Puisi

Sajak-sajak Rizqi Mahbubillah

sajak, nusantaranews, kumpulan sajak, sajak indonesia, rizqi mahbubillah, nusantara news
Rizqi Mahbubillah. (Foto: Dok. Pribadi)

Sajak-sajak Rizqi Mahbubillah

 

Kembalikan Kotaku

Yang kutulis persis hanyalah bising
Tercipta dari kesepian
Diriku sendiri

Lampu-lampu, debu-debu
Merimbuni hari-hari
Yang serupa tungku
Membakar habis tubuh Jadi abu
Yang tak pasti tahu,
Angin apa yang bakal membawaku

Sepanjang jalan
Cuma gegap,
Rasa pengap
Orang memasang
Kebingungan masing-masing
Waktu yang melulu cemas
Untuk sekeping emas

Kening yang dingin
Membekam hangat kenang:
Pelukan ibu, bau keringan ayah,
dan
ladang ladang matang.

Ah, kembalikan kotaku
yang sebening air mata ibu.

Anuqayah, 2019

 

Rintih Petani

Tak lagi kutahu
Adakah almanak kelak
Masih merangkai musim silih berganti
Sedang jemari orang,
Cuma sibuk menghitung hutang
Kening berkerut, tentang sengkarut harga pasar

Adakah tangan petani
Setia mendekap hangat ladang-ladang
Sedang tiang-tiang menjadi pohonan
Tembok tinggi memperkecil jarak pandang
Padahal angin desember
Masih ingin menggiring mendung
Ke teduh caping mereka

Tapi, sekian lama sudah
Baskara dan purnama
Jadi bayang semu;
Terlalu jemu dipandang
Bintang tinggal tenggelam
Dalam kelap-kelip diskotik

Tak lagi kutahu
Adakah lidah
Masih kuasa menyayikan madah
Dari celah tanah, reranting, dan angin
Memanggil rintik-rintik hujan
Mengusir rintih- rintih kemarau.

Lubangsa, 2019

 

Depan Jendela

Petang remang-remang memanggil bayang-bayang wajahmu dalam titis gerimis dikaca jendela.
Langit yang berfariasai seperti kota;
orang- orang alpa dari mana mendung-mendung itu datang.

Mata merkuri serupa ular penggoda untuk melupakan bentuk bulan
Atau bagaimana rupa bintang membentuk layang-layang di awang-awang selatan.
Aspal yang mencipratkan hujan ke sepatu dan celana pejalan kaki.
Panyung hitam meneduhi wajah wajah galabah, pikiran yang selalu sibuk
Cari cara bagaimana melipat pekerjaan ke dalam sekon yang singkat.

Desember yang meleleh tak pernah menjelma do’a lantaran
tiada tangan pohon
Menampung mendung. Tinggal air meninggi ke dalam mesin, memperakut macet
Di jalan tak pernah damai oleh lengking kelakson bersahutan.

Kuharap wajahmu bakal menentramkan deru geram kota
Seperti tangan hujan menyapu debu di kaca jendela.

2019

 

Kota Melankoli

Aku tiada kuasa berkata sayonara pada ingatan yang serupa pemakaman
Dipenuhi hantu tersungging girang dan menangis meringis.
Sekalipun jejak langkah terlipur; gugur mengantar pada pulang.
Namun, kota ini kembali meruncingkan memori:

Gemerlap lampu-lampu selalu kuterjemahkan sebagai kunang-kunang diujung halaman.
Rewel terminal tak lebih tabuhan tirta hujan berderai di genting.
Hingar pasar sekadar instrumen cericit burung di dahan.
Bahkan, aku selalu terjebak pada pinggul perempuan bergoyang seriang rumpun ilalang diterpa hujan.

Tetapi, Pandanganku bakal selalu menangkap kemilap kaca jendela gedung
sebagai celurit kakek saat hendak menyabit rumput.
sekarang tegeletak karat seperti lumut di sudut kamar.
Adakah baskara kaeh bakal timbul seharum tembakau?

Pun dalam masjid kota ini, aku bersujud di antara kehampaan.
Marmer tetep saja gigil.
Bersandar pada pilar; masih kokoh menopang
sembari membangun surau lain dalam angan tempat bocah-bocah dukuh tulus tadarus Qur’an.

Segala mantra dan doa tinggal terpenjara, mendekam bagai napi dalam kotak susu di atas meja.

