Reuni Indah, Cerpen Abu Rifai

reuni indah, cerpen abu rifai, kumpulan cerpen, cerpen indonesia, nusantaranews
Reuni Indah, Cerpen Abu Rifai. (Foto: IST)

Reuni Indah, Cerpen Abu Rifai

Suatu waktu Jenkins membuka mata dan menemukan diri dalam keadaan tangan dirantai. Jenkins tak tahu sedang berada di mana. Dia tidak menemukan seorang pun kecuali sosok berbadan besar hitam dan berwajah mengerikan yang berdiri di depan. Tanpa aba-aba, sosok itu menarik rantai yang mengikat tangan Jenkins dengan cepat hingga pria itu hampir tersungkur.

“Hei, apa maksudmu?! Aku di mana?” tanya Jenkins. Sosok di depannya menjawab dengan tatapan tajam. Jenkins spontan gemetar. Lidahnya kelu hingga tak ada kata-kata lain dia ucapkan untuk beberapa lama.

Sosok menyeramkan itu terus menarik Jenkins. Dan kini dia benar-benar ambruk lalu terseret.

“Siapapun kamu, tolong lepaskan aku!” kata Jenkins setengah tercekat. Namun sosok itu tidak menggubris. Dia terus menyeret Jenkins yang mulai kesakitan.

“Tolong hentikan!” begitu yang Jenkins teriakkan berulang-ulang. Jenkins mulai berpikir, sekeras dan sesering apa pun dia berteriak, sosok yang menyeretnya takkan berhenti. Dia mulai berpikir realistis: lebih baik menggunakan energi untuk menahan rasa sakit penyeretan dan berpikir apa yang sedang terjadi. Jenkins mulai mendapat secuil jawaban saat dia melihat segerombol orang berdiri dari jauh.

Saat mendekati gerombolan orang itu, hawa panas mulai Jenkins rasa. Dan sosok menyeramkan melemparnya ke dekat mereka.

“Aduh!”

Sosok itu berbalik arah, meninggalkan Jenkins tanpa mengucap apa-apa, menuju ke tempat awal penyeretan Jenkins.

Sekuat tenaga Jenkins berdiri. Tangannya yang terantai tak bisa membantu banyak. Dan alangkah terkejutnya Jenkins melihat orang paling belakang yang ada di gerombolan itu adalah seseorang yang begitu dia kenal. Jenkins sebetulnya baru melihat tengkuk orang itu. Namun dia begitu yakin. Tanpa basa-basi, Jenkins menghampiri orang itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” tanya dia.

Orang itu menoleh. Dia tak terkejut. Namun ekspresinya menunjukkan rasa tidak suka. Maklum, orang itu musuh Jenkins.

Keduanya kenal sangat baik, namun bukan sebagai kawan, melainkan lawan. Saking kenalnya, mereka tahu hampir setiap detail kehidupan masing-masing; dari tubuh dan bahasa, sikap, kelemahan dan keunggulan.

“Dasar goblok!” itulah jawaban Oman—sebuah ekspresi permusuhan.

Dan kalimat itu, membuat suasana memanas. Jenkins belum sempat membalas. Beberapa sosok menyeramkan seperti yang menyeretnya tadi muncul dan menggiring gerombolannya masuk.

Orang-orang terkejut bukan main saat melewati pintu. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah ruang dengan tujuh podium hitam besar dan berdinding kobaran api. Warna api bermacam-macam. Ada kuning, merah, hijau, biru, dan bahkan hitam pekat. Melihat api-api ini, Jenkins kemudian mulai sadar; kini dia berada di sebuah tempat yang berbeda. Barangkali di sisi dunia yang lain. Barangkali juga tempat ini bukan dunia—sebuah tempat selepas kefanaan.

“Ya… Ampuni aku!” teriak Oman.

Apa yang hendak dia katakan namun tak bisa adalah kata ‘Tuhan’.

Mulutnya tidak bisa membunyikan kata itu.

Tiga sosok bertubuh besar masuk ke gerombolan. Mereka mulai melempar satu demi satu ke depan salah satu dari tujuh podium yang kini dihuni oleh sosok yang jauh lebih besar dan menakutkan. Jenkins, Oman, dan beberapa orang lain dilempar ke depan podium paling kiri.

Mereka kompak merintih kesakitan. Dan belum hilang sakit itu, mereka dipaksa berdiri untuk penghakiman. Orang-orang itu kemudian saling lirik. Mereka begitu terkejut karena banyak dari mereka saling kenal.

Jenkins! Andusi! Rosua! Farin! Oman! Mereka saling memanggil.

“Diam!” hardik hakim di podium.

“Kalian ini. Di dunia berisik, di sini tak juga mau diam!”

Jenkins dan lainnya diam. Keringat dingin keluar dari tubuh mereka meski seketika lenyap karena hawa panas.

“Kurasa kalian tak perlu berlama-lama di sini. Neraka telah menunggu orang-orang munafik macam kalian!”

