Puisi

Sajakku Bersemayam dalam Peci dan Sarung

puisi gus nas, puisi indonesia, penyair indonesia, puisi nusantara, nusantaranews, nusantara news, kutekuk telunjukku
Kutekuk Telunjukku. (Foto: Ilustrasi/NU Online)

Air Mata Darah

Kukucurkan air mata darah di negeri petaka
Pada kitaran gembur tanah Nusantara
Yang mana mata air kita meruah
Dari sejarah mengangkangi serakah

Walau air mata berdiri di kota-kota
Serpihan kertas tak ‘kan bisa
Lantaran, amir tak mau duka nestapa
Sebab ia berkacamata maya

Di bawah bendera pusaka
Kunyanyikan lara
Sorak-sorai rakyat jelata
Menyeruak di penjuru jazirah

Ia telan surga kami
Seraya tak peduli hati nurani
Merangkul mata air
Mengucap kata usir

Di sini langit berwajah geram
Memandangi air mata dendam

Ia tak ‘kan bisa lari
Dari dua bola mata ini
Mencoba pergi
Kan kaujumpai pijakan air mata diri

Kapankah air mata akan sudah

Annuqayah, 04 Januari 2020

Sajakku Bersemayam dalam Peci dan Sarung

Tempatku dinamai penjara suci penduduknya dikenal sebutan santri
Shalat fardu dan mengaji kitab suci bersemayam dalam diri sang ilahi
Kitab kuning pedoman yang ku ikuti tutur kata para kyai diberi
Ku merunduk selaksa padi yang layu di kala kyai lewat di depanku
Berbekal beras menjadi kehidupan menyongsong jiwa santri kemandirian
Gelak tawa menabuh riuh beranda kesedihan melanda mala petaka
Peci, sarung pakaian sehari-hari
Baju putih mengikuti sunah nabi
Tak ada keinginan yang ku selami melainkan barokah dari kyai

Annuqayah, 05 Januari 2020

Celurit Sakera

Sakera….
Kau beri isyarat tanya
Menyelipkan doa
Menembus kelamnya cita-cita

Pada Madura
Kau lantakkan tanah
Membajak kerontang dada
Berkecai raga, berlumur darah

Pada lengkung tubuhmu
Kau hunjam otak dungu
Para serdadu
Agar mereka tak menyerbu

Dengan selempang hangat peluru
Kau tak ragu tuk maju
Terbakar dalam bara tungku
Mengoyak daging selaksa dadu

Namun, kau tak mau itu
Tumbal seribu yang kau butuh
Luluh dalam dekapan prabu
Mengalir darah air mata ibu

Kau bekaskan goresan sejarah yang suram
Dalam kitaran cerlang lampu temaram
Mengenang kisah pekat melebur hitam
Di sini kau bubungkan sumpah
“Maju tak gentar, membela yang benar”

Annuqayah, 30 desember 2019

Mana Ada

Mana ada tikus makan uang
Sementara kucing kau sogok agar ia tak makan
Mana ada anjing tak mau diam
Di kala tulang di beri tuan

Kucing….
Undang tikus masuk rumah
Beri ia keju
Agar tak makan punyaku
Anjing kejar ia kucing
Ia tak mau menyokong hukum
Beri dia kurung
Agar tak lari ke penjuru

Annuqayah, 25 desember 2019

Negeri Ilir-ilir

Tuhan Kau beri kami khalifah
Namun ia tiada berguna
Kau perintah kami menerima
Tapi harus kah kami yang menanggung derita dalam lara

Negeri kami negeri ilir-ilir
Yang tak mudah Kau pikir
Akan air keruh yang terus mengalir ke hilir

Negeri kami negeri ilir-ilir
Yang Kau pimpin bergilir-gilir
Tak tahu siapakah seorang amir
Bagai teka-teki seorang mufassir

Negeri kami negeri ilir-ilir
Kau jadi kusir
Dan kami tak jadi sopir
Tak begitu pula montir

Negeri kami negeri ilir-ilir
Negeri yang tersimpan sejuta fosil

Begitulah Negeri kami
Negeri yang Kau sebut dengan ilir-ilir

Annuqayah, 17 Oktober 2019

Tangan-tangan Penyair

Di kala tangan emas penyair bergoyang
Menari-nari indah pada kertas putih nan suci
Berjuta kata telah terangkai indah pada sajak dalam angan
Menuai kisah yang terjadi dalam sebuah puisi

Kau bagi kami raqib dan atid
Yang senantiasa mencatat bagi jagat
Dicurahkan dalam bentuk rasa
Bersama indahnya permainan kata

Kau bawa jiwa
Bersama sajak yang indah
Menuai harapan dalam dada
Menanti paggilan nyawa

Annuqayah, 17 Desember 2019

Filosofi Kopi

Aku sebuah bubuk, yang kau campur bersama manisnya gula, lalu kau hidangkan dalam sebuah bejana.
Tak ayal lagi kau sirami dengan hangatnya air mata ini, kau bantu aku melabuh, logam! tuk mengelilingi kehidupan yang hampa nan abadi.
Itulah kopiku, manisnya kehidupan harus mencicipi pahitnya harapan, sembari tercapai impian yang terus menjelma dalam khayalan.

