Opini

Sandera Arogansi Rezim Islamofobia di Kampus

Sandera Arogansi Rezim Islamofobia di Kampus. Kasus Prof Suteki dan Hikma Sanggala merupakan contoh riil adanya sandera arogansi rezim Islamofobia di kampus. Prof Suteki dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip. Selain itu, juga dicopot sebagai pengajar di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang. Pencopotan jabatan tersebut diduga berkaitan dengan keberadaan Suteki saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan yang dilayangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Prof Suteki dianggap melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan, Hikma Sanggala adalah mahasiswa IAIN Kendari yang diberhentikan secara tidak hormat sebagai mahasiswa. Menurut LBH Pelita Umat yang mengawal kasus ini, Hikma dikeluarkan dari kampus karena dianggap berafiliasi dengan aliran sesat dan paham radikalisme. Selain itu, pihak kampus juga menuding bahwa Hikma menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Meskipun tidak diperinci paham seperti apa yang disebarkan oleh Hikma. Hikma sendiri merupakan mahasiswa yang aktif dalam menolak pelarangan cadar, UU Ormas dan Kebangkitan PKI.

Sandera arogansi rezim Islamofobia di kampus menambah daftar hitam potret dan cermin kondisi dunia kampus atau intelektual hari ini. Padahal masih banyak fenomena negatif lainnya di kampus yang harus diwaspadai dan dicarikan solusinya seperti kasus pelecehan seksual, pergaulan bebas, kasus pengedaran narkoba, LGBT, apatis dan asosialnya komunitas kampus dan lain-lain. Inilah salah satu realitas yang memprihatinkan di dunia kampus dan juga menyakitkan yang harus kita terima.

Kampus seharusnya seperti mata air. Dari kampus bermula berbagai gagasan, inspirasi, serta motor penggerak perubahan. Seluruh civitas akademica kampus, khususnya rektor, dosen dan mahasiswa akan mewarnai dan menentukan arah perjalanan perubahan. Sebagai mata air, kampus merupakan sumber pengetahuan dan gagasan yang mentransfer keunggulannya ke lingkungan sekitar, layaknya mata air yang menyuburkan vegetasi disekitarnya tumbuh dengan subur. Kampus semestinya menjadi tempat lahirnya sosok intelektual yang dengan ilmunya bisa menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Namun realitas memprihatinkan nampak dari kasus Prof Suteki dan Hikma Sanggala. Dua sosok intelektual kampus yang menyuarakan kebenaran bukan pembenaran dan menebarkan kebaikan justru tersandera arogansi rezim Islamofobia. Sandera arogansi rezim Islamofobia disebarkan melalui isu radikalisme. Isu radikalisme digunakan sebagai alat propaganda untuk menjadikan islam sebagai pihak yang tertuduh, menjadikan islam sebagai suatu yang menyeramkan dan berusaha menjauhkan umat islam dari agamanya, termasuk mengkampanyekan Islamofobia pada diri kaum muslimin. Caranya dengan melontarkan dan menggiring isu radikalisme ke dalam lingkungan kampus yang dianggap berpotensi sebagai sarang gerakan radikal. Hal ini memiliki maksud agar para civitas akademika kampus takut serta anti dengan Islam. Sejatinya Islam radikal dengan makna kapitalisme barat hanyalah bualan, propaganda yang diciptakan untuk menghalangi bangkitnya Islam kaffah. Sungguh ini adalah suatu propaganda yang jahat terutama untuk Islam.

Sosok Prof Suteki dan Hikma Sanggala merupakan bukti fenomena tumbuhnya kesadaran Islam dan pengamalannya di lingkungan intelektual kampus. Pemikiran Islam politis dan ide-ide Islam sebagai solusi atas permasalahan di negeri ini digaungkan oleh mereka. Selain itu komitmen keberpihakannya kepada Islam, syariah dan Islam politik juga tidak diragukan lagi. Hal inilah yang membuat rezim begitu panik dan geram, sehingga bertindak arogan dan semena-mena. Sehingga harus diambil langkah mencopot statusnya sebagai bagian dari civitas akademika atau para intelektual kampus. Inilah bukti bahwa civitas akademika atau para intelektual kampus hari ini tersandera oleh arogansi rezim Islamofobia.

