Budaya / SeniKreativitas

Sapardi Djoko Damono dan T.F.Chan Senada Maknai Penerjemahan Karya Sastra

NusantaraNews.co, Jakarta – Literatur atau referensi buku-buku induk sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam suatu wilayah. Dalam bidang sastra misalnya, sejak awal kemunculannya di Indonesia, para pujangga banyak membaca karya-karya sastra dari luar negeri seperti Arab berupa kitab-kitab atau dari eroba.

Dalam perkembangannya, buku-buku sastra karya sastrawan dunia supaya bisa dibaca oleh masyarakat pembaca di Indonesia, dilakukanlah alih bahasa atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Begitu pula sebaliknya, untuk karya-karya sastra Indonesia yang terbilang baik dan penting untuk disiarkan ke mancanegara pun diterjemahkan ke bahasa asing.

Lantas bagaimana proses, cara kerja dan bentuk penerjemahan tersebut. Bisahakan hanya dengan dialihbahasakan kemudian hasilnya memiliki mutu yang sama dengan aslinya? Ataukah harus dimaknai sendiri oleh si penerjemah maksud dari si penulis aslinya?

Penyair cum novelis “Hujan Bulan Juni”, Sapardi Djoko Damono, memberikan jawaban terkain penerjemahan karya sastra. Menurut dia, menerjemahkan karya sastra tak sebatas mengalihbahasakan kata per kata dan dilakukan hanya dengan sekali membaca karya itu.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Saya penerjemah juga. Memang kita harus baca berulang kali dulu. Setelah bisa menghayati baru kita keluarkan,” ujar penyair liris itu, di Jakarta, Rabu (1/11/2017) kemarin.

Menurut penerjemah karya Ernest Hemingway, “Lelaki Tua dan Laut” (1973) itu, karya hasil terjemahan adalah “milik” si penerjemah. Dia mencontohkan, karya antologi puisi “Hujan Bulan Juni” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, adalah milik penerjemahnya, T.F.Chan.

“Terjemahan itu milik pemerjemah. Buku dalam bahasa Indonesia milik saya, sementara buku berbahasa Mandarin milik Pak Chan,” kata Sapardi seraya terkekeh yang kemudian disambut tawa lepas dari Chan.

Chan yang merupakan diaspora Indonesia yang bermukim lama di Hong Kong sependapat dengan Sapardi, bahwa sebelum menerjemahkan karya sastra, sang penerjemah harus berkali-kali dulu membacanya.

“Saya harus baca berulang-ulang kali sehingga merasa sajak yang saya terjemahkan itu saya yang buat. Prosesnya tergantung, lihat dulu sajaknya. Kalau lancar 1-2 hari selesai satu sajak,” kata Chan. (Namia)

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Editor: Sulaiman

Related Posts