Budaya / SeniCerpen

Saat Aku Masih Bermimpi, Adara Mengecup Keningku Hati-hati

Cerpen: Vitra Fhill Ardy*

Aku bertemu dengan Adara, bekas istriku, di sebuah Mall tanpa sengaja. Dan kalau tadi ia tak menyapaku lebih awal, pastilah aku tidak sadar sebab sedang asyik menyusuri sambil melihat toko-toko.

Ternyata, ia yang sendirian saja malah sedia menemaniku yang juga sedang sendiri, berjalan mengikutiku ke arah yang tadi sudah dilaluinya, meski aku tak mengajaknya. Katanya, biar ada teman bicara.

Tapi tak ada obrolan apa-apa selama kami bersama, saling diam, ada kecanggungan yang melingkupi. Seperti, dua sejoli yang menjalin kasih jarak jauh tapi baru saja bertemu. Kukira tak banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Ia akan tetap diam jika aku tak mengajaknya bicara.

Lantas kami menuju sebuah kursi panjang tak jauh di depan kami. Meski sudah lama berpisah, hubungan kami masih berjalan baik.

Saat hampir sampai dan bersiap duduk, aku bertanya, “Apa kabarmu, Ra?” Itu obrolan pertama kami.

Sambil mengibas permukaan kursi dengan telapak tangannya, sebelum akhirnya meniup kursi tersebut, ia menjawab, “Kabarku baik. Ya, baik. Apalagi kalau bukan baik?” Sedikit debu beterbangan, lalu ia duduk. Nada suaranya seperti orang yang sedang gugup.

“Senang aku mendengarnya.”

Tapi ia tersenyum dan diam saja. Aku juga bingung ingin bertanya apalagi.

“Jujur, aku gugup bertemu denganmu.” Benar dugaanku.

“Mengapa begitu, Ra?”

Kulihat raut wajahnya berubah jadi emosional. Aku merasa heran.

“Coba kau bayangkan. Bertahun-tahun ini aku sudah tak ingin bertemu denganmu lagi. Tapi tiba-tiba, kau hadir di depanku dengan enaknya,” ia berpikir sejenak, seperti ada yang ingin meledak dari dalam mulutnya. “Dan bodohnya, aku menyapamu lebih dulu! Kurang bodoh apa aku?” ia tampak marah dan menyesal.

Aku bingung harus bagaimana. Takut orang-orang yang berlalu lalang di depan malah memperhatikan kami. Dan memang beberapa mengarahkan pandangannya ke arah tempat kami duduk, namun dengan cepat langsung mengalihkan pandangan itu.

“Lupakan masa lalu itu, Ra,” kataku pelan, coba menenangkan. “Kau mesti sabar.”

“Tapi perlu kau tahu, betapa sakit hatiku dengan ucapan ibumu itu,” katanya dengan suara tertahan, sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.

“Maafkan aku soal itu.”

“Aku tak minta permintaan maaf darimu,” ia memalingkan wajah.

“Tapi hanya itu yang bisa kulakukan.” Dan aku mengusap-usap pundak lengannya.

Ia tak menanggapi dan tampak tenang sekarang, setelah meminum air mineral dari botol kecil yang sedari tadi digenggamnya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Aku tak menyangka kalau akan seperti ini di pertemuan kita,” aku mulai lagi.

Namun Adara seperti bicara sendiri. “Andai itu semua tak terjadi, kita pasti masih bersama,” katanya pelan.

***

Aku menikah dengan Adara lima tahun lalu saat kita masih sama-sama usia 25. Tak lama kami meninggalkan orang tua karena pindah ke rumah sendiri. Tentu kami berharap pernikahan ini berjalan bahagia sebagaimana mestinya.

Satu dua bulan kami bahagia betul. Lima bulan masih oke, tapi menjelang satu tahun, hampir-hampir aku gila.

Bukannya apa-apa, ibu tak bisa menahan keinginan agar anaknya segera punya momongan, sehingga beliau bisa secepatnya menggendong cucu. Kau tahu, kita tidak bisa mendapat sesuatu jika memang belum ditakdirkan.

“Kamu sudah coba belum, sih?”

