Kolom

Saracen, Eta Terangkanlah

Iswandi Syahputra/Foto Dok. pribadi/Nusantaranews
Iswandi Syahputra/Foto Dok. pribadi/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Saracen, saya melihatnya semacam sekte perang pada abad pertengahan pada era gejolak perang salib yang berkepanjangan. Merujuk pada karya John V. Tolan, “Saracens: Islam in The Medieval European Imagination” penganut Saracen adalah mereka penyembah berhala untuk mendapat kekuatan dalam berperang.

Belakangan istilah Saracen populer di dalam negeri setelah Kepolisian berhasil mengungkap sebuah jaringan penyebar kebencian dan permusuhan berbasis Sara. Eh, koq dilalah nama kelompoknya Saracen.

Terbongkarnya jaringan Saracen oleh Polisi ini seperti nyala cahaya sebatang lilin dalam goa gelap informasi. Apresiasi saya untuk Polisi yang berhasil mengungkap jaringan ini. Sebab, selama ini sering kali khalayak umum di dasar ruang realitas dan  netizen di ruang virtual (termasuk saya) tergesa-gesa masuk, terjerembab dan larut dalam arus kebohongan informasi. Temuan ini setidaknya berhasil mengungkap salah satu sumber kebohongan informasi itu berasal.

Temuan Polisi ini juga dapat menjadi rujukan alam bawah sadar netizen dalam menjalani aktivitas mereka di sosial media. Agar lebih hati-hati dalam menyebar informasi yang didesain penuh manipulasi. Tampak benar, padahal salah melalui serangkaian pengaburan atau penutupan fakta tapi menonjolkan fakta lainnya.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Adalah menarik bagi saya kemudian melacak motivasi munculnya Saracen tersebut. Apakah  karena adanya tekanan ekonomi (karena seperti yang dilaporkan Polisi, anggota sindikat rahasia ini berbayar), atau tekanan lain seperti ideologi?

Jika karena faktor tekanan ekonomi (misalnya), ini dangkal dan mudah ditangkal. Beda halnya jika motifnya tekanan idelogis (misalnya), ini dalam dan butuh lebih jauh menyelam.

Sebab, tekanan idelogis lebih memiliki kemampuan mengkonsolidasi dirinya secara natural daripada tekanan jenis lainnya. Sejumlah riset menunjukkan hal itu.

Hal ini kemudian, bisa menjadi masalah yang jauh lebih serius karena pola gerakannya dalam menyebar kebencian berbasis sara melalui media sosial bukan linear, atau memutar tapi saling silang menyilang secara brutal.

Gerakan itu menyentuh semua sisi kelompok sosial dan virtual seperti (sebut saja) kelompok liberal, konservatif, radikal, netral dan kritikal. Misalnya, kelompok netral, bisa terpengaruh menjadi buruk jika terus menerus mengunyah informasi busuk yang diproduksi Saracen. Sebaliknya, kelompok kritikal dapat saja terbawa arus ‘dipaksa’ masuk menjadi kelompok Saracen karena pada beberapa sisi memiliki sikap kritis pada kekuasaan dan seterusnya.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Sehingga, Saracen menjadi sangat berbahaya karena bukan saja memicu konflik, kebencian dan permusuhan, tapi merusak demokrasi virtual dan ancaman bagi Pancasila sebagai ideologi negara.

Masih tentang jika bermotif ideologi, apakah faktor ideologi itu berdiri sendiri sebagai sebuah usaha berdasarkan keyakinan atau akibat sebagai sistem perlawanan?  Sebab, jika Saracen ini merupakan bentuk perlawanan, siapa yang dilawan? Atau mungkin ada sejenis Saracen lain yang saling berhadapan? Riset saya tentang “Perang Siber” mungkin dapat menjadi petunjuk awal untuk memahaminya.

Oleh sebab itulah, kendati kepolisian berhasil mengungkap jaringan jahat ini, saya masih penasaran dengan motif dasarnya, ekonomi, politik atau ideologi?

Eta, terangkanlah Indonesia…

*Iswandi Syahputra, adalah Komisioner KPI periode 2013-2016 dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Editor: Romandhon

Related Posts