Roedjito di Mata Seniman: Pancaran Mistis Sang Maestro (Bag I)

Pertunjukan “Manusia Kapur” di Kampung Badur/Ilustrasi Foto: Dok. Hafash Giring Angin

Pertunjukan “Manusia Kapur” di Kampung Badur/Ilustrasi Foto: Dok. Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*

NusantaraNews.co – Walaupun sang skenografer seperti Roedjito telah lama berkalang tanah, Allahu Yarhamuhu, tapi semangat yang diteteskan kepada generasi muda tidak berkarat dan luntur. Karya sketsa dan garis jejak penanya senantiasa menancap dalam prasasti batin kita; seolah-olah hadir kembali mengisi ruang-ruang komunikasi dalam jarak yang tak berhingga. Apa yang telah dilakukan Roedjito dalam karya gambarnya merupakan ziarah; semacam silaturrahmi yang bisa menyambungkan semangat egaliter terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hal ini mengingatkan pada ungkapan guru-guru seni tradisi kita di masa lalu bahwa bagaimanapun sejarah manusia tidak terlepas dari proses pengalaman dan penghayatannya akan kehidupan. Ia hidup dan dibicarakan oleh banyak orang karena hasil karya-karya yang dihasilkan. Hampir dalam seluruh karir kesenimanannya, Roedjito selalu bekerja dan berada dalam kesadaran total untuk menghasilkan kreativitas produksi yang dinawaitukan untuk kehidupan dan kemanusiaan. Hal ini yang menarik dari sikap pribadi Roedjito untuk ditelaah sebagai sebuah medan kajian bahwa hanya dengan keterlibatan penuh atas karya dan kreativitas seseorang bisa survive dan bertahan.   

Melalui tulisan ini kita bisa melakukan perjalanan kilas balik tentang seorang tokoh sejarah tata pentas dan tata cahaya Indonesia yang luas pengalaman dan tajam analisanya dengan komunitas para seniman, aktor-aktris maupun penari dalam berbagai peristiwa kebudayaan. Hal ini yang menjadi tengara mengapa sosok penata panggung ini selalu menjadi perbincangan di setiap efen-efen kebudayaan sampai di pojokan warung seniman. Di mata setiap persona, mungkin keunikan dan kesederhanaan karya-karya Roedjito yang menarik dituliskan karena perjalanan sebagai penata panggung telah menyumbang benih subur dan makna mendalam bagi perkembangan seni pertunjukan Indonesia. “Benih yang baik akan menghasilkan buah yang baik”. Demikian orang bijak mengatakan; bahwa ketika seniman besar seperti Roedjito telah tiada maka karya-karyanya berbicara di hamparan kenangan kita lalu membekas dan menjadi penerang bagi kehidupan.

Spirit inilah yang sampai sekarang tetap menjadi pusaka bertuah dan memberikan pengalaman berharga bahwa Roedjito dengan kekurangan dan kelebihannya adalah sosok pribadi yang memang layak diapresiasi dan diteladani—meskipun di balik itu semua, beliau memang pantas menyandang gelar sebagai ahlulilmi; pemangku ilmu yang dengan segenap jiwa raga dan pengalaman spritualnya mampu memberikan efek secara langsung kepada penonton maupun kepada pelakunya. Sikap totalitas dan kesetiaan pada profesinya sebagai penata rupa inilah yang menempatkan Roedjito sebagai seniman sekaligus tokoh yang menginspirasi jutaan seniman-seniman di Indonesia.

Roedjito lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juni 1932, Roedjito belajar melukis sejak 1956. Ia membidani lahirnya Jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta bersama Oesman Effendi, Zaini, dan Nashar. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI (1954-1959), dan di tahun 1970 belajar di East West Centre, Hawai. Dalam perjalanan berkesenian di beberapa kantong kebudayaan Indonesia, Roedjito mengalami masa-masa  bertuah paling tidak dari sejak tahun 1967 sampai ajal menjemput tahun 2003 memahat berbagai cakrawala dan kreasi pemanggungan—– khas Roedjito—- yang menurut Yasraf Amir Piliang (2007-37) disebut dengan “semiotika ketakberhinggaan”. Menurutnya “bagaimana membaca sebuah gambar yang hanya terdiri dari titik, garis, dan bidang; tidak ada figure, tidak ada sosok, tidak ada ikon? Apakah titik, garis dan bidang itu dapat menjadi tanda? Apakah titik, garis dan bidang itu an sich bermakna? Apakah makna itu bersifat individual atau kolektif? Apakah ada semacam aturan main, konvensi atau kode tertentu di balik kombinasi unsur-unsur gambar itu, sehingga mampu memproduksi “makna” tertentu yang bersifat kolektif dan sosial?

