Budaya / SeniCerpen

Ritual Malena

Cerpen: Nasrul M. Rizal

Seperti biasa, saat gelap mulai menyapa, Malena memulai ritualnya. Tangan kanan Malena lincah memainkan cepuk bedak pada wajah orientalnya. Selanjutnya dia mengambil pensil alis, menggambar kembali alis yang tipis. Tak lupa dia menggunakan eye shadow, eye liner, bulu mata palsu, maskara, dan lensa mata. Sebagai penyempurna, ia mengoleskan lipstick warna merah marun pada bibirnya yang seksi. Ritual pun berakhir. Sempurna. Malena tersenyum melihat pantulan wajahnya di cermin. Kecantikannya bertambah.

Malena beranjak dari tempat duduknya. Ia siap menikmati larutnya malam.

Berbeda dengan kebanyakan perempuan, Malena memilih bekerja malam hari. Tidak ada ukuran jam kerja bagi Malena, misal 8 jam/hari seperti buruh pabrik. Ia bekerja sesuka hatinya. Bahkan jika tidak mood untuk bekerja, ya, tidak bekerja.

Di tempat kerja, Malena sangat tersohor. Sudah dipastikan siapa pun yang bekerja di sana mengenalnya. Ia juga dikenal banyak pengunjung, mulai dari pemuda hingga yang tua, konglomerat hingga pejabat. Pekerjaan Malena sederhana. Ia hanya duduk di sofa, menunggu pengunjung yang menghampirinya, bercakap-cakap beberapa kata, membuat kesepakatan, dan dimulailah pekerjaannya.

Malam ini Malena beruntung. Ada konglomerat yang tertarik padanya. Dengan senang hati Malena menyetujui permintaan tamunya, lelaki paruh baya berperut buncit. Biasanya Malena harus menemani dulu tamunya bernyanyi di tempat karoke –tempatnya bekerja–  tersebut. Namun, untuk yang satu ini berbeda. Lelaki paruh baya itu tidak mau bernyanyi. Katanya dia pengin Malena langsung menemaninya, full sevice. Lelaki paruh baya itu membawa Malena. Sebuah mobil mewah meninggalkan parkiran. Mobil itu bergabung dengan mobil lainnya. Merayap di jalan kota Kembang yang lebih macet dari biasanya. Mungkin karena malam minggu, waktu paling asyik berkeliaran tengah malam.

Malena dibawa ke sebuah hotel berbintang. Bintang empat. Hotel mewah yang terletak di jantung kota. Tanpa banyak tanya, resepsionis mempersilakan mereka. Memberi kunci kamar nomor 221. Kalau saja lelaki paruh baya itu bukan orang kaya, tentu saja resepsionis tidak akan mempersilakan mereka. Lebih tepatnya akan mengusirnya. Sungguh aneh ada lelaki paruh baya membawa seorang gadis, yang lebih cocok sebagai anaknya, ke sebuah hotel malam hari. Apalagi si gadis memakai baju yang membuat mata lelaki terbelalak, yang membuat jantungnya terpompa lebih cepat, deg, deg, deg. Tapi, apa pun jenisnya, bagaimana pun peraturannya, asalkan ada uang semuanya menjadi gampang. Mana berani resepsionis mengusir orang yang memberinya uang lebih?

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Pintu ditutup rapat-rapat, tak lupa dikunci, beberapa detik setelah mereka tiba di kamar nomor 221. Belum sempat Malena menyimpan tas, lelaki paruh baya itu langsung memeluknya dari belakang. Malena sedikit kaget, dia belum siap. Tidak peduli dengan respon gadis yang dipeluknya, si lelaki paruh baya itu membalikkan tubuh Malena, menjatuhkannya ke kasur, memburu bibirnya.  Malena masih belum siap. Dan lelaki itu tetap tidak peduli. Perlahan tapi pasti Malena mengikuti ritme “permainan” si lelaki parahu baya, yang sangat bersemangat menjarah setiap jengkal tubuhnya. Menikmati perempuan yang usianya belum genap 20 tahun itu. Malena tersenyum menanggapi pujian lelaki paruh baya berperut buncit, yang memuji kemolekan tubuhnya. Ia tidak banyak bergerak. Hanya sesekali saja mengeluarkan suara merdunya. Mendesah.