Annuqayah, 22 November 2019

Batu Penantian

Kau sebut ia batu nisan
Batu menaruh harapan
Batu menyimpan seribu kenangan
Batu bagi setiap insan

Diatas jajaran batu-batu
Aku menaruh rindu
Bersama doaku yang pilu
Jiwa dan rasa ku haturkan padamu

Dan ketika air mata telah bercucuran pada tanah
Terbesit kenangan yang ada dengannya
Mengalun bersama nada
Sirna, apalah daya dirinya bagi seorang pujangga

Batuku, batu penantian
Batu munajat amalan
Batu bagi impian

Kini, batu itu tak lagi memberi
Sembari tak di datangi lagi
Hanya menjadi tugu perindu
Bagi sisa-sisa yang telah lalu

Wahai batu penantianku
Aku tersungkur kaku
Tak tahu arah akan di tujuh
Di kala diriku merindu

Maka padamulah aku mengucapkan sumpah rindu
Hadirkanlah dirinya padaku
Agar cinta ini tak lagi beku
Menumbuhkan kasih sayang yang baru

Annuqayah, 19 November 2019

Aku Bagi Negeri
:perokok

Aku bagimu negeri
Melinting rokok beraroma tembakau
Menjalarinya bara api
Mengepul asap ke awang-awang

Menjadikan gelapnya impian
Dalam ruangan yang pengap
Dada memompa kencang
Hidup dalam kesesakan

Tak menjadi nafas
Bagi kedekatan
Aku bagimu negeri
Seorang penghambur uang
Pergi bersama kotoran
Mendatangkan kenikmatan
Tidak bagi harapan

Annuqayah, 21 desember 2019

Kanca

Saudara …..
Kami hidup bersama penjara maya
Bergelak tawa
Bercanda riang
Menabuh riuh keheningan sel
Pada beranda pesantren

Kadang kami menangis
Di kala ditinggal pergi panutan
Yang usianya
Menjemput sakaratul maut

Namun, hanya raga meninggalkan nyawa
Tidak bagi pengabdian dan kesetiaan
Menyisakan kenangan
Yang terpatri abadi di bumi pertiwi

Kami pecinta peci dan sarung
Berjalan menjajaki getirnya kehidupan
Bergandeng tangan
Mencoba melatih kemandirian

Kami belajar banyak dari persahabatan
Memakai ulas bergantian
Dari sisa-sisa sarung tak terpakai
Dan kami makan sisa kerak nasi
Nan pula daun kelor
Beralas kantong plastik
Dan nampan bundar
Secuil nasi dengan kerumunan santri
Pun pula mendatangkan kekenyangan

Kadang kami bermusuhan
Hanya berebut castol
Mana lebih dulu memasak beras
Itulah arti persahabatan
Bagi kehidupan kaum sarungan

Annuqayah, 24 Desember 2019

Kesunyian Malam

Di kala waktu mengusik pertemuan
Hening dan kesunyian malam
Merasuki kehidupan
Hanya bagi ketekunan
Yang mengalirkan ilmu pengetahuan

Tuhan….
Kalau bukan tuntutan
Tak mau kami lalaikan
Hanya seutas kertas yang ku haturkan
Dengan tinta-tinta kemuliaan

Kini tinggal sepi
Menyendiri
Bersama ilahi

Annuqayah, 20 desember 2019

Aku Ini Siapa

Aku ini siapa
Aku hanyalah hampa
Ada dalam tiada
Hidup dalam mayapada
Yang berupa fatamorgana

Aku ini kerancuan
Membuat bosan angan
Ketika bersenggama dengan badan
Bersemayam dalam kecemburuan

Tak tau siapakah diriku
Kau bilang aku semu
Berwujud tak seorang pun tahu
Kau bilang sampah, kotoran
Masihkah pemulung
Bilang harta bagi keturunan

Aku hanyalah boneka
Mengikuti tuan kemana
Selaksa bayang pada cahaya

Annuqayah, 25 desember 2019

Pahlawan Perempuan

Pada angka sembilan
Kau itu berjuang
Nyawa, raga
Pula kau korbankan
Hanya bagi buah hati
Yang mungkin tumbuh
Tak tau diri

Kini harimu telah tiba
Buah yang kau lahirkan dari usaha
Telah pergi
Bagai kacamg dan kulitnya

Semoga itu khayalan belaka
Buah yang mungkin pergi
Senantiasa setia pada ranting yang mengikatnya

Annuqayah, 22 Desember 2019

Selamat Malam Hawa

Semoga mimpi indah
Menyatu dalam dunia kedua
Nyata selaksa realita

Annuqayah, 25 desember 2019

 

 

Tentang penulis

Hosnor Rofiq, santri Annuqayah asal Dasuk, Sumenep, Madura. Ia merupakan Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Prodi Ekonomi Syari’ah/III. Aktif di Komunitas Sastra Sufisme Gubuk Nestapa Lubangsa Guluk-Guluk Madura.

Related Posts

1 of 3,050