Penjelasan Yasraf Amir Piliang ini menurut penulis menjadi sebuah tanda dan petanda dalam kehidupan Roedjito itu sendiri yang membungkus sebuah pertanyaan dan rasa penasaran. Ya itulah Roedjito, dengan segala pernak pernik kehidupannya menarik dilukiskan dan digambarkan. Ia bersifat mistis namun anggun, ia bersikap gagah namun kaya dengan spritualitas yang memancarkan sikap nasionalisme dan kebersamaan.

Dalam aktivitas berkesenian, kita bisa melihat, Roedjito banyak berkiprah dan terlibat dalam lapangan pertunjukan dan kebudayaan seperti teater, tari, musik, seni rupa bahkan film. Dari bidang-bidang kesenimanan tersebut, hampir tak ada teater modern Indonesia yang panggungnya tidak disentuh tangan dingin Roedjito. Rendra dalam berbagai pertunjukan modern dengan Bengkel Teaternya selalu meminta Roedjito sebagai penata artistiknya untuk mengorganisasi suatu ruang total lewat coretan, goresan sketsa atawa penataan pemanggungannya; sebuah karya instalasi yang akrab yang kalau boleh saya sebut senyawa dengan Richard Schechner penggagas teater lingkungan yang menggabungkan antara teater dan antropologi. Konsep teater lingkungan ini dikenal dengan Performing Art yang merupakan basis teater invironmental; yang mana seluruh ruang secara aktif dilibatkan dalam seluruh dampak pertunjukannya. Dalam hal ini, Roedjito (2007:133) menyebutkan istilah invironmental adalah kegunaannya memberi batasan suatu pendekatan estetik untuk pementasan yang menetapkan suatu kondisi yang sangat terkontrol sehingga transaksi yang mempertunjukkan, ruang dan ide dapat berkembang secara organik.

Dalam pertunjukan Rendra yang bersifat teatrikal misalnya—biasa disebut teater mini kata—menggunakan kata secara minim—merupakan seni pentas pertunjukan yang fleksibel dengan improvisasi-inprovisasi gerak pemainnya terhadap ruang. Artinya responsi pemain tergantung pada jarak ruang dan jarak waktu yang menyentuh seluruh area di mana penonton hadir dan berada atau pemain yang berpentas. Roedjito sebagai skenografer sangat paham apa yang menjadi keinginan Rendra dalam pertunjukan pertamanya; seperti pada judul “Bip-Bop” dan “Menunggu Godot” pada tahun 1969 yang merupakan langkah awal dari Bengkel Teater melakukan revitalisasi dan reinvensi serta pembaharuan dalam pemikiran teater Indonesia modern.

Begitu juga halnya Putu Wijaya ketika mengenal Roedjito pada awal-awal di Bengkel Teater saat pertunjukan “Oedipus Sang Raja”. Putu mempunyai kesan mendalam yang nyaris sama dengan Rendra atas kebaruan dan keunikan sudut pandangnya—-meminjam istilah Muji Sutrisno—Mata Lukis—-yang memberi nyawa terhadap pertunjukannya. Putu Wijaya sebagai dramawan kala itu mengaku kepiawaian Roedjito sebagai penata artistik yang sangat inspiratif seperti yang dikatakan Putu Wijaya (2007;17) bahwa dalam pertunjukan Indonesia modern, Roedjito selalu menggunakan properti sederhana seperti pada penggunaan level, kotak-kotak, bambu, dolken, kain-kain, umbul-umbul, tali-tali, tikar, serta janur dan sebagainya. Menurut Putu apa yang dilakukan dengan benda-benda murah dan sederhana—-bukan murahan—-setidak-tidaknya kalau bukan diciptakan, telah digalakkan oleh Roedjito; tanpa mengurangi andil dari para penata artistik dan sutradara-sutradara yang waktu itu memulai sebuah “tradisi baru” yang kini bisa dijadikan referensi bagi langkah teater Indonesia modern berikutnya. Roedjito menurut Putu—-telah ikut membawa dan mendorong teater tidak lagi kepada pertunjukan yang bertele-tele, tetapi cepat, sigap, praktis, dan membumi.

Dalam pertunjukan Putu Wijaya dengan Teater Mandiri—memiliki ciri-ciri pertunjukan yang lebih mengutamakan improvisasi yang lentur dan luwes dari para pemainnya. Ada efek-efek artistikal yang hendak disampaikan dalam gerak dan properti yang dimainkan; seperti penggunaan dolken-dolken bekas, kain dekor atau tali tamali yang dililitkan dalam bidang-bidang pentas pertunjukan. Putu mengaku bahwa apa yang digarap dalam pertunjukan bersama teater Mandiri terinspirasi dari apa yang dilakukan  Roedjito. Seperti pada penonjolan set sampah layar—menjadi bidang-bidang di dalam set yang sangat kaya dan imajinatif sehingga menurutnya—tercapai imaji-imaji yang ramah dan fantastik dengan biaya yang sangat murah.

