Opini

Revisi UU Minerba di DPR dan Dugaan Kepentingan Konglomerat

uu minerba, revisi uu minerba, mineral dan batu bara, percepatan revisi uu minerba, industri minerba, draft revisi uu minerba, minerba
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). (Foto: Istimewa)

Revisi UU Minerba di DPR dan Dugaan Kepentingan Konglomerat

RAPAT KERJA (Raker) antara DPR Komisi VII dengan Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto, yang berlangsung pada Jumat 19 Juli 2019, membahas 12 poin, yang menjadi garis besar pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dari 12 poin garis besar DIM RUU Minerba, terdapat usulan DIM yang cukup mengejutkan, yaitu poin 12 berupa perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK dalam rangka kelanjutan operasi.

Dari seluruh poin DIM tersebut, poin 12 mengenai perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK dapat dinilai sebagai poin DIM yang janggal dan dipaksakan oleh Menteri ESDM. Usulan poin perpanjangan PKP2B menjadi IUPK yang dimasukkan DIM terkesan sangat dipaksakan setelah RPP yang diusulkan oleh Ignatius Jonan ditolak oleh presiden. Bahkan, penolakan oleh presiden baru dapat dilakukan, terpaksa setelah KPK mengirimkan surat kepada presiden yang menyatakan bahwa RPP Minerba dinyatakan menyimpang dari UU Minerba.

Dalam suasana Rapat Kerja pun terlihat sangat jelas dan mudah dibaca bagaimana anggota dari Partai tertentu memaksakan agar Revisi UU Minerba dapat diselesaikan sebelum reses (Jumat, 26/7). Dari data kepemilikan PKP2B, sangat jelas partai tertentu mana yang terlihat menjadi perpanjangan tangan untuk melancarkan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK.

Setelah Ignatius Jonan terbentur oleh presiden dengan ditolaknya RPP, maka hanya ada dua jalan yang harus dilakukan Menteri ESDM yaitu mempercepat revisi UU Minerba (sangat bertolak belakang dengan sikap Jonan yang tidak akan merevisi UU Minerba sebelum RPP ditolak) atau presiden dipaksa untuk membuat PERPU Minerba. Namun, dapat dipastikan jika PERPU dipaksakan oleh presiden, menjadi rawan secara politik bagi Jokowi sebelum dilantik resmi Oktober nanti. Bukan saja rawan secara politik. Jokowi pun dinilai tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya dan menyimpang dari janji kampanyenya. Juga apalagi, penolakan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK (diperkuat oleh Kementeriaan BUMN), justru menjadi awal bagaimana ‘roh’ UU Minerba dibuat untuk memperbesar peran BUMN yang tentunya menjadi tugas Presiden dalam mengamankan ketahanan energi nasional.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Sangat berbeda dengan target Jokowi dalam penguasaan saham PT Freeport Indonesia, di mana BUMN melalui PT Inalum memiliki saham 51%. Selain masalah yang terkait dengan teknologi tinggi, inventory material yang terkait dengan proses produksi. Untuk mengambil PT Freeport Indonesia, bahkan Inalum harus berhutang sebesar USD 3.85 miliar. Namun, PKP2B yang semestinya diletakkan sebagai ladang energi untuk kepentingan ekonomi nasional ke depan, justru harus lebih diprioritaskan untuk dikelola oleh BUMN. Apalagi, berbeda dengan pengambilan PT FI yang harus menggunakan overseas loan, justru pengambil.

Rakyat menjadi mudah menilai, arah partai pendukung perpanjangan PKP2B menjadi IUPK dengan mengakomodir melalui revisi UU Minerba jelas bukan bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Namun, telah terkooptasi dengan pemilik PKP2B tertentu. Demikian juga jika presiden tetap mengeluarkan PERPU UU Minerba, arah kerja presiden dinilai bertentangan dengan tujuan BUMN yang harus diperkuat dan diperbesar. Demikiaan juga, sumber daya energi (batubara) yang semestinya lebih dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya (mayoritas) dan menjadi sebatas untuk kepentingan konglomerat pemilik tambang (minoritas).

