Mancanegara

Republik Sudan Selatan Terus Dilanda Perang Saudara

Sudan Selatan Terus Dilanda Perang Saudara copy
Republik Sudan Selatan Terus Dilanda Perang Saudara. Anak-anak pun direkrut menjadi tentara/Foto: Reuters

NUSANTARANEWS.CO – Republik Sudan Selatan adalah negara yang wilayahnya terkurung di daratan di Afrika. Negara yang baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 2011 dari Republik Sudan, menjadikan Juba sebagai ibu kotanya. Sudan Selatan memiliki populasi 12 jutan jiwa, di mana sebagian besar adalah orang Nilotic yang beragama Kristen. Kekristenan adalah agama mayoritas.

Sudan Selatan berbatasan dengan Sudan di utara, Ethiopia di timur, Kenya di tenggara, Uganda di selatan, Republik Demokratik Kongo di barat daya dan Republik Afrika Tengah di barat.

Wilayah kaya minyak ini memperoleh otonomi setelah melalui perang saudara yang berlangsung sejak tahun 1972 hingga tahun 1983. Namun perang saudara terus berlanjut dan berakhir pada 2005 dengan Perjanjian Perdamaian Komprehensif. Di mana otonomi dipulihkan dan dibentuk Pemerintahan otonomi Sudan Selatan.

Melalui sebuah referendum yang dilaksanakan pada bulan Januari dengan dukungan hampir 99% suara, akhirnya pada 9 Juli 2011, Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan dari Republik Sudan.

Republik Sudan Selatan
Republik Sudan Selatan

Pada Desember 2013, terjadi perebutan kekuasaan antara Presiden Kiir dan mantan wakilnya Riek Machar. Presiden menuduh Machar dan kelompoknya berupaya melancarkan kudeta. Machar menolak tuduhan itu, dan melarikan diri.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Konflik politik ini kemudian memicu perang saudara di Sudan Selatan. Pasukan Uganda pun diperbantukan untuk membantu memadamkan pemberontakan. Pada Januari 2014, perjanjian gencatan senjata pertama ditandatangani. Namun pertempuran terus berlanjut dan di susul dengan perjanjian-perjanjian gencatan senjata lainnya.

Negosiasi dimediasikan oleh “IGAD +” yang mencakup delapan negara-negara regional yang disebut Intergovernmental Authority on Development beserta Uni Afrika, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Cina, Uni Eropa, AS, Inggris dan Norwegia. Perjanjian perdamaian yang disebut “Perjanjian Perdamaian Kompromi” ditandatangani di Etiopia di bawah ancaman sanksi PBB untuk kedua belah pihak pada Agustus 2015.

Sehari setelah PBB mengucurkan bantuan senilai US$ 1,8 milyar untuk mencegah kelaparan di Sudan Selatan, perang kembali meletus setelah terjadi pemboman atas kota Bentiu yang kaya minyak.

Pada tahun 2018 lalu, setelah berbagai upaya sebelumnya gagal, Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi terhadap Sudan Selatan setelah aksi kekerasan politik yang terus berlangsung menimbulkan bencana kemanusiaan luar biasa, termasuk korban tewas, mengungsi dan meluasnya kelangkaan pangan.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Dewan Keamanan PBB pada Kamis 30 Mei 2019, akhirnya memperpanjang sanksi terhadap Sudan Selatan hingga satu tahun ke depan, termasuk embargo senjata. Namun perpanjangan sanksi tersebut tidak di dukung oleh tiga negara Afrika yang menjadi anggota dewan keamanan tersebut.

Bagaimana situasi Sudan Selatan hari ini? Diberitakan Al Jazeera beberapa waktu lalu bahwa pemberontak yang mendukung mantan wakil presiden, Riek Machar, menghancurkan kendaraan yang dipasang dan menyita sebuah tank di Bentiu, dekat perbatasan dengan Sudan.

Tentara SPLA (Sudan People’s Liberation Army) mengejar para pemberontak, dan menyebut serangan pada hari Selasa itu sebagai pelanggaran yang nyata terhadap perjanjian yang ditandatangani awal bulan ini yang menyerukan diakhirinya permusuhan.

Menteri Pertahanan Kuol Manyang mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa “pemberontak membom posisi kami di Bentiu,” menambahkan bahwa militer akan “bertindak membela diri”.

Bentiu telah diperebutkan dengan panas antara kedua belah pihak, dengan kontrol kota berpindah tangan beberapa kali.

Sudan Selatan telah dilanda oleh kekerasan bersenjata sejak Desember 2013 ketika Presiden Salva Kiir menuduh wakilnya yang dipecat, Machar, mencoba melakukan kudeta.

Baca Juga:  Dewan Kerja Sama Teluk Dukung Penuh Kedaulatan Maroko atas Sahara

Pertempuran pecah di ibu kota Juba, memicu siklus pembantaian pembalasan dendam di seluruh negeri. Sebagian besar kekerasan terjadi antara etnis Dinkas yang mendukung Kiir, melawan etnis Nuer yang mendukung Machar.

Uni Eropa telah menekan Kiir dan Machar untuk mencapai kesepakatan damai, namun seperti yang sudah-sudah berulang selalu diabaikan meskipun ada ancaman sanksi.

Seperti bentrokan pada Selasa terjadi sehari setelah para negara donor menjanjikan US$ 529 juta dan PBB sebesar US$ 1,8 miliar untuk mengatasi krisis kelaparan yang mulai melanda.

Anne C Richard, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Pengungsi, mengatakan beberapa daerah telah berada di ambang kelaparan, dan banyak orang mati karena kelaparan.

Hampir dua juta orang telah terusir dari rumah mereka dan 500.000 orang telah melarikan diri ke luar negeri ke negara-negara tetangga.

Menurut International Crisis Group, sedikitnya 50.000 orang tewas dalam konflik bersenjata tersebut.

Kedua belah pihak telah dituduh melakukan kejahatan perang, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, serangan terhadap rumah sakit dan tempat ibadah, dan merekrut tentara anak-anak. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,050