Ucapan ini membuat mereka bergidik. Siapa pun tentu tak mau pergi ke tempat mengerikan itu barang sedetik saja. Mereka mulai membayangkan bagaimana tubuh mereka akan dijilat api yang menyala-nyala, ditusuk di tiap bagian tubuh, atau barangkali, dipaksa merasakan penderitaan orang-orang yang mereka persulit urusannya di dunia.

“Tidak! Jangan! Ampun!” pinta Rosua, perempuan yang kala di dunia dikenal sebagai aktivis.

“Tolong hitung pula, dulu, aku sering membantu para korban bencana. Aku menyisihkan sebagian uangku sebagaimana yang …….. perintahkan.”

“Ah, aku pun sama, sering berbuat baik!” sahut Andusi hendak membela diri.

Saat masih hidup, dia adalah seorang gubernur di salah satu kota besar.

“Malaikat …….. pasti tidak lupa mencatat amal-amal baikku. Aku membuat banyak jalan, mendirikan rumah ibadah, membangun gedung-gedung besar. Sebagai gubernur, aku bisa dibilang cukup, ah, bahkan sangat sukses dibanding gubernur-gubernur sebelumku.”

“Omong kosong kalian itu!” tolak sang hakim.

“Rosua, ya, kau… Kau memang aktivis—sering membantu saat terjadi bencana. Namun, tidak ingatkah engkau, bahwa uang orang-orang dermawan yang dikirim ke rekeningmu, banyak kau ambil untuk kepentingan pribadi? Logikamu sepertinya juga kacau. Kau memang memberikan sebagian hartamu untuk orang lain”.

“Namun lagi-lagi, hartamu itu harta maling! Dan kau sibuk memoles citra, seolah-olah kau aktivis bersih dan murni!”

“Tapi, bukankah wajar jika aku mengambil sebagian? Aku telah menjadi wadah, dan aku yang menyalurkan uang-uang itu,” jawab Rosua.

“Apa kau lupa, bahwa kau sendiri yang bilang takkan mengambil sepeser pun? Gila! Selain itu, citramu kau gunakan saat terjun di politik. Kau menarasikan dirimu sebagai wakil rakyat kecil untuk menjatuhkan lawan politik. Padahal tak secuil pun dalam dirimu untuk mereka—seluruhnya hanya untuk popularitas dan kekuasaan!”

“Dan kau, Andusi. Katamu kau membangun jalan, bangunan besar, dan bahkan rumah ibadah. Namun apa gunanya hal-hal itu saat wargamu kebanyakan orang miskin yang mayoritas petani, nelayan, dan kuli bangunan? Mereka tak punya waktu untuk menyicipi aspal mulusmu, gedung besarmu, dan mereka juga tak bisa khusyuk beribadah karena perut senantiasa lapar.

Mengapa tak tak kau berdayakan mereka, memberikan fasilitas-fasilitas yang membuat ekonomi mereka lebih baik? Kau sebenarnya hanya memedulikan elit, pemodal untuk proyek-proyek miliaran itu. Kau tak amnesia kan, kalau setiap proyek itu ada uang pelicin yang membuat saku pribadimu penuh?”

Rosua dan Andusi gemetar mendengar jawaban itu. Mereka berdua kalah mutlak. Benar semua yang hakim katakan. Tak ada sanggahan lagi meski mereka jelas masih tak terima jika harus masuk ke jilatan api. Namun kekalahan ini tak membuat yang lain ciut. Farin terlihat sudah siap dengan segala argumentasinya.

“Hakim, tolong dengarkan pembelaanku,” kata lelaki yang saat hidup, merupakan pemilik media besar di negaranya, “aku tidak menerima uang pelicin proyek, tak mengambil uang para penderma, tak juga menghambat kesejahteraan orang miskin. Aku justru jadi pengawal pemerintah saat mereka lalai, menjadi penyebar informasi untuk masyarakat sekaligus mendidik mereka. Kerjaku kerja kenabian; kerja menyampaikan kebenaran”.

Di dunia, Farin memang dikenal pandai bersilat lidah dan jari. Puluhan tahun dia hidup di industri media.

“Itu juga omong kosong! Hakikatnya, media memang punya tujuan baik. Namun di tanganmu, ia tak lebih dari sekadar bisnis.

Kau rajin memberitakan hal tak penting, bodoh, merusak. Kau sedikit memberitakan hal-hal penting yang berguna bagi masyarakat. Kau gunakan mediamu untuk memutarbalikkan fakta. Kebenaran kau ubah jadi kebohongan. Kebohongan kau narasikan sebagai kebenaran mutlak. Ah, bukankah kau juga bekerja untuk siapa saja yang berani membayar? Suatu kali, kau bekerja sebagai humas pemerintah. Tiap tulisan yang kau muat memuji kinerja mereka. Kali lain, kau bekerja untuk oposisi.