April 2019

 

Sajak Kasmaran

Sayang, naluriku kerap kali berduri manakala senyum selengkung sabitmu menusuk ke ceruk hati. Mungkin kau telah menghapus panas api dan pendar purnama
yang sempat kurangkum jadi puisi.
Namun, adakah aku pohon seteduh matamu
memandang buah matang ditubuhku? Memenuhi hasrat menyekat yang pahit?
Atau, aku sekedar debar angin tak pernah kau sapa.

Sekalipun betul apapun upaya memilikimu adalah menulis pasir; sebelum kelar kubaca
Debur ombak lebih dahulu mengaburkannya.

Pada akhirnya, kembali aku mendekam sebagai kasmaran
Melepasmu seikhlas momiji tak hendak berontak pada angin menggugurkannya.
Namun, bau tubuhmu terus tulus mewangi dalam puisi ini
menyelamatkanku dari mahal rupiah parfum di toko yang kerap kita kunjungi.

Sungguh, aku paham cinta penaka mawar serta runcing duri-duri.
Itu sebabnya segala nyeri bakal redam diatas kelopaknya semerah bibirmu
mengucurkan rindu.

Kini, aku tinggal takdim berdiri, seperti lampu jalan menebar cahaya doa:
Selamat jalan sayang

2019

 

Kopi kita

Bila aku ringkih dan rindu
Kupandang wajah permaimu
Dalam pekat kopi dicangkir tembikar itu.

Asap tipis meruap kedalam sanubari
Aroma tubuhmu membunuh nyeri melankoli.

Ketel kecil serupa angsa senantiasa setia
Dalam telaga rasa kita.

Biar kulipat gigil hujan
Kedalam ampas penghabisan.

Kau bakal menemukan kasih sayang
Dalam setiap seduhan.

Maka, terimalah diriku sebagai pahit kopi
Yang tak pernah sekali kau benci.

2019

 

Nyala Nostalgia

Lilin yang kami nyalakan menghangatkan kembali almanak masa kanak-kanak;
Temaram saban malam diakrabi. Sungguh tanpa keluh
Segala desah luruh pada lenguh sapi di kandang.

Api yang bergoyang di ujung sumbu, serupa goyang daun tembakau,
Jagung, juga cabe jamu di halaman; setia pada kami bermain kelereng dan jograng.

Lelehannya sebening sungai tempat membasuk luka.
Mancing ikan pada riciknya yang kami sebut kegembiraan.

Pendar cahayanya seperti meruncing kembali lidi
Kami pegang mengeja ayat suci. Wajah ustad-ustazah selalu kumadahkan.
Di langgar yang menyimpan alir zikir.

Tapi, bagaimanapun kami harus tetap tabah;
Pohon ditumbangkan, merata menjelma pabrik
Mencipta bising pada kuping yang mendamba tenang.

Hanya nyala sebatang lilin mampu melukiskan
dukaku seperti sabar tubuhnya terbakar.

2019

 

Meretas Mimpi

Aku selalu patah meneladani tungkai rajawali mencengkram
Setiap pitutur pinta ibu. Tunduk bagai budak pada nafsu seberbak bunga.
Memungut kefanaan ditepian seperti menghapus tuju yang wujud di ujung jalan

Sesekali tempias air hujan menyuruh memperbaiki
Apa yang retak jadi gerak sejauh pandang. Menusukkan nyeri
Sebab tubuh masih di ambang kesia-siaan

Sekalipun tak ada keterlambatan, namun masihkah diri
Seperti air melubangi sebongkah batu?
Sedang pendirian masih goyah ditikam lelah.

Adakah cambuk memacu langkah lamban menjadi derap
Penaka kuda meraih apa yang sempat menjadi doa.
Mencipta senyum dari lubuk kalbu yang bermekaran.

2019

 

 

Rizqi Mahbubillah, lahir di Pakandangan sangra, Bluto, Sumenep. Sekarang santri aktif PP. Annuqayah daerah lubangsa. Juga tercatat sebagai siswa kelas VIII MTs 1 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur. Puisinya pernah dimuat di Radar Madura, juga dalam antologi Puisi untuk Presiden (zenawa 2019). Bergiat di sanggar AIDS IKSAPUTRA , Aliansi Jurnalis Muda IKSAPUTRA [AJMI] dan KoPOG. Tinggal di Sumenep

Related Posts

1 of 3,140