NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – RUU Pemilu Murni Agenda Politik Menjegal dan Meloloskan Calon Tunggal. Seperti diketahui, pembahasan RUU Pemilu telah menyepakati lima paket isu krusial. Salah satu lima isu krusial adalah paket A yang di dalamnya memuat tentan aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen serta parliamentary threshold 4 persen.
Menyikapi hasil putusan rapat paripurna tersebut, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie saat dikonfirmasi redaksi Nusantaranews (24/7) mengaku gelisah sekaligus prihatin. Pasalnya, hasil rapat paripurna DPR pada 20 Juli 2017 lalu dinilai sebagai bentuk pembangkangan konstitusi.
“Saya mengucapkan berduka cita. Karena hasil rapat paripurna adalah bentuk perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 14 Tahun 2013,” ujar Gugun.
“Kenapa saya anggap sebagai perlawanan terhadap ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi? Karena pertama putusan MK nomor 14 tahun 2013 itu dengan tegas dan jelas memerintahkan agar pemilu legeslatif dan pemilu presiden 2019 dilaksanakan serentak. Secara otomatis itu memperintahkan agar tidak ada ambang batas atau presidential threshold dalam memilih presiden,” sambungnya.
Dirinya mencium ada praktik kotor di balik pengesahan Presidential threshold sebesar 20-25 itu. Dimana kata dia, mereka DPR sengaja memiliki agenda politik untuk menjegal dan meloloskan satu orang dalam bursa pemilihan presiden 2019 mendatang.
“Partai-partai peserta yang ada di DPR dalam sidang paripurna kemarin punya misi politik, punya agenda politik untuk menjegal lawan dan meloloskan salah satu lawan, berarti mereka sengaja tidak patuh pada putusan MK,” ujar pria yang kini tengah menjabat sebagai Sekretaris LPBH PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta.
Soal perdebatan pembahasan presidential threshold atau ambang batas pemilu presiden, kata dia sebenarnya sudah tidak relevan dengan putusan MK. “Karena apabila pemilu 2019 dilakukan serentak memilih presiden, artinya pake landasan pemilu yang mana? Nah, karena pemilu 2014 dan pemilu legeslatif 2014 tidak mungkin dijadikan acuan. Kecuali kalau pemilu 2024 mendatang, sekalipun besok mengacu pada pemilu legeslatif 2019 itu boleh,” tegasnya.
Pewarta/Editor: Romandhon