Esai

Sastra Keadaban yang Berpancasila – Esai Matroni Musèrang

NUSANTARANEWS.CO – Tanggal 15 Oktober 2016 yang lalu saya menghadiri undangan Launching buku Revitalisasi Sastra Pesantren di Pesantren Mahasiswa (PesMa) An-Najah Porwokerto. Buku ini berisi 30 kumpulan esai tentang sastra pesantren yang disaring dengan paradigma kompetisi yang dinilai oleh Ahmad Tohari, Abdul Wachib BS, dan Arif Hidayat, akhirnya saya mendapatkan juara 3, juara 1 Sulfiza Ariska, juara 2 Raedu Basha. Kegiatan lomba ini diadakan Pesma An-Najah rotin setiap dua tahun sekali.

Pesma an-Najah didirikan memang untuk mendidik mahasiswa agar mampu membaca dan menulis, seperti semangat pengasuhnya Dr. K.H Roqib, M.Ag (abah) bahwa kalau mau ikut jejak nabi dan ulama, maka jadilah seorang penulis, sebab menulis adalah bagian dari seni. Maka moment lomba esai ini adalah bagian dari membangkitkan semangat menulis, mengapa harus dengan moment, sebab kata Abah Waliyulllah dulu juga itu pintar membuat momentum, karena dengan momentumlah seringkali seseorang kreatif, maka moment ini sebenarnya mengajak penulis agar kreatif menemukan ide-ide segar bagi perkembangan sastra ke depan khususnya an-najah.

Sehingga PesMa ini penuh dengan kegiatan membaca dan menulis dengan komunitas pondok pena, kelompok luthfunnajah, dan penerbitan buku an-Najah Press. Pesma ini merupakan satu-satunya pesantren yang mengabdikan dirinya untuk dunia literasi dan budaya yang terletak di jl Moh Besar Kutasari, Purwokerto.

Setiap moment pertemuan penulis yang diadakan setiap 2 tahun sekali PesMa mengundang tradisi lokal yang kini mulai ditinggalkan untuk tampil di acara. Calung Banyumasan misalnya. Artinya PesMa bukan hanya pendidikan pesantren, namun pendidikan lintas agama dan iman pun dilakukan seperti Acapela GKJ.

Membaca dan Menulis

PesMa juga menyedikan perpustakaan Pesantren untuk santri, di samping buku-buku baru yang diterbitkan an najah Press untuk santri dan mahasiswa. Sebab untuk menjadi penulis harus membaca. Selaras dengan apa yang dikatakan Ahmad Tohari waktu menjadi pemateri siang itu bahwa menulis harus diawali dan tak boleh berhenti.

Membaca pun harus dimulai dan tidak boleh berhenti. Sebab wahyu pertama kali diturunkan adalah iqra’ (bacalah). Bukan shalat, bukan zakat, bukan haji, tapi iqra’, kita merasa berdosa dan rugi ketika tidak melaksanakan shalat, puasa, dan lainnya, tapi mengapa kita tidak merasa berdosa ketika membaca dan menulis, padahal sama-sama perintah langsung dari Allah? Mengapa ulama fiqih tidak mewajibkan ummat Islam membaca? Iqra’ adalah konsep Islam pertama yang diturunkan kepada ummat Islam, tapi mengapa Yahudi (bukan Islam) memiliki peringkat tertinggi di dunia dalam membaca?

Kita (umat Islam) apa yang dilakukan hari ini? Andai Nabi Muhammad SAW tidak diperintah membaca. Andai saja ulama dulu tidak mampu membaca dan menulis, bisa dibayangkan bagaimana keadaan manusia hari ini. Artinya membaca dan menulis merupakan sebuah keniscayaan bagi penyair, sastrawan, kritikus sastra, budayawan, intelektual, ulama, kiai, guru, dosen dan lainnya. buku adalah guru yang tidak minta dibayar, buku juga guru yang tidak pernah menindas, kata Ahmad Tohari.

Penulis yang mampu membaca akan menjadi harmoni di tengah-tengah penulis-penulis yang mengejar detline dan ngartis. Tentu bagi penulis Indonesia tidak boleh mengesampingkan Pancasila sebagai fondasi kebangsaan dan kemanusiaan. Kalau ada penulis di antara kita yang keluar dari koridor Pancasila, maka dapat dipastikan tulisan itu tidak akan mampu menciptakan keadaban yang berpancasila, sebab karya yang mampu menciptakan keadaban adalah karya yang didalamnya mengandung “bayi-bayi ketuhanan” yang berasaskan Pancasila.

Bagaimana caranya? Tentu kita harus mampu membaca sejarah Pancasila, penting kemudian kita menggunakan pendekatan sejarah (approach historical) dalam menulis, artinya penulis harus mengadakan jelajah kedalaman pemikiran dan jelajah kedalaman jiwa karya. Jadi benar apa kata Ahmad Tohari, karya saya adalah karya yang memiliki Tuhan, karya saya adalah karya yang berpancasila.

PesMa an-Najah didirikan untuk mencetak penulis-penulis yang ber-Pancasila dan ber-ketuhanan. Adanya lomba yang diadakan PesMa merupakan bagian dari cara belajar PesMa terhadap keberagaman budaya pesantren yang tersebar di Nusanatara.

Kritikus Sastra

Namun karya-karya itu membutuhkan kritikus sastra untuk membuka pintu makna dan nilai yang tersembunyi di kamar-kamar karya, sebab tugas kritikus adalah penyambung lidah pembaca, memciptakan masyarakat cinta baca. Kritikus itu tidak sibuk dengan “bentuk” dan “gaya” tulisan. Sebab ‘bentuk’ dan ‘gaya’ itu urusan kreator, jadi tugas kritikus adalah menguak, mengungkapkan dan melahirkan bayi-bayi yang terkandung di rahem teks (puisi, cerpen, novel, prosa) agar publik mengerti maksud dari teks itu sendiri.

Kalau ada kritikus yang masih sibuk dengan ‘gaya’ dan ‘bentuk’, seperti kritikus-kritikus sastra kita hari ini, maka copotlah “identitas kritikus” itu, sebab akan menghambat laju perjalanan nilai-nilai dan makna-makna dari gagasan itu sendiri.

Wajar jika ada wacana kita krisis kritikus sastra di Indonesia, ia itu, karena mereka yang mengaku kritikus masih sibuk dengan sesuatu yang tidak seharusnya disibukkan. Teks itu lahir untuk dimengerti bukan dipajang mana yang lebih baik bentuknya dan gayanya, karya kok disamakan dengan benda? Banyak buku sastra bermunculan, tapi kritikusnya tidak ada, karena masih sibuk bersolek mencari ‘gaya’ dan ‘bentuk’. Kritikus merupakan sosok yang mampu menjelajah kedalaman ide, gagasan dan kedalaman psikis teks. Bukan menjelajah didataran permukaan teks.

*Esais dan Dosen STKIP PGRI Sumenep

Related Posts

1 of 53