Politik

Rocky Gerung Sebut Keraguan Identitas Membuat Petahana Jadi Tak Otentik

Pengamat Politik Rocky Gerung (Foto: NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)
Pengamat Filsafat Politik Rocky Gerung (Foto: NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat filsafat politik, Rocky Gerung mengkritisi tampilan citra dari petahana yang dianggap berubah ubah. Menurut dia, hal itu menunjukkan di dalam diri petahana ada keraguan identitas.

Keraguan identitas inilah yang memicu sosok petahana kemudian tampak menjadi tidak otentik.

“Jadi itu keadaan kita, yang mau saya sebut sebagai pendunguan. Artinya tidak punya kemampuan untuk mengabstraksikan tema politik,” kata Rocky Gerung saat menjadi pembicara dengan tema Political Lies, yang diadakan Rumah Aspirasi Prabowo-Sandi, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at malam (23/11/2018).

Rocky kemudian memberikan contoh, jika memang sedari awal petahana ingin menampilkan diri sebagai ‘pembalap’ maka seterusnya harus konsisten dengan tampilan tersebut dan jangan berubah ubah.

Baca Juga:
Poster ‘Raja Jokowi’ dan Terbongkarnya Skenario Politik Playing Victim
Mengapa PDIP Berlindung di Balik Politik Playing Victim?

“Kalau dari awal ia pembalap, konsisten dibikin pembalap. Terus menerus dikasi narasi bahwa pembalap punya IQ, bahwa pembalap tidak perlu baca teks. Tapi ini pindah pindah,” ungkapnya.

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Itu artinya, kata Rocky menganalogikan, ketika petahana gagal di satu tempat, maka di tempat lain ia akan diupayakan untuk berhasil.

Rocky Gerung kemudian melanjutkan, bahwa menjadi raja itu bukan demokrasi, tapi feodal. “Berkultur Jawa, ya oke! Tapi dia pemimpin republik,” katanya.

Baca Juga:
Pertemuan IMF-World Bank, Rocky Gerung: Saya Sudah Bisa Tangkap Gimmick Pers Dunia Kepada Presiden
Saham Freeport Belum Dibayar Se-Rupiahpun, Rocky Gerung: Hmmm lagi..

Jadi kata Rocky, situasi itu tampak kelihatan bagaimana kontrasnya sosok petahana. “Di satu sisi ingin jadi milenial, tapi di pihak lain ingin jadi feodal.”

“Kalau saya sebagai individu, is oke. Tapi itu pemimpin publik. Jadi ada kontradiksi di dalam cara kesederhanaan yang dikemas. Mengemas kesederhanaan dengan cara kacau,” ujarnya.

Akibatnya, lanjut pria yang mengajar ilmu filsafat itu, yang tampak justru adanya semacam keraguan identitas. “Jadi ia menjadi tidak otentik,” tegasnya.

Pewarta: Romandhon
Editor: Almeiji Santoso

Related Posts

1 of 3,112