OpiniRubrika

Revolusi Artificial Intelligence dan Rekayasa Makhluk Posthuman

Revolusi Artificial Intelligence dan Rekayasa Makhluk Posthuman
Revolusi Artificial Intelligence dan Rekayasa Makhluk Posthuman/Foto: sexliesanarchy.com

NUSANTARANEWS.CO – Revolusi Artificial Intelligence dan rekayasa makhluk posthuman. Artificial Intelligence (AI) dan rekayasa biosintetik akan terus berkembang pesat dengan penciptaan android yang sangat mirip manusia dan manusia akan direkayasa menyerupai android secara biosintesis. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan telah meramalkan bahwa AI adalah masa depan seluruh semua umat manusia. Barangsiapa yang menguasai bidang ini maka akan menjadi Lord of the World.

Jauh sebelum Putin, The New School pada 1960-an telah mulai mengidentifikasi orang-orang yang mengadopsi teknologi, gaya hidup dan pandangan dunia “transisional” ke posthumanity sebagai “transhuman”. Pandangan itu kemudian menjadi landasan dasar intelektual filsuf Inggris Max More yang mulai mengartikulasikan prinsip-prinsip transhumanisme sebagai filsafat futuris pada tahun 1990, di California. Sejak itu sebuah paradigma transhumanis tumbuh subur di seluruh dunia

Dalam pandangan transhumanisme Max More, kondisi manusia dapat ditingkatkan secara fisik dan intelektual melalui penerapan sarana ilmiah dan teknologi. Tesis transhumanis yang paling umum adalah bahwa manusia pada akhirnya mungkin dapat mengubah diri mereka menjadi makhluk yang sama sekali berbeda dari kondisi saat ini sehingga menjadi makhluk posthuman.

“Jin” AI telah keluar dari botol sejak tahun 1940-an ketika para ilmuwan dari berbagai bidang berencana membangun otak buatan sehingga melahirkan disiplin ilmiah formalisasi AI pada tahun 1956.

Baca Juga:  Ketua IPNU Pragaan Mengkaji Fungsi Chat GPT: Jangan Sampai Masyarakat Pecah Karena Informasi Negatif

Alan Turing, pemecah kode Inggris juga dikenal sebagai Bapak Ilmu Komputer, adalah pelopor dalam bidang kecerdasan buatan meski baru pada tahap teoretis di pertengahan abad ke-20. Pelopor lain yang sezaman dengan Turing adalah Ross Quillian dan Edward Feigenbaum, yang kemudian diikuti oleh Marvin Minsky yang ikut mendirikan laboratorium AI MIT.

Pada tahun 2016 ketika Minsky meninggal, AI adalah bidang terpanas yang diincar oleh perusahaan, pemerintah, dan lembaga penelitian sebagai proyek menjanjikan di masa depan untuk menyaingi robotica. Ada lebih dari 650 kesepakatan bisnis bernilai US$ 5 miliar pada startup untuk penelitian AI. Google, Microsoft, Amazon, INTEL, Facebook, dan Apple menjadi sangat fokus dalam domain AI.

Perusahaan yang sama juga terlibat dalam web dan telepon seluler yang sekarang bersaing untuk pasar AI yang menguntungkan di masa depan dengan mengandalkan modal ventura yang berbeda untuk mendukung penelitian dan pengembangan. Bahkan SoftBank baru-baru ini telah mengejutkan dunia modal ventura ketika meluncurkan “Vision Fund” tahap I dan II yang benilai lebih dari US$ 200 milyar untuk percepatan revolusi AI dalam satu dekade mendatang.

R&D AI kini telah bergerak dengan cepat menjadi arus utama di sejumlah pemerintahan di dunia, terutama Amerika Serikat (AS) dan Cina yang saling bersaing. Perlombaan AI tampaknya lebih dahsyat dari perlombaan senjata global di masa depan karena potensinya yang tidak terbatas hanya pada sektor tetentu saja.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Ada puluhan ribu buku dan artikel ilmiah tentang topik AI yang mengulas segala sesuatu yang ilmiah hingga sosial politik dan filosofis. Sebagian antusias, yang lain skeptis, dan yang lain mengutuk AI sebagai bahaya baru bagi kemanusiaan. Terlepas dari itu, keajaiban AI masih ditunggu terutama pada manfaat dan risikonya yang kemungkinan membawa konsekuensi yang tidak terduga. Seperti pada kasus cybergeneration dari orang yang kecanduan ponsel, komputer, dan video game.

Seperti diketahui, pada awal abad ke-21, cybergeneration tumbuh di dunia maya dengan videogame, ponsel dan komputer yang terhubung dengan mesin sebagai realitas mereka. Cybergeneration telah menjadikan dunia maya sebagai realitas empiris, menjadi norma kehidupan sebagian orang yang menikmati ilusi control dari sebuah jark. Seorang individu cybergeneration boleh jadi memiliki banyak teman di dunia maya dari seluruh negeri, bahkan dari seluruh dunia. Tapi mereka hanya memiliki sedikit teman di sekolah, jika ada, termasuk di lingkungan, atau di tempat kerja.

Jika ini adalah kondisi cybergeneration saat ini, lalu seperti apa masa depan robotika AI? Pada akhir abad ini, anak-anak akan tumbuh dengan robot, hologram, dan manusia rekayasa yang jelas jauh berbeda dari generasi awal abad 21 dalam segala hal.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Tutup MTQ ke XIX Tingkat Kabupaten

Keluarga yang lebih kaya akan memiliki android di rumah mereka, yang akan mengasuh dan mendidik anak-anak mereka sebagai bagian integral dari keluarga, seperti anjing atau kucing yang dicintai. Kelas menengah yang kurang makmur akan bisa menyewa robot untuk pengalaman sesaat itu. Kelas bawah akan lebih terpinggirkan karena robot AI akan berada di luar jangkauan mereka. Bisa jadi kelas bawah akan menjadi makhluk yang lebih rendah daripada robot.

Gedung Putih sendiri telah bespekulasi bahwa AI akan menghasilkan produktivitas yang jauh lebih tinggi, tetapi juga akan membuat jutaan orang menganggur, dan terus menciptakan ketimpangan kekayaan yang semakin lebar dari yang sudah ada. Sama seperti Lembah Silikon yang telah menciptakan kelas kaya kecil tanpa menyerap kelebihan tenaga kerja pada saat kesenjangan kaya-miskin telah melebar dalam tiga dekade terakhir, AI yang sama akan memperburuk tren. Para pembela ekonomi pasar menolak semua skenario pesimistis, bersikeras bahwa AI akan memberikan surga di bumi untuk semua umat manusia. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,050