum menjawab pertanyaan saya tadi, lari ke mana dia?”
“Ke warung di seberang jalan!” katanya melengking.
“Ngapain?”
“Dia membeli roti untuk dimakankan pada kucing itu, bayangkan!”
Bu Mega menarik napasnya lega.
Karena dia menduga Talenta akan melakukan hal-hal yang di luar nalar dan pikiran orang dewasa, tapi belum sempat dia bicara, Bu Guru menambahkan lagi, “Ada lagi satu masalah yang bikin kacau semuanya, yakni waktu pelajaran menggambar. Ketika kami tugaskan anak-anak untuk menggambar bendera merah-putih, anak Ibu justru memakai pensil warna merah untuk memolesi bibir pada wajah seorang wanita yang memakai kerudung…”
“Siapa yang dia gambar?”
“Saya tidak tahu… sepertinya wajah mantan Gubernur Banten…”
“Atut Chosiyah?”
“Bisa jadi! Barangkali dia pernah melihat gambar itu di suatu tempat, entah di mana!”
Belum sempat Bu Mega menjawab, Guru itu mulai nyerocos lagi, “Bahkan dia pernah menggambar muka Presiden Soeharto sedang memegang sesuatu di tangannya, tapi karena gambar wajahnya terlalu besar memenuhi halaman buku dia kebingungan untuk menggambar apa yang presiden itu pegang…”
“Apa yang dia pegang?”
“Pohon beringin!” tatapan Bu Guru semakin nanar, “Dan Ibu bisa bayangkan di mana dia menggambar pohon beringin itu? Di atas meja! Dan gambarnya masih ada sampai sekarang, kalau Ibu mau lihat.”
Setelah Bu Mega menengahi keadaan sambil meminta maaf, Guru itu menyeka keringat di keningnya yang makin mengkerut, kemudian berkhotbah lagi, “Suatu hari saya terangkan bahwa warna merah pada bendera menunjukkan darah dan warna putih menandakan suci, tahu-tahu anak Ibu mengganti warna merahnya dengan ping. Coba bayangkan, mengganti bendera dengan warna ping! Kemudian dia menggambar bulatan hitam pada sisi warna putihnya. Ketika saya tanyakan mengapa harus ada bulatan, dia menjawab tak acuh bahwa bulatan itu adalah gambar lubang buaya. Ya ampuuun, dari mana dia pernah melihat gambar itu, kalau bukan orang sinting yang menunjukkan gambar aneh semacam itu kepada anak kecil…”
“Maksud Ibu?”
“Maaf Bu, bukan maksud saya mengatakan Ibu sinting, tapi dari mana seorang anak kelas satu SD melihat gambar lubang buaya?”
Bu Mega menghela napasnya, tatapannya menerawang. Dia menceritakan bahwa suatu hari paman Talenta yang tinggal di Jakarta Timur pernah mengajaknya jalan-jalan ke sebuah museum yang dinamakan Lubang Buaya. Entahlah, manusia macam apa yang membikin-bikin museum semacam itu. Sepulang dari jalan-jalan dia menanyakan pada ibunya, apakah lubang yang ada di museum tadi sejenis dengan lubang dan danau buaya yang dilihatnya pada film kartun “Dora”, “Pororo” maupun “Teletubbies”.
“Terus, apa jawab Ibu?”
“Iya, seperti di film-film kartun.”
“Kenapa ibu bilang begitu? Bukankah itu sejarah?” tanya Bu Guru.
Keadaan menjadi hening, Bu Mega mencoba menahan diri. Dia tidak mau memasuki pembicaraan tentang sejarah politik karena ia pun tidak memahami seluk-beluk perpolitikan Indonesia, terlebih-lebih tentang propaganda yang dibikin kaum politisi untuk membangun pencitraan dan merebut kekuasaan. Ia hanya menginginkan anak tercintanya tumbuh dengan pendidikan yang normal seperti manusia-manusia pada umumnya. Setelah lama mereka saling diam, Bu Mega angkat bicara, “Selain itu, apa lagi yang dilakukan anak saya sampai membuat kelas menjadi ribut?”
“Pokoknya banyak, Bu, tidak terhitung! Kalau saja saya bisa menghitung berapa jumlah kesalahan yang anak Ibu lakukan, mungkin saya tidak akan meminta Ibu memindahkannya ke sekolah lain.”
Guru itu bangkit dari duduknya sambil menutup pembicaraan, “Saya sudah hubungi bahwa guru-guru lain pun mengalami hal yang sama.”
Akhirnya Bu Mega harus melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah anaknya. Tentu saja hal itu menjadi kurang adil bagi murid-murid lainnya yang sedang belajar. Sang Ibu harus mencarikan sekolah yang bisa memahami dan mengajari Talenta untuk dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman sepantarannya.
Selama itu Bu Mega tak pernah bilang pada puteri kecilnya mengapa ia dikeluarkan dari SDN Karang Asem. Di sisi lain Talenta pun tak pernah memahami mengapa dirinya telah dipersalahkan, dan Sang Ibu tak ingin anak tersayangnya menderita tekanan batin karena hal itu. Ia memutuskan untuk memberitahunya kelak kalau dia sudah dewasa. Bu Mega hanya berkata sambil tersenyum, “Nak, bagaimana kalau kita mencari sekolah yang lebih bagus lagi?”
“Emang ada sekolah yang lebih bagus, Ma?”
“Tentu saja ada, dan beberapa hari lagi Mama akan mengantarmu ke sana, bagaimana?”
“Tapi, di sekolah Talenta yang baru ada pelajaran menggambarnya nggak?”
“Tentu saja ada, dan kamu boleh menggambar apa saja.”
“Boleh nyanyi lagu Iwan Fals nggak, Ma?”
“Ya, kamu boleh menyanyikan lagu apapun di sana.”
“Bongkar?”
“Silakan.”