Cerpen

Satu Titik, Cerpen Ali Mukoddas

satu titik, cerpen, cerpenis indonesia, cerpen indonesia, nusantaranews, bentar wirayudha, cerpen ali mukoddas
Satu titik. (Ilustrasi/YouTube)

Satu Titik, Cerpen Ali Mukoddas

Masih kuingat ketika kita membuat rumah kecil dari sarung dan kain seadanya, dengan batang singkong dan daun sebagai penyangga dan atapnya. Tapi anak sekarang seusia kita saat itu sudah bisa membuat rumah bohongan dengan instan, membelinya di pasaran. Mereka tidak perlu takut seperti kita dulu, yang dimarahi karena sarung sengaja kita sobek untuk dijadikannya penghalang. Masih kuingat pula ketika Joni marah dan memasang mata mengancam saat kita bermain penganten-pengantenan. Kau menolak menjadi penganten perempuan kalau penganten laki-lakinya Joni, dan akhirnya aku yang menggantikan posisi itu. Tentu kau tahu, tak usah kuceritakan bagaimana. Anehnya, sekarang permainan semenyenangkan masa kita itu sudah tidak ada lagi.

Di sini aku datang sebagai pengadu, Ray. Kau tahu sifat Joni bagaimana, bukan? Dia tidak suka kalau dirinya dikatakan mencintaimu. Aku tahu itu dari dulu, saat kita masih polos bermain tanpa batasan laki dan perempuan. Joni mencintaimu. Ah, dia akan marah sekali kalau mendengar aku mengatakan kalimat itu, sebab tak ada kata cinta baginya, dia hanya menyukaimu, tak lebih. Mengapa aku malah menceritakan itu di pertemuan pertama kita? Kau jangan menanyakan itu, sudah kubilang aku datang sebagai pengadu. Sekarang tidak ada rahasia lagi, di antara kita, kau, Joni, atau pun aku.

Dari awal hubungan kau dan Joni aku sudah tahu. Waktu itu, di bawah pohon mangga yang dekat dengan jalan antar desa, Joni menghampirimu di bawah pohon tersebut. Dia mengungkapkan semua perasaannya dengan gamblang, menyatakan bahwa dia sangat menyukaimu, lalu mengajak kau menjadi kekasihnya. Aku yang waktu itu berada di atas pohon mangga mendengar dengan jelas. Kau tak menolak, membiarkan Joni mengungkapkan gemuruh hatinya lantas memegang kedua tanganmu. Beberapa saat kau terdiam, lalu berlari meninggalkan pohon dengan aku di dahannya. Joni tertunduk dengan mengangkat tangannya sejajar dengan dada. Matanya mengikuti arahmu yang menjauh.

Setelah kejadian itu, saat kita sekolah ada tulisan putih di papan tulis yang hitam. Isinya sederhana sekali, hanya terdiri dari tiga kata, subjek, predikat dan objek. Joni cinta Ray, tulisan itu anggun sekali dengan legukan dan garisnya yang terlihat kaya akan seni. Maklumlah, saat itu kita baru kelas dua sekolah dasar. Joni yang melihat tulisan itu kalap, mencari penghapus, karena tidak kunjung dapat menghapus tulisan itu dengan ujung bajunya. Di dahan pintu, matamu juga melihat tulisan itu, lalu kau pergi menjauh.

Aku duduk di atas bangku, melihat kalian secara bergantian. Sebenarnya itu salahku, aku yang menulisnya. Tapi aku tidak berniat membuat seluruh anak sekolah tahu bahwa Joni cinta kau. Walau kemudian di tembok sekolah, di meja, pintu, tiang, lapangan sekolah, bahkan di jalan raya yang aspalnya tidak rata dengan batu kerikil bertonjolan, tulisan Joni cinta Ray itu bertebaran. Joni tetap berusaha mendekatimu, menyatakan rasa sukanya. Kau tak pernah mau menghadap dan dekat dengannya. Kemudian suatu pagi sebelum masuk kelas, saat teman sekelas kita berkumpul, dan kau tidak ada saat itu, Joni mengatakan dia tidak mencintaimu, dia hanya suka padamu, tak lebih dan tak kurang.

Katanya begini, “aku tidak mencintai Ray. Aku tidak tahu apa itu cinta. Aku hanya menyukainya, lalu mengapa kalian menulis kata cinta di antara namaku dan nama Ray?”