Dalam Islam, intelektual adalah sosok yang digambarkan memiliki rasa takut kepada Allah Sang pemilik ilmu. Intelektual sangat khawatir jika ilmu yang disampaikan membawa murka, bukan membawa keridhaan dan pahala dari Allah. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang dibangun oleh dunia pendidikan hari ini cenderung menantang dan lancang terhadap pemilik ilmu yaitu Allah SWT. Padahal para civitas akademika mempunyai fungsi dan peran yang besar di dunia kampus maupun masyarakat. Dosen bertugas mentransformasikan ilmunya serta mengembangkan dan menyebarluaskannya melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dan negeri ini. Mahasiswa berperan sebagai social control dan agent of change di tengah masyarakat serta generasi penerus dan pemimpin masa depan. Mahasiswa harus memiliki kemampuan intelektual, kepekaan sosial dan politik serta sikap kritis yang kelak mampu memberikan saran, kritik dan juga solusi untuk permasalahan masyarakat maupun negeri ini sesuai dengan sudut pandang Islam.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Terlalu banyak pembodohan, kezaliman dan ketidakadilan yang telah dipertontonkan oleh rezim hari ini. Maka, sudah seharusnya para civitas akademika, khususnya mahasiswa berpikir untuk mengembalikan dan juga mengubah keadaan kearah yang positif serta tidak menghilangkan jati dirinya sebagai mahasiswa. Dosen dan mahasiswa bukanlah orang-orang yang terlarut asyik dengan dirinya sendiri tetapi memiliki tanggung jawab sosial yang tak bisa dibendung ataupun dilawan oleh hati nuraninya. Ilmu yang dimiliki akan membimbingnya untuk menyelamatkan umat, mengungkap dengan jelas berbagai kesalahan dan kejahatan serta menyelamatkan umat dari berbagai mara bahaya lainnya. Jati diri inilah yang terkikis oleh roda kehidupan sekuler. Para intelektual terbawa arus kelelahan yang belum tentu berkontrisbusi untuk kebangkitan umat. Kontribusi yang dilakukan malah semakin mengokohkan bahkan menjadi corong rezim arogan sekuler ini.

Sandera arogansi rezim Islamofobia di kampus dapat dihentikan dengan mengembalikan fitrah civitas akademika yaitu kembali pada Islam. Salan satu jati diri atau fitrah para civitas akademika adalah berpihak pada kebenaran bukan pembenaran dan menebarkan kebaikan. Dosen dan mahasiswa adalah sosok insan berkualitas yang akan memimpin dan mengisi peradaban sebuah bangsa atau negeri sampai mencapai puncak kejayaannya. Ilmu dan kekritisannya digunakan untuk memisahkan secara jelas antara yang haq dan batil, memperbaiki masyarakat serta memajukan peradaban. Perubahan sebuah masyarakat tidak bisa lepas dari kampus dan civitas akademica-nya. Mereka adalah orang-orang yang visioner. Mereka memiliki gambaran masa depan masyarakat ideal yang ingin mereka wujudkan.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Kita perlu menggaris bawahi tentang realitas civitas akademica hari ini yang tersandera oleh arogansi rezim islamofobia. Tindakan kezaliman kepada para civitas akademika yang kritis dan pro Islam akan terus terjadi selama rezim islamofobia ini masih kuat berkuasa. Kondisi ini menjadi lahan perjuangan bagi para civitas akademika untuk meraih kemuliaan dan menjadi pembela Islam.

Perlawanan harus ditunjukkan oleh para intelektual. Gerak, suara juga karya intelektual sudah semestinya menjadi karya yang akan menjadi bukti kontribusi keberpihakan pada kebenaran, melawan ketidakadilan, memberikan kebaikan pada umat, pembelaan terhadap Islam dan perjuangan mengembalikan kejayaan Islam.

Untuk para civitas akademika, khususnya kepada para calon intelektual muda muslim dan muslimah tetaplah istiqomah, yakin akan janji Allah SWT dan takutlah hanya kepadaNya, meskipun sandera arogansi rezim Islamofobia semakin menancapkan kuku-kuku tajamnya. Percayalah dengan bekal ilmu dan juga kesadaran ideologis yang kita miliki akan menjadi kekuatan yang akan menggebuk dan membebaskan intelektual dari rantai sandera rezim Islamofobia. Allah SWT akan memenangkan yang haq dan mengalahkan yang bathil.

“Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap, Sesungguhnya yang batil adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Q.S Al Isra: 18). Wallahu a’lam bi asshawwab.

Oleh: Sri Puji Hidayati, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bekasi

 

 

 

Catatan Redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab serta tidak mewakili redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 791