ArtikelKolom

Rumah Sakit Buat Ratna Sarumpaet

pekerja indonesia, serikat pekerja, kebohongan ratna, kasus ratna, nusantaranews, nusantara, nusantara news
Ratna Sarumpaet. (Foto: Warta Kota)

“Jadi tidak ada penganiayaan, itu hanya cerita khayalan yang entah diberikan setan mana kepada saya seperti itu” (Ratna Sarumpaet, 3 Oktober 2018).

SAYA masih belum mengerti keseluruhan teks menyangkut Ratna Sarumpaet. Belum selesai keterkejutan saya atas apa yang ia sampaikan dalam konferensi pers, saya kembali tersentak dengan penangkapan dini yang dilakukan terhadap sosok yang berani mementaskan Marsinah Menggugat ini dalam monolog-monolognya. Ketika negara Orde Baru begitu kuat, Ratna mempertaruhkan keselamatan diri dan keluarganya dari satu panggung ke panggung lain. Tak ada yang ia takuti, ketika begitu banyak orang yang merunduk dan tunduk kepada kekuasaan. Ia berkali-kali dicekal, namun berkali-kali juga melawan.

Saya tidak tahu, kenapa bangsa ini tiba-tiba sibuk dengan sosok yang dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara, pada tanggal 16 Juli 1948 itu. Ia seusia dengan emak saya yang kini hidup di kampung halaman. Pengakuannya di kalangan terbatas dinilai telah menjadi sumbu api yang bisa membakar kehidupan demokrasi di negara ini. Ia semula dibela akibat pengakuan itu, tetapi dalam waktu singkat dinista sebagai biang keladi kebohongan publik. Padahal, tak ada satupun teks yang menunjukkan bahwa Ratna telah dengan sengaja menyebarkan ‘cerita khayalan’ yang berkecamuk di kepalanya. Yang menyampaikan kepada publik adalah pihak lain atas nama empati, sekaligus kegeraman.

Teks yang bersumber dari mulutnya yang terlihat sinis itu justru berupa pengakuan bersalah dan permintaan maaf. Itupun masih dalam nada tidak percaya atas apa yang ia telah perbuat. Sikap skeptisnya begitu kuat, termasuk kepada diri sendiri. Ia bahkan menyebut dengan jelas pihak yang sudah mempengaruhinya, yakni setan. Hanya saja, ia tidak tahu, setan mana dari barisan setan itu yang telah mempengaruhi kepala dan bibirnya itu. Walau, sejak awal ia menyadari bahwa apa yang ia katakan sama sekali keliru. Walau sudah berusia 70 tahun, Ratna masih mampu menciptakan kalimat-kalimat tajam yang sulit dicarikan tandingannya dalam generasi seusianya.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Betul, kasus yang menimpa Ratna memasuki seluruh kehidupan pribadi warga negara. Pembicaraan atas Ratna tidak terbatas hanya di kalangan kaum intelektual, komunitas politik, masyarakat sipil, atau entitas bisnis, tetapi merambah banyak sekali kanal. Jarang sekali satu peristiwa mampu muncul sebagai trending topics di media sosial selama dua sampai tiga hari. Ratna yang menguasai teknis pernafasan dalam teater ini, ternyata mampu memberikan nafas yang juga panjang terhadap dirinya sendiri. Rekaman pengakuannya, diputar berkali-kali. Bukan saja bahasa yang ia kemas begitu tajam, bernas dan bercahaya, tetapi juga gestur selama menyampaikan itu.

