Rupaku, Cermin yang Tak Berwujud – Kisah Gregorio Surya A. J

Artist: Manuella Muerner Marioni Title: Spectrum Art Face Dark Medium: Acrylic with Spectrum | NY Arts Magazine

Artist: Manuella Muerner Marioni Title: Spectrum Art Face Dark Medium: Acrylic with Spectrum | NY Arts Magazine

NUSANTARANEWS.CO – Senja sudah semakin tua dan rabun. Seperti manusia yang setengah lebih hidupnya hanya bekerja untuk waktu dan beribadah pada uang. Kemudian mati, dan anak-anaknya saling memakan sesamanya demi kekuasaan harta, tahta warisan. Aku masih saja mengamati tubuhku seutuhnya, seluruhnya dalam benda tembus pandang yang hanya dapat dilihat dalam satu sudut pandang. Aku melihat diriku di seberang sana, dalam sisi yang lain. Rambutnya ikal setengah keriting dan hitam pekat. Tubuhnya, seperti bangunan rumah tua yang ditinggal mati pemiliknya, tak bertuan. Matanya merah dengan gelap di bagian bawah, masih mengamatiku seutuhnya, seluruhnya. Tentu segan untukku melihatnya langsung. Seperti anak kecil yang ketahuan nyolong mangga tetangga, aku menatapnya sesekali kemudian kepala kujatuhkan kebawah.

Ibu pernah memberi tahu bahwa aku keturunan hujan dan senja. Hanya sesekali ketika aku bertanya, “Bu, Bapak ada dimana ?”. Ibu tidak pernah memberitahu tentang Bapak dan memang aku memilih untuk apatis tentangnya. Aku tidak tahu rupa Bapak itu manusia atau benda mati, yang aku tahu aku keturunan hujan dan senja. Setelah itu ibu diam lebih mengurusi sulamnya, dan aku masih mencari dimana letak senja dan hujan di wajahku yang lain.

***

Aku tidak pandai merias wajah maupun penampilan. Aku bercermin bukan untuk berkencan dengan wanita yang aku sebut kesepian. Hanya melihat diriku seutuhnya dan seluruhnya di seberang sana. Jangan kau pikir seperti pria muda yang kasmaran hendak pergi dengan wanitanya, sekedar mengunjungi cermin untuk berlatih menyatakan perasaan. Aku lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan cermin daripada kenangan. Menghabiskan waktu dengan kenangan sama saja dengan mati bunuh diri secara perlahan. Awalnya dicekik renjana, lalu ditusuk sepi menyendiri, dan pada akhirnya mati.

Itulah mengapa teman-teman menyebut rumahku sebagai rumah kaca. Setiap sisinya dipenuhi cermin, di kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, di bawah tangga, di dapur, bahkan pekarangan belakang rumah. Pernah suatu mereka berkunjung ke rumahku, sekedar menghabiskan waktu luang sepulang kerja di hari jumat. Aku menyuguhkan mereka dengan cermin tanpa makanan dan minuman di ruang tamu dekat tangga. Aku menyuruh mereka supaya melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan, juga sepatu dan jam tangan. Namun mereka terdiam.

“Kau sudah gila!”, teriak salah satu dari mereka yang tak kuketahui rupanya.

Aku hanya tersenyum tak memandang darimana sumber suara itu berasal. Aku tersenyum dengan diriku di seberang sana dalam sisi yang lain, melihatnya melepas semua yang melekat pada tubuhnya. Lalu mereka semua diam seperti batu tua yang tak pernah aku pindahkan dari pekarangan di belakang rumah.

“Aku lebih memilih gila daripada kemunafikan.” Jawabku halus mengoyak sepi.

“Aku lebih memilih menelanjangi diriku daripada harus menelanjangi orang lain. Melihat adakah seseuatu yang bertumbuh atau bahkan menghilang dalam diriku.” Aku meneruskan bicara dengan diriku disisi yang lain, di bawah tangga. Tidak memperdulikan mereka yang masih terpaku disana atau pergi mengejar matahari yang terjatuh di tepian samudra.

Malam ini menjadi malam yang sinis dan dengki, melihat hanya dengan sebelah mata. Semua serba gelap dan sepi. Lukisan-lukisan diam tak bernyawa. Perempuan-perempuan bersolek menunggu ditelanjangi. Anak-anak tertidur di lantai jalanan, mengigau punya rumah dan uang yang banyak. Para ibu berlomba menyusui boneka tak bernyawa, dan bapaknya  jadi  celeng  di kuburan keramat.