Aku jadi risih dengan pertanyaan yang saban berkunjung dengan Adara kerumah ibu, selalu beliau tanyakan padaku. Aku juga kasihan dengan Adara yang jadi penuh tekanan. Meski awalnya aku menganggap itu ledekan biasa dari seorang ibu.

Tapi lewat satu tahun pernikahan kami, ibu malah makin keterlaluan.

“Istrimu mandul kayaknya,” kata ibu bisik-bisik padaku. Semoga saja Adara tak mendengar.

“Ibu sembarangan saja,” balasku kesal.

“Dik Riko, anak teman ibu, baru tiga bulan menikah tapi istrinya sudah hamil. Mungkin benar kalau istrimu mandul,” ibu bisik-bisik lagi. Aku makin gila saja dengan semua dugaan ibu.

Aku muak dengan perbandingan yang selalu ibu berikan. Dan aku tak peduli dengan apapun yang diucapkan ibu. Tapi sialnya, semakin aku coba tak peduli, malah semakin aku jadi memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana kalau ternyata istriku mandul?

Aku tak tega sebenarnya. Andai waktu bisa berputar, pastilah aku tak akan mengajak Adara ke dokter, dan membiarkan semua tetap jadi misteri. Yang setelah itu-kami semua tahu-kalau ternyata Adara benar-benar mandul.

Mendengar itu, Adara shock sekali. Depresi seperti orang yang mau bunuh diri dan hari-harinya makin muram saja. Tapi dengan itu, rasa cintaku padanya makin bertambah besar.

Saat kuberitahu ibu soal itu, beliau terkejut karena apa yang diucapkannya benar-benar terjadi. Dan dengan segala kebohongan-kebohongannya, beliau coba menasihati Adara, menyuruh untuk tetap tabah meski sebenarnya, beliau amat benci. Aku bisa lihat kebencian-kebencian ibu pada Adara.

Di kunjungan yang ke sekian kali ke rumah ibu, malapetaka itu datang.

Awalnya aku menyuruh Adara untuk membuatkanku secangkir kopi. Tapi entah kenapa, kurasa memang sedang sial, terdengar benturan nyaring seperti pecahan kaca. Dan beriringan dengan suara itu, ibu yang sedang duduk denganku dan memang sudah tak suka dengan Adara, malah mengumpat seolah-olah umpatan itu sudah lama ia pendam, untuk nantinya dikeluarkan suatu waktu. Dengan mantap ia bilang, “Dasar Mandul!”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Adara tentulah mendengarnya. Dan wajah ibu berubah jadi ketakukan akan apa yang ia ucapkan tadi. Tanpa mempedulikan pecahan cangkir itu, Adara lantas berlari dan langsung mengajakku pulang. Ia menutup matanya karena tak henti menangis. Dan saat perjalanan pulang, tak ada interaksi antara kami. Aku bisa rasakan apa yang ia rasakan.

Baru sampai rumah dan Adara mengejutkanku. “Kalau begini caranya, ceraikan aku saja,” katanya tiba-tiba. Suaranya terputus-putus.

Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini salahku. Salah ibuku. Dan berpisah adalah jalan satu-satunya.

Akhirnya pernikahan kami berhenti di usia dua. Sungguh sangat kusayangkan. Namun setahun kemudian, Adara menikah lagi. Sedang aku tetap melajang.

Dan akibat itu semua, ibu berkali-kali meminta maaf padaku juga Adara. Sudah kumaafkan meski kalau teringat kembali kejadian itu, marah rasanya hatiku.

***

Setelah sibuk dengan pikiran masing-masing, pandanganku kuarahkan ke jam tangan di lengan kiriku yang sedikit kuangkat, “Sudah jam 9,” kataku memecah keheningan.

“Maafkan aku soal tadi. Dan aku harus pulang,” balasnya.

“Sudahlah, lupakan. Aku juga.”

“Tapi kau bisa ikut denganku kalau kau mau. Kita bisa minum kopi bersama.”

“Malam ini?” aku merasa aneh.

“Kapan lagi?” jawabnya dengan bertanya. Tawaran menarik, pikirku.