Tiap tulisan kemudian hanya tentang angka kemiskinan yang meningkat, mata uang yang melemah, dan pendidikan yang tak merata. Kau tidak bekerja untuk kebenaran; kau bekerja untuk pihak yang berani membayar jemarimu! Kau bilang itu kerja kenabian? Hah, nabi palsu!” Dan untuk pertama kalinya Farin tercekat. Kini dia berada di lingkaran sama dengan Rosua dan Andusi. Sementara itu, Oman, Jenkins dan orang lain gelisah. Mereka ingin melakukan pembelaan, namun mereka takut akan dihardik oleh hakim. Namun, ah, siapa memang yang ingin berkubang dalam kolam timah panas?

“Hakim, aku Oman, aku pendakwah, penyampai ayat-ayat …… Aku tak korupsi, tidak menyebar berita bohong—aku tak punya media, tidak pula menyulitkan orang-orang miskin. Aku senantiasa berjuang di jalan ……….., mengajak orang beribadah, membangkitkan semangat mereka. Bukankah sebuah kesalahan jika kau menempatkanku bersama mereka?” ujar Oman.

“Justru kau yang paling memuakkan! Kau terlalu sombong, menganggap dirimu sudah pantas mendakwahi orang lain. Kau berhenti belajar saat yang kau ketahui bahkan hanya setitik debu di permukaan. Kau melabeli sesat orang lain yang tak sependapat. Kau lupa bahwa firman Tuhan seperti permata yang memancarkan cahaya di berbagai sisi. Kau hanya melihat di salah satu sisi, dan langsung menuduh sisi-sisi lain memancarkan kegelapan. Kecongkakanmu itu membuat umat buta. Dan inilah yang digunakan senjata bagi para politisi sekaligus ladang uang untuk media busuk. Kau menyerukan kemarahan—hal yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang jahat!”

“Tidak, itu tidak benar! Kau salah! Aku tak mau berbicara denganmu. Aku mau mengadu kepada ……… saja!”

“Tuhan mana yang kau maksud? Apakah nafsumu yang kau pertuhankan? Apakah kecongkakanmu saat merasa tahu semua dan memiliki stempel salah-benar? Tuhan itu penuh rahmah, ramah. Namun kamu membuat-Nya seolah penuh amarah. Kamu masih ingat saat memotong ayat-ayat-Nya tanpa tahu makna? Itulah kau!”

Oman tak bisa menjawab. Air mata keluar, dan seketika lenyap karena hawa panas. Kini, dari lima orang yang saling kenal, hanya tersisa Jenkins. Farin, Oman, Rosua dan Andusi memandang padanya seolah bertanya: pembelaan macam apa yang akan kamu lakukan? Namun dalam hati, Jenkins tak ingin melakukannya. Dia sadar, semua sia-sia belaka. Saat masih hidup, Jenkins seorang presiden. Dia merasa melakukan semua dosa yang keempat orang sebelumnya lakukan.

Dia korupsi, membuat narasi bohong, menggoreng isu agama agar jadi pemimpin, dan kejahatan-kejahatan lain. Jenkins merasa tak pantas apabila membela diri. Sudah cukup. Dia cukup pasrah menerima api-api itu menjilati tubuhnya. Kini yang tersisa hanya ada satu pertanyaan.

“Hakim…”

“Apa? Kau juga mau membela diri?”

“Tidak,” tegas Jenkins.

“Aku hanya ingin bertanya: bagaimana aku bisa mati?”

“Ha ha ha ha!” Sang hakim tertawa terbahak-bahak. Di tempat ini, memori kematian tiap orang memang dihapus.

“Rupanya kau tak ingat, ya? Kau mati disembelih oleh salah seorang warga negara yang kau pimpin. Emosinya kala itu meluap-luap. Kamu mau tahu mengapa dia bisa seemosi itu? Dia terpantik ceramah Oman, dikompor-kompori oleh Rosua dan tulisan-tulisan di media Farin. Para pendukungmu dan Andusi—yang satu partai denganmu—membuat dia kian muntab karena mereka terus melempar hinaan. Kerusuhan antar pendukungmu dan oposisi akhirnya pecah. Darah dari pihakmu dan lawanmu tumpah di mana-mana. Kematian empat orang yang kini bakal sependeritaanmu pun kurang lebih sama. Kalian semua mati dibunuh dalam insiden perpecahan.”

Semua diam mendengar penjelasan sang hakim yang tampak menahan tawa. Sementara itu beberapa penjaga mulai mendekati gerombolan Jenkins.

“Bukankah ini cukup lucu? Di dunia, kalian terus berseteru dan memicu gejolak perang identitas. Kalian membuat semua yang damai menjadi penuh tikai. Kalian membuat kesatuan yang diciptakan susah-susah pecah. Namun kini, lihatlah diri kalian.

Kalian dipersatukan dalam satu nasib. Di sinilah kalian akan melewati hari bersama-sama, berbagi rasa dan derita yang sama.

Ah, bukankah ini adalah reuni indah?”

 

Ahmad Abu Rifai kelahiran Pati 23 April 1999, bergiat di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Uners dan Kelas Menulis Cerpen Kang Putu

Exit mobile version