NUSANTARANEWS.CO – Pembantaian Sabra dan Shatila, September 1982, merupakan sebuah peristiwa kekejaman terburuk dalam sejarah modern. Di mana 3.500 orang Palestina – sebagian besar wanita dan anak-anak, termasuk lansia dibantai oleh Israel setelah pasukan militernya melakukan invasi ke Lebanon.
Hasil investigasi PBB membuktikan bahwa hasil pemeriksaan terhadap mayat-mayat para wanita dan anak-anak, menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka ditembak dari jarak dekat sehingga pada Desember 1982, Majelis Umum PBB mengecam pembantaian itu sebagai ‘genosida’. Faktanya, memang Tel Aviv memerintahkan dan mengendalikan seluruh operasi pembantaian tersebut.
Sementara hukuman yang dijatuhkan oleh komisi penyelidikan hanya menggeser menteri pertahanan Ariel Sharon, karena Perdana Menteri Menahim Begin menolak memecatnya. Terlepas dari keterlibatannya sendiri, Begin tidak dihukum. Meski masyarakat internasional marah, tetapi peristiwa pembantaian ini tidak cukup untuk menghentikan Israel dan dimintai pertanggungjawabannya. Israel tetap bebas untuk membunuh sesuka hati. Dan dunia hanya sibuk mengecam, tanpa aksi.
Padahal dalam laporan investigasi jelas-jelas Sharon menegaskan bahwa ia ingin menghancurkan semua kamp Palestina dan membubarkan penghuninya. Sharon juga dengan bebas menghina dan merendahkan dua wakil utama AS di Beirut, Duta Besar Morris Draper, yang dituduhkan ketidaksukaannya dalam menuntut bahwa Israel mundur dari Beirut Barat, dan utusan khusus Presiden Reagan, Philip Habib.
Sharon berbohong ketika mengatakan bahwa daerah Shatila dan tempat-tempat serupa adalah kota-kota “hantu”. Ketika pemboman udara di Beirut mencapai puncaknya, Sharon mengatakan kepada Kabinet bahwa “kami tidak menyerang di daerah tempat tinggal penduduk Sunni Lebanon.” Dia juga berbohong ketika mengatakan bahwa di kamp pengungsian merupakan bunker, dan markas besar para teroris (pejuang Palestina) berada, dan semua warga sipil telah melarikan diri. Faktanya, kamp-kamp itu penuh sesak dengan warga sipil yang tidak punya tempat lain untuk pergi.
Pada 21 September, beberapa hari setelah pembantaian Sabra dan Shatila, dia mengatakan kepada Kabinet bahwa “Kami mencegah pertumpahan darah.” Faktanya, invasi itu adalah pertumpahan darah sejak awal. Pada akhir tahun, sekitar 19.000 orang telah tewas, hampir semuanya warga Palestina atau Lebanon.
Pada akhir tahun 1982, Israel secara komprehensif gagal memahami Lebanon. Invasi memang berhasil mengubah situasi strategis geopolitik, tetapi tidak menguntungkan Israel. Israel berhasil mengusir PLO pergi, tetapi Hizbullah kemudian tampil mengambil tempatnya.
Pada tahun 2000, Hizbullah berhasil menendang Israel keluar dari wilayah Lebanon selatan yang diduduki – di mana hal itu membuat frustrasi Israel. Pada tahun 2018, rudal-rudal Hizbullah telah menimbulkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel. Negara yang selama ini dianggap oleh Israel sebagai mata rantai terlemah dalam rantai Arab ternyata kini menjelma menjadi kekuatan yang menakutkan. (Banyu)