***

Seketika aku langsung ingin pulang saja saat baru sampai depan gerbang rumahnya. Yang benar saja! Aku baru ingat kalau Adara sudah lama menikah lagi. Dan ia malah mengajakku ke rumahnya malam-malam.

“Nanti kuceritakan di dalam,” katanya usai melihatku resah.

Lampu-lampu di dalam rumahnya dinyalakan, dan aku mengikutinya dari belakang.

“Kau duduk di sana saja,” katanya menunjuk sebuah meja bulat dengan dua kursi berlawanan arah. Kurasa itu meja makannya. “Biar kita langsung minum kopi.”

Aku menuju meja itu dan berusaha duduk senyaman mungkin. Baru duduk sebentar, tapi Adara memanggilku, “Bisa bantu aku?” katanya.

Aku langsung menghampirinya, lalu membawa secangkir kopi untukku sendiri karena ia tak bisa membawa dua sekaligus. Aku sampai lebih dulu, dan duduk lagi.

“Hati-hati masih panas,” ia mengingatkan.

“Suamimu?” aku langsung bertanya sebab penasaran.

“Maksudmu?” Adara heran.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Keadaannya? Bagaimana kabarnya?”

“Kurasa ia tak lebih baik dari seekor kadal.”

“Maaf?” kali ini aku yang heran.

“Aku cuma kesal. Sudah enam bulan ini ia pergi meninggalkanku, juga meninggalkan seluruh kenangan yang sudah kami buat bersama-sama.”

“Tapi kalian belum bercerai?”

“Belum,” katanya.

Aku jadi menyesal bertanya tentang suaminya. Sejenak kuminum pelan-pelan kopi di meja, ia juga.

“Maaf, apa karena soal itu?” Jujur, aku kelewatan bertanya ini.

“Kalau misal ia keberatan? Untuk apa kami menikah? Sejak awal ia katakan kalau ia menerima keadaanku. Ia tak masalah bila tak punya anak dari darahnya sendiri. Dan dengan manisnya ia bilang, kau tahu?”

“Bilang apa?”

“‘Kamu tak perlu khawatir, kita masih bisa mengadopsi anak’. Begitu katanya.”

Aku tak menanggapi.

“Apa semua laki-laki tak bisa pegang janjinya?” ia bertanya.

Kepalaku menggeleng. “Aku tak begitu,” kataku coba membela diri.

“Dan di kepulangannya yang terakhir, ia marah-marah.”

“Kenapa?”

“Aku tak tahu. Mungkin ia sedang bertengkar dengan istri mudanya dan kemudian melampiaskannya padaku.”

“Tapi kau juga masih muda.”

Ia mengangkat kedua pundaknya. “Dan dengan hebatnya ia menuduhku binatang jalang. Aku hanya merasa aneh. Tapi kalau kupikir-pikir, yang jalang ini, aku? Atau suamiku, sih?” bicaranya sinis. “Aku jadi bingung sendiri.”

Aku memilih tak berkomentar.

“Maaf, aku jadi sentimentil begini.”

Ah, aku juga jadi merasa sentimentil, usai mendengar Adara menceritakan semuanya. Tapi ia malah beranjak dari kursinya, dan langsung saja duduk di pangkuanku. Sejenak aku terbuai, kuelus rambut panjangnya.

Mungkin ia haus kasih sayang. Tapi jantungku berdebar begitu cepat. Sebab kutahu, ia kan merayu. Kami hampir melakukannya, namun segera kutolak meski sebenarnya teramat susah.

Akhirnya Adara beranjak dari pangkuanku dengan raut muka yang maklum. Lantas pergi ke kamar tidurnya dan mengunci kamar itu. Aku dibiarkan sendiri, bersama dua cangkir kopi yang belum tandas. Kuputuskan tidur di sofa ruang tamu.

Esoknya, saat aku masih bermimpi, ia sudah bangun lebih dulu, bersiap jalani hari. Tak lupa, ia mengecup keningku hati-hati, lantas tinggalkanku sendiri.*

18-02-17, clg

Vitra Fhill Ardy.Lahir di Tangerang, 08 April 1997. Kini ia berdomisili di Cilegon untuk menimba ilmu.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39