Begitu juga Roedjito terlibat dalam karya pertunjukan Arifin C Noer, Teater Koma Nano Riantiarno, Satu Merah Panggung Ratna Sarumpaet, Teater SAE Budi S Otong, Teater Kubur Rachman Sabur, pementasan tari Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Gusmiati Suid, Farida Utoyo, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ibu Dewi penari Topeng Cirebon hingga Mimi Rasinah yang pernah dipersiapkan Roedjito dengan sebuah penataan pentas yang ramah dan dengan seluruh sense kreativitas dan penginderaannya. Ini adalah salah satu upaya Roedjito dalam ajang silaturrahminya dengan beberapa kolega seni yang ia raba dengan baik dengan tetap mempertahankan ideologi berkesenian serta mempertaruhkan idealisme kepentasannya. Silaturrahmi yang dibudidayakan Roedjito dalam karya-karya artistiknya merupakan sebuah peninggalan dan warisan yang sampai sekarang sering tampil sebagai ikon; sebagai gaya instalatif yang jejak-jejak mata airnya diteruskan oleh pengagum-pengagumnya.

Bisa dikatakan apa yang digarap Roedjito dengan tata artistiknya memberi makna komunikasi—meminjam istilah Roedjito—-sebagai sebuah roh dalam pikiran, sebagai sebuah badan dalam alam dan sebagai jiwa dalam perasaan. Dalam hal ini, Roedjito jelas bukan bekerja tanpa proses. Dari tiga tahun keberpulangannya ke alam tak berhingga, ia tetap memiliki kesan sebagai manusia yang memiliki stamina muda untuk berhijrah menapaktilasi ziarah panjang luas kebudayaannya. Selain sebagai penata panggung, Roedjito adalah seorang pemikir yang kaya dengan wawasan berkat dunia bacaannya yang luas. Tiada hari tanpa membaca. Begitu motto Roedjito yang selalu diucapkan kepada mahasiwa-mahasiswanya di IKJ di sela-sela mengajar. Meskipun ia telaten dengan dunia bacaan, Roedjito tetap memilih diam sebagai seorang pertapa dan pemikir sejati yang selalu merayap di kesenyapan dan tidak ada kehendak menonjolkan diri.

Mbah Djito sapaan akrabnya, merupakan empu sekaligus guru yang akrab di kenal di lingkungan kampus Institut Kesenian Jakarta; dalam sosoknya sebagai ayah dan sahabat yang tak banyak bicara namun terbukti menghasilkan sketsa-sketsa hitam putih yang mengesankan; hal itu terlihat dari hasil sketsa pada kertas-kertas kecil yang dilukisnya yang tidak hendak menggurui. Salah satu yang paling mengesankan penulis ketika berkunjung ke rumahnya di bilangan Cikini Jakarta; waktu itu ada tugas pelajaran artistik dari dosen Sonny Sumarsono; sebuah deskripsi miniatur tata pemanggungan naskah “Motinggo Busye” dengan judul “Malam Jahanam”. Beliau berujar dengan gaya diplomasi seorang pertapa bahwa “dalam menggarap sebuah pentas tidak terlepas dengan gagasan mise en scene; yaitu sebuah aksi yang hidup dalam ruang dan waktu. Dalam proses penggaparan mise en scene pertama yang harus dipikirkan adalah menyusun dan menggarap sebuah struktur penataan yang mencakup bahasa, gerak, action, warna, cahaya dan segala aspek-aspek spektakel yang menetap dalam sebuah karya. Di dalam struktur permainan, seorang pemain akan menemukan sebuah gerak improvisasi yang didasarkan atas kondisi ragawi, keruangan dan kejiwaan yang langsung.

Berangkat dari penjelasan mengenai struktur pertunjukan ini terlihat kepada kita bahwa Roedjito mempunyai horison dan cakrawala bacaan yang sangat luas setebal kacamata dan buku-buku literaturnya. Hampir di setiap sisi pintu dan jendelanya kala itu penuh dengan tumpukan buku-buku bermutu yang tersusun menggunung; menurut informasi sudah dihibahkan sebagian ke perpustakaan Institut Kesenian Jakarta. Kita bisa bayangkan bagaimana cara Mbah Djito menggulati dunia bacaannya sehingga beliau fasih menjelaskan dari hal-hal yang kecil dan besar. Sejatinya, ia sangat taktis dan selalu mencari alasan dan peluang dalam mendeskripsikan semua gagasan artistiknya; yang tentu saja menjadi logis. Sepintas apa yang digambarkan Roedjito dalam diskusinya nampak samar dan datar namun banyak sekali mutiara dan hikmah dari kalimatnya yang jujur dan bermutu—sebagaimana istilah orang asing mengatakan dengan “perpustakaan yang berjalan”.

Bersambung….

*Hafash Giring Angin, Alumnus Fakultas Pertunjukan Jurusan Teater “Seni Urban dan Industri Budaya” di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Praktisi seni pertunjukan, pengajar di Cantrik Padepokan Seni Bagong Kussudihardjo Yogyakarta.

Exit mobile version