InspirasiKolom

Renungan Kemerdekaan Indonesia ke-72: Jangan Sampai Indonesia Tumbuh, Tapi Bukan Kami Punya

NUSANTARANEWS.CO – Sepenuhnya kita mendukung program Jokowi memasuki era kepemimpinannya di tahun ketiga. Berdasarkan info yang disebar luaskan oleh kantor berita resmi ANTARA, Jokowi ingin fokus pada pemerataan ekonomi yang berkeadilan.

Tertulis dalam info itu kutipan langsung Jokowi: “Kita ingin rakyat Indonesia yang berada di pinggiran, di kawasan perbatasan, di pulau-pulau terdepan, di kawasan terisolir merasakan hadirnya negara, merasakan buah pembangunan, dan merasa bangga menjadi warga Negara Kesatuan Indonesia.”

Sebagai peneliti, dukungan kita diawali dengan menampilkan data dunia. Bagaimanakah wajah ketimpangan di dunia itu? Dan Indonesia ada di posisi mana? Sistem politik ekonomi yang bagaimana yang bisa teruji mengatasi ketimpangan itu?

***

Banyak cara mengukur ketimpangan ekonomi. Namun yang lazim digunakan walau ada kelemahan adalah Gini Ratio Indeks, atau Gini Coefficient. Ini metode pengukuran distribusi kekayaan sebuah negara yang dikembangkan oleh seorang sosiolog sekaligus ahli statistik warga Italia, bernama Corrado Gini. Ia publikasikan temuannya itu dalam paper Variability and Mutability (1912).  Nama sang pencetus ini akhirnya dilabelkan sebagai istilah akademik pengukuran kesenjangan.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Ia kembangkan spektrum angka 0 sampai 1. Angka 0 untuk kesetaraan ekonomi yang sempurna dimana semua warga sangat merata secara ekonomi, tanpa beda sedikitpun. Sementara angka 1 untuk kondisi dimana hanya 1 orang yang punya semua asset ekonomi, yang lainnya sama sekali nihil.

Tentu saja angka 0 atau 1 sama mustahilnya dalam realitas. Namun untuk kepentingan teoritik, angka ini harus dimungkinkan. Dalam kenyataannya yang terjadi, kesenjangan ekonomi negara di seluruh dunia bervariasi antara 0, 2 sampai 0,6. Angka 0,2 sudah dahsyat sekali bagi pemerataan ekonomi. Angka 0,6 sudah super sekali untuk ketimpangan.

Negara mana yang paling merata soal ekonomi warga negara? Negara mana yang paling tidak merata? Bagaimana posisi Indonesia?

Banyak negara miskin yang diktatorial di Afrika seperti Boswana dan Central African Republik memiliki ketimpangan ekstrem di angka 0,6. Negara yang relatif merata secara ekonomi justru negara kapitalisme eropa seperti Denmark, Belgia dan Swedia. Negara ini memiliki Gini Cooefisient di angka 0,25- 0,27.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Bahkan negara China  yang dulu mengkampanyekan komunisme: pemerataan ekonomi, ternyata hasilnya lebih buruk dari sisi Gini Coefisien. Negara itu di angka 0,42. Negara Islam juga tak sebaik negara eropa barat skandinavia. Negara seperti Iran atau Mesir di angka 0,4 dan 0,3.

Indonesia yang diukur dengan kriteria yang sama di tahun 2015, ada di angka 0,41. Namun BPS mengeluarkan versi di tahun 2017 dengan angka 0,39. Ketimpangan ekonomi di Indonesia tentu tak seburuk dibanding negara Afrika: Boswana. Tapi kesenjangan ekonomi Indonesia jauh lebih buruk dibanding justru negara kapitalisme eropa seperti Denmark atau Belgia. Angka 0,39-0,42 bisa dianggap lampu kuning kesenjangan ekonomi, jika angka 0,6 adalah lampu merah, dan angka 0,2 adalah lampu hijaunya.

***

Dari survei global di atas, yang paling berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi justru bukan negara komunis, bukan negara Islam, tapi justru kapitalisme eropa seperti Denmark dan Belgia.

Kita sebagai negara Pancasila sedang mencari bentuk sistem ekonomi dan politik. Agaknya sistem yang lebih bisa mengantarkan sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia adalah model ekonomi negara skandinavia di Eropa itu.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Kita  merindukan sila kelima Pancasila terwujud. Karena itu sepenuhnya kita mendukung program yang diluncurkan Jokowi untuk tahun ketiga hingga selesai: pemerataan ekonomi yang berkeadilan.

Tentu saja jika sekedar merata tapi ekonomi menurun tidak pula ideal. Kita tak ingin kemiskinan yang diratakan, tapi