Dari Raker DPR dengan Pemerintah (Jumat, 19/7) terkesan sangat istimewa dan penuh muatan pesan sponsor. Pasalnya, konsep revisi UU mendadak baru diserahkan KESDM ke DPR RI pada 8 Juli 2019, sekaligus masuk dalam prolegnas prioritas. Bahkan oleh Ridwan Hisyam dkk menginginkan dalam 3 minggu sebelum reses DPR telah rampung. Ironisnya, Revisi UU Minerba yang jelas-jelas dipaksakan untuk kepentingan sebatas pemilik tambang, Ridwan Hisyam mengusulkan dikerjakan siang malam. Sebaliknya, UU lain yang menyangkut hajat orang banyak justru berlarut-larut prosesnya. Untunglah, Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengembalikan DIM tersebut kepada pemerintah untuk diminta dilakukan sinkronisasi antara kementerian dan lembaga terkait.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Menjadi sangat sulit dibantah, publik menilai sejak RPP Minerba ke 6 diproses dengan tak lazim dan telah ditolak KPK setelah terlihat istana sempat masuk angin. Sikap tegas Meneg BUMN Rini Soemarno menjadi sangat beralasan untuk kepentingan bangsa. Melalui suratnya kepada Mensesneg (Jumat, 1/3/ 2019) mempertegas bahwa UU Minerba perlu mengakomodir penguasaan dan penguatan peran BUMN Tambang dalam mengelola bahan baku energi primer untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang. Dalam RUPTL PLN 2019-2028, jelas bahwa PLN membutuhkan batubara sebesar 153 juta ton di tahun 2028.

Belum lagi untuk kebutuhan industri lainnya. Jadi, sikap berani Meneg BUMN patut diapresiasi. Meskipun berisiko, dia akan didepak dari posisi Meneg BUMN karena ada yang terganggu oleh sikap itu. Berbeda kontras dengan direksi BUMN tambang terkesan pengecut, pengen mengelola tambang itu tapi tak berani bersuara, takut dicopot. Langkah strategis visioner Rini sayangnya tidak didukung sepenuhnya oleh Budi Sadikin sebagai pengendali BUMN Pertambangan dan Dirut PT Tambang Batubara Bukit Asam yang semestinya lebih ‘berteriak untuk menangkapnya’, justru keduanya seolah menghindar dari pembicaraan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK.

Jika proses perpanjangan PKP2B menjadi IUPK dilakukan Menteri ESDM dengan tetap mendasarkan UU Minerba dan jauh- jauh telah dipersiapkan, maka semuanya akan berjalan mulus. Tidak memakan korban sampai terhentinya PT Tanito Harum. Dari enam PKP2B lainnya (PT Arutmin Indonesia ( 2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy (2020), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan terakhir PT Berau Coal (2025), semestinya saat ini dapat dilakukan persiapan bagaimana transisi pengambilan alih oleh BUMN dapat dilakukan. Justru tugas Menteri ESDM yang bertanggung jawab keteknikan dan dirjen, yang semestinya mempersiapkan bagaimana transisi dilakukan. Bukan malah membenturkan lembaga kepresidenan untuk memaksakan RPP, bahkan PERPU.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Bagaimanapun, secara hukum pemilik sumber daya alam adalah rakyat Indonesia. Sehingga presiden dan menterinya, semestinya memperjuangkan manfaat sumber daya alam (batubara) untuk kepentingan rakyatnya. Bukan sebatas kepentingan pemilik tambang. Dari besarnya produksi sebesar 220 juta metrik ton pertahun, atau separuh dari total produksi batubara nasional. Dengan asumsi mendapatkan profit margin 10 USD permetrik ton, maka mereka bisa meraup laba bersih sekitar USD 2, 2 miliar sampai dengan USD 3.5 miliar setiap tahunnya. Tentu ini menjadi nilai yang sangat besar bagi pemiliknya untuk terus melakukan berbagai lobi untuk memperpanjang.

Pengambil alihan PKP2B oleh BUMN pada dasarnya tidak merugikan karyawan sama sekali, produksi tetap dapat dilakukan agar tidak menganggu pendapatan negara. Bagaimana beberapa PKP2B berpindah dari pemilik satu ke pemilik lainya juga sering terjadi, menjadi catatan yang harus dibaca oleh Jonan. Bukan sebaliknya, Menteri ESDM memaksa sekadar untuk mengakomodir kepentingan konglomerat pemilik tambang semata.

Sekarang publik menonton apa ujung dari proses revisi UU Minerba ini, apakah benar untuk meningkatkan peranan BUMN dalam menjaga ketahanan energi nasional atau hanya sekadar untuk kepentingan menyelamatkan konglomerat pemilik PKP2B. Siapa yang menyandera dan siapa yang tersandera, sangat mudah dibaca oleh rakyat sebagai pemilik sumber daya alam, diujung bagaimana proses ini akan selesai. Demikian juga, bagaimana arah kerja Presiden, apakah benar telah bekerja untuk visi besar bangsa dan berani ‘menghajar’ yang jelas-jelas merugikan republik yang dipimpinnya, tentu dapat dibaca bagaimana perubahan PKP2B menjadi IUPK akan dilakukan.

Akhirnya, Bravo KPK perlu digaungkan, yang telah berhasil menyelamatkan kerugian negara di sektor minerba. Kebernarian menulis surat ke presiden untuk menolak RPP Minerba ke 6 tersebut jelas menjadi bukti bahwa KPK bekerja untuk kepentingan nasional, dan KPK menyadari bahwa secara UU, rakyatlah sebagai pemilik sumber daya alam.

Oleh: Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI

Related Posts

1 of 3,092