Teman sekelas kita nyeletuk dengan nada candaan. Aku tahu, itu hanya sebuah hiburan di mata teman-teman yang lain, tapi Joni terlalu menganggap serius, dan kau juga sama seperti Joni. Di antara kekacauan itu, sebenarnya ada yang sama merasakan kacau, Ray. Aku.

Sesuatu yang baru memang selalu dielus dan diperhatikan, begitu pula dengan kabar cinta Joni terhadapmu. Saat kita naik ke kelas berikutnya kata cinta-cintaan itu sudah mulai luntur, walau satu dua tetap menggunakannya sebagai bahan ejekan kalau sedang jengkel pada kau atau Joni. Entah, kalau dipikir-pikir saat ini, bukankah itu hal biasa dan tak perlu dipermasalahkan? Tapi tidak bagi Joni, dia tetap mempermasalahkan kata cinta itu, sebab yang dipertahankannya adalah kata suka, bukan cinta. Aku salut padanya, dia tak pernah menyerah. Rasa sukanya padamu mungkin melebihi orang dewasa. Dia tak pernah peduli, orang di sekitarnya mengatakan bahwa rasa suka padamu itu adalah cinta monyet atau cinta kodok sekalipun. Joni tak peduli.

Kisah suka Joni padamu berjalan singkat. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mendekatimu sedekat itu. Mungkin karena rasa sukanya yang besar, hingga hatimu luluh. Sayang aku tak pernah tahu rahasia itu darimu, baik dari Joni, juga tidak. Walau timbul pertanyaan apakah kalian hanya akrab, atau sudah memiliki ketertarikan. Meskipun ada, aku tak mempermasalahkannya, karena waktu itu kita masih polos dan tak tahu sejatinya rasa yang banyak definisinya itu. Tapi aku keliru, sampai kita lulus sekolah dasar, kalian tetap bersama seperti sepasang kekasih. Bahkan kalian berada di sekolah lanjutan yang sama. Tepatnya kita sekolah menengah pertama di tempat yang sama. Tanpa kalian ketahui, aku memerhatikan kalian di kejauhan setiap ada kesempatan melihat. Joni selalu memberimu sesuatu. Baik itu jam yang sangat disukainya, atau apa pun yang disukainya, selalu dia berikan padamu. Ah, mengapa aku membahas hal itu, tentu kau sudah tahu. Joni sendiri yang mengatakannya, waktu itu hanya kalian berdua dalam kelas.

“Aku ingin segala apa yang kusuka berada padamu, Ray. Aku tak ingin menduakan rasa sukaku padamu. Aku sangat menyukai gelang ini, kuberikan padamu agar rasa suka itu pindah padamu. Tak peduli kau menerimanya atau tidak, kau harus menyimpannya, karena dengan demikian rasa sukaku tak tercecer. Dengan demikian rasa sukaku menyatu pada orang yang kusuka.”

Itu kalimat Joni, yang coba lebih keras menyaingi isak tangismu. Aku belum sempat bertanya mengapa saat itu kau menangis. Aku juga belum mengerti apa arti kalimat balasanmu yang terucap sebelum berlari ke luar kelas.

“Cukup, Jon. Cukup. Aku tak mau kau selalu memberiku sesuatu. Barang pemberianmu terlalu banyak kusimpan. Kamarku penuh dengan barang pemberianmu. Aku tidak tahu apa maksudmu tentang rasa suka yang menyatu itu. Aku tak mau kau salah arti. Bukankah kau sendiri yang mengatakan untuk merahasiakan rasa kita? Lalu mengapa kau begitu antusias memberiku ini itu? Aku tidak kekurangan, Jon. Orang tuaku masih mampu membelikan keperluanku. Aku muak menerima pemberianmu yang aneh-aneh, celana, baju, topi, sepatu, bola, tongkat, katapel dan sebagainya, aku muak. Sebenarnya aku tidak suka semua barang pemberianmu itu, tapi coba kuterima untuk menjaga sikap dan membuatmu senang. Tapi sekarang ini sangat keterlaluan, belum sampai satu hari kau telah memberiku banyak hal. Ini lagi, jam tangan laki-laki. Aku tidak membutuhkannya! Lupakan aku, Jon!”