Energi yang tersumbat kala ia dihadang aparat dalam mementaskan Marsinah Menggugat, seperti tumpah ruah. Seluruh kata-katanya seperti mantra yang membuat orang-orang terus menyimaknya. Kalimat-kalimat yang ia ucap bagai magnet yang mampu menarik hati pelbagai kalangan. Tak ada yang ketakutan mendengar kalimat-kalimat itu, sebagaimana pemirsa sinetron Mak Lampir. Daya pikatnya melebihi Sito Gendeng, guru Wiro Sableng yang berilmu tinggi itu. Ia bak seorang srikandi yang sedang bersiap untuk menerima karmanya, dihukum oleh bangsa yang dibelanya sepenuh hati.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Yang jelas, sekalipun melakukan operasi plastik, Ratna bukanlah sosok selebritas perempuan di dunia ketiga yang berpenampilan glamour. Ia juga bukan Marie Antoinette, istri Louis XVI yang doyan makan. Andai saja Marie tak menyuruh pasukan berkuda yang mengiringi pelariannya di tengah revolusi Perancis yang bergelora untuk masak dan makan enak, barangkali sejarah akan berkata lain. Ratna ditangkap di bandara bukan dalam posisi perempuan-perempuan korup yang sibuk dengan segala macam harta kekayaannya, ketika melarikan diri ke luar negeri kala keadaan berubah. Ratna sedang bersiap untuk menghadiri sebuah konferensi yang kerap diikutinya di luar negeri.

Saya sungguh tak mengerti, kesalahan besar apa yang dilakukan oleh Ratna. Ia sudah mengakui semua kesalahannya. Sikapnya berbeda dengan Socrates yang mengucapkan pledoi Apologia, sebelum minum racun di era Yunani. Socrates bisa saja diubah putusannya, apabila mau mengucapkan permintaan maaf. Murid-murid setianya seperti Plato sudah mengumpulkan biaya untuk membayar denda, guna mengganti hukuman yang ditimpakan kepadanya. Socrates menolak. Ia meminum racun itu, sembari menyampaikan kritikan pedas terhadap praksis demokrasi di era Yunani itu. Demokrasi yang dikendalikan kalangan tuan-tuan tanah, kaum feodal, bangsawan, agamawan, hingga jenderal yang tak lagi berada di medan perang.

Ratna tidak sampai pada tingkat itu. Ia menyesal sebagai produsen dari sesuatu yang ia tolak: hoaks. Ia tak menyangka, dirinyalah yang menjadi sumber utama dari hoaks yang membuat banyak pihak yang terdiri dari orang-orang yang setia kepadanya merasa dibohongi. Ratna sama sekali belum membingkai keseluruhan tali-temali yang melilitnya. Ia masih kebingungan. Ia menangis tak berdaya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Saya tentu tak ingin menangis seperti Ratna. Ia pasti melarang saya. Ia keras. Dulu, hampir setiap pekan ia menelepon saya. Pun, saya ikut berlatih dan bermain teater bersamanya. Tatkala kami mengkritisi penanganan banjir dalam era Gubernur Sutiyoso, sebanyak 13 orang host acara Jakarta News FM dipecat oleh pengelola. Saya termasuk yang dipecat, bersama Adnan Belfast, Ahmad Taufik (almarhum), Hardy Hermawan, dan Ratna Sarumpaet. Sebab, saban Rabu malam saya melangsungkan acara-acara yang bernada kritis di kantor radio yang beralamat di Pondok Indah itu. Ratna tak kapok. Ia terus melawan, termasuk saat lapangan Monas dipagar dan dihuni oleh seekor gorilla yang dibeli seharga Rp 3 Milyar.

Tapi bolehkah saya meminta satu saja? Sebelum Ratna benar-benar dinyatakan bersalah oleh hukum dan hakim di negeri ini: hadapkan ia ke kalangan dokter-dokter ahli. Ia sakit dan masih sakit. Periksa ia dengan baik, termasuk oleh ahli-ahli psiko analisa. Para guru besar di bidang ilmu budaya juga bisa dipanggil sebagai panel ahli. Sidangkan ia secara terhormat di wadah yang sesuai, agar ia bisa memahami makna dibalik cerita khayalnya. Jangan biarkan ia percaya, pun bangsa ini, bahwa setanlah yang telah berperan besar dalam seluruh drama ini.

Bawa Ratna ke rumah sakit, bukan ke penjara!!!

Oleh: Indra J Piliang, Komunitas Alumni Satu Merah Panggung

Related Posts

1 of 3,149