Malam itu, di kamar nomor 221, di hotel berbintang, kota Kembang, sepasang manusia memadu cinta. Bercinta tanpa ada ikatan cinta. Berhubungan badan dengan beda kepentingan. Yang satu memuaskan nafsu, satunya lagi mencari penghasilan. Bintang enggan menghiasi kota Kembang. Awan menangis. Langit gelap gulita. Kalau pun ada cahaya, hanya kerlap-kerlip lampu pesawat terbang saja. Dingin yang menusuk tulang justru semakin memanaskan berahi si lelaki paruh baya. Semakin malam, tangisan awan semakin deras. Dan semakin malam, peluh semakin membanjiri tubuh mereka.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Keesokan harinya, saat matahari berani menampakan diri, saat orang-orang sibuk bekerja, Malena bangun. Pekerjaannya sudah berakhir. Lelaki paruh baya, yang semalam menikmati tubuhnya, sudah pergi. Dia meninggalkan Malena beserta sejumlah uang. Upah atas pekerjaan Malena yang sangat memuaskan. Rupanya lelaki paruh baya itu memberi uang lebih banyak dari apa yang telah disepakati. Malena duduk, memperbaiki penglihatannya, lalu memeluk erat lututnya. Jauh di lubuk hatinya terjadi pertengkaran.

“Sampai kapan kamu seperti ini, Malena? Tidakkah kamu sadar apa yang kamu lakukan ini salah. Masih banyak cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Kamu masih muda, kesempatan bertebaran di sekelilingmu.” Setengah hati Malena menasehati.

“Apa yang kau lakukan sudah benar Malena. Dengan cara seperti ini kau bisa memiliki apa pun. Keinginanmu terpenuhi. Kau dihargai orang-orang, Malena.” Setengah hati lainnya berteriak.

“Malena dengarkan aku. Kamu sudah diperbudak nafsu. Sadarlah! Kamu hanya menjatuhkan harga dirimu.”

“Malena ikuti saranku. Teruslah seperti ini. Ingat bagaimana dulu orang-orang memperlakukanmu. Kau dianggap tidak ada. Dikucilkan. Dilecehkan. Dihina karena miskin. Sekarang tidak ada seorang pun yang berani mempermalukanmu, Malena!”

“Tidakkah kamu malu pada orang tuamu, Malena? Mereka pasti sedih.”

“Apakah kau akan membiarkan orang lain tertawa bahagia? Senang bisa menghinamu lagi? Pikirkan itu Malena!”

Malena mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Kata hati mana yang harus ia ikuti. Kenapa hatinya sendiri saling bertentangan? Adakah yang salah dengan apa yang telah ia lakukan? Atau lebih tepatnya apakah yang ia lakukan selama ini salah? Lantas apa yang seharusnya dilakukan?

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Malena tersenyum tipis. Entah apa maksud dari senyuman tersebut. Apakah ia bahagia? Atau jangan-jangan gila? Hanya Malena yang tahu persis maksudnya. Kita tidak bisa menghakimi seseorang bahagia karena dia sedang tersenyum. Apalagi melabelinya orang gila. Tidak semua yang kita lihat sesuai dengan apa yang kita pikirkan.

Senyum di bibirnya menghilang. Ia kembali memeluk lutut, lebih erat dari sebelumnya. Meratapi kehidupannya di kota Kembang. Meratapi nasib. Berharap ada orang yang ringan hati mengangkatnya dari jurang kehinaan. Memohon supaya ada yang berkenan menyelamatkannya dari jalan yang keliru. Setiap kali ia melakukan pekerjaannya, rasa sesal memenuhi hatinya. Berbagai pertanyaan menggerogoti pikirannya. Kenapa aku seperti ini? Untuk apa aku melakukan ini? Kalau saja hatinya bisa berbicara, pasti ia akan berteriak, “Aku tidak mau terus hidup seperti ini.”

Menyadari matahari sudah matang, Malena pun pulang.

Beberapa hari kemudian langit kembali gelap. Malam sempurna mengusir siang. Awan hitam tak memberi kesempatan pada bintang untuk menunjukan pesonanya. Di salah satu bangunan di bawah langit kota Kembang. Seorang perempuan sedang berdandan. Ya, Malena memulai lagi ritualnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengulangi rutinitasnya, siap menikmati larutnya malam. Lagi, lagi, dan lagi. Akankah Malena berhenti? Semoga saja ada yang berbaik hati menyelamatkannya.

Bandung, Februari 2017

rizal

Nasrul M. Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Mahasiswa tingkat akhir yang selalu berdoa semoga penderitaannya cepat berakhir. Jika kalian ingin membantu mengakhiri pendertiaannya silakan sapa ia melalui: [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40