Itu kalimatmu yang terdengar jelas di telingaku. Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana kau tahu semua itu. Waktu itu aku berada tepat di bawah jendela kelas yang terbuka, duduk sendirian dengan memainkan batang rumput yang kuambil di halaman sekolah kita. Halaman yang tak pernah kulupa. Karena saat itu pula, saat kau berlari menjauhi kelas, kau terjatuh karena rumputnya yang licin. Orang yang mendapatimu seperti itu tertawa, sebagian pula prihatin. Banyak yang menyangka tangismu karena terjatuh, padahal kau menangis tentu karena Joni.

Tiga tahun kuikuti kisahmu dengan Joni seperti seorang pengintai. Maksudku, aku tidak bermaksud menguping atau apalah, tapi selalu ada hal kebetulan yang kutahu berkenaan kalian. Saat sekolah dasar aku tidak begitu menggubris itu, tapi baru bisa kubaca gerak-gerik kalian di saat masuk sekolah menengah pertama. Walau beberapa bulan setelah jatuhmu beserta tangis di halaman sekolah adalah akhir kebersamaan kita. Kau lulus dengan nilai sempurna, disusul namaku lalu Joni.

Sebenarnya aku orang yang cukup dekat dengan Joni, tapi aku tidak bisa membaca jalan pikirnya. Aku tidak tahu dia akan melanjutkan sekolah menengah atasnya di mana. Lagipula itu bukan masalah bagiku, karena pada saat itu aku melanjutkan sekolah ke kota, meninggalkan masa anak desa yang penuh petualangan dengan belalang, jangkrik, dan lambaian padi di musim penghujan itu. Aku tidak tahu kisah kalian bagaimana. Hingga satu bulan sebelum aku lulus sekolah ini mendengar kabar tentangmu yang sakit keras. Kutinggalkan kota untuk menemuimu, Ray. Kutinggalkan kota dengan penuh harap semoga aku tak terlambat. Kutinggalkan kota penuh semoga, semoga hubunganmu dengan Joni benar-benar berakhir setelah kegaduhan di masa kita sekolah menengah pertama. Tapi, di jalan aku mendengar kabar bahwa Joni tetap mengumbar rasanya padamu, memberikanmu banyak hal walau kau menolaknya. Aku sadar Joni itu orang yang punya, keluarganya mapan, sama mapannya dengan keluargamu. Tapi di sisi lain ada rasa tak terima di hati ini, Ray. Aku tahu kau gadis yang beruntung. Banyak orang yang menyayangi dan mengharap rindu darimu. Sedang aku tidak pantas berada di antara kalian. Pekerjaan orang tuaku hanya sekadar mencangkul tanah dan mengais batu di sungai. Sebab itu kutinggalkan rumah, bekerja sambil sekolah dikota.

Baiklah, semua sudah terlambat, Ray. Harapan semogaku itu tidak terkabul. Andai waktu bisa dilumat kembali, akan kuungkapkan rasa kagumku padamu. Sekarang, aku hanya bisa tercenung, Ray. Menghakimi diri yang tak pernah bisa seberani Joni mengungkapkan rasanya padamu. Semoga kau tenang di alam sana.

***

Beberapa saat lalu penjaga kuburan berkata, “Suatu malam terdengar jeritan seorang wanita, Mas. Kukira itu adalah hantu. Beberapa minggu kemudian terdengar jeritan yang hampir sama, kukira juga adalah hantu. Selang beberapa minggu lagi terdengar jeritan yang hampir sama pula. Aku merinding mendengarnya. Tidak tahu dengan pasti itu suara hantu atau apa. Tapi, kemarin terdengar jeritan seorang wanita di siang bolong. Aku berlari memastikan, ternyata seorang lelaki memasukkan perempuan ke lubang kuburan perempuan yang mas datangi. Warga yang tahu perbuatan lelaki itu menghakiminya secara masa.” Demikian ungkap lelaki tua penjaga kuburan pada lelaki yang mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkannya pada makam Rayna. [*]

*Merupakan cerita versi kedua setelah naskah pertama hilang. Cerita versi pertama pernah dipentaskan teater Andalas dua tahun yang lalu, tapi dengan alur dan penceritaan yang berbeda dibanding cerita versi yang sekarang.

Tentang penulis, penulis tetap berdarah Madura yang meninggalkan keasrian desanya demi segala jiwa

 

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,079