Aku mendapati  tubuhku merayakan kesepian di kamar mandi dengan bertelanjang tubuh sepanjang malam. Menyantap kue kuning dengan sebuah kue kuning di atasnya. Menyanyikan nyanyian kitab suci dengan nada yang selalu tepat.

“Aku mendengar mereka berbicara dengan Tuhannya, tentang doa untuk anak cucu.” Kataku sambil meraba dagu yang mulai ditumbuhi bulu-bulu tajam. Aku menatap dalam cermin itu, yang tampak hanyalah rupaku dengan setengah badan hingga dada yang terlihat.

“Aku berdoa untuk mereka dengan Tuhanku.” Sambungku, kemudian menjadi hening dan sepi seperti ada yang hilang pada malam ini.

“Lantas, kita semua tertidur. Sampai mati berkata nanti.” Rupaku di cermin itu memecah keheningan. Aku pun tertidur. Dengan bertelanjang di kamar  mandi. Kamar yang penuh tai dan pesing. Kamar yang penuh nafsu dan birahi. Kamar yang menjadi tempat pengasingan untuk hidup yang sia-sia. Aku tertidur sampai pagi berkicau di kepalaku.

***

Kutemukan orang masuk dalam tidurku tanpa sopan santun. Mengobrak-abrik rumah dan memecahkan setiap cermin yang ada di rumah ini. Tidak mengambil satu barang pun, hanya memecahkan setiap cermin. Aku bangun dengan keringat membasahi tubuhku. Bukan karena cahaya matahari yang mengenai tubuhku, tapi tentang mimpi paling buruk yang baru saja kutemui. Aku membangunkan diriku dengan terpaksa dan aku rasakan nyeri menusuk telapak kakiku dengan hebatnya. Aku melihat tubuhku hancur disana, berserakan jadi kepingan kecil yang menyakiti tubuhku sendiri. Aku berlalu keluar dari kamar mandi menuju kamar, yang kutemui hanya tubuhku terbaring di lantai jadi kepingan kaca yang berserakan. Aku berlari menuju dapur, lalu ke ruang tamu dan sampai pada pekarangan belakang rumah. Aku mencari tubuhku dalam ketelanjangannya. Rumah ini seperti tubuh manusia yang harga dirinya sudah direbut, berserakan jadi serpihan kecil yang membuat luka pada tubuh. Aku berlari diatas serpihan kaca tanpa rasa sakit. Aku membiarkan serpihan kaca itu melapisi telapakku hingga memerah warnanya. Bagiku tidak ada rasa sakit di tubuh yang sakit.

Aku menangis tak menemui diriku di rumah ini. Aku berteriak mengadu pada tetangga tentang rumahku yang kemasukan maling. Tapi mereka semua diam,menutup telinga rumah mereka masing-masing. Aku menanyai anak-anak yang sedang bermain di kuburan tentang dimana diriku, tapi mereka lari menangis mengadu pada bapaknya bahwa ada orang gila tak berpakaian yang mengganggu. Lantas bapaknya keluar rumah sambil mengacungkan pisau dapur ke mukaku. Aku berlari menemui hujan dipinggir jalan, ditemani sorak – sorai anak jalanan. Aku jadi bahan tontonan mereka yang berteduh di dalam halte. Aku masih saja berlari sambil berteriak tentang diriku dalam hujan. Hingga sampai aku terjatuh dan kutemukan diriku bergenang di jalanan kota yang telanjang.

***

Senja, jangan berlama-lama di kamar mandi. Nanti ada rupa yang tidak kamu ketahui.” Aku terbangun dari tidurku di kamar mandi sesaat ketika kudengar ibu memanggil namaku dari luar.[]

 

Gregorio Surya Abdi Julianto

Gregorio Surya Abdi Julianto, lahir di Surabaya, 5 Maret 1997. Mahasiswa S1 FFTV, Institut Kesenian Jakarta. Volunteer aktif yang mengajar anak- anak pinggiran di komunitas Sahabat Anak,dan menjadi anggota aktif dalm group chamber Caprice sebagai pemain biola. Serta aktif dalam menulis cerpen, puisi, dan esai. Mukim di Tangerang Selatan. No telp : 08994496450 | Alamat email : Gregoriojulianto05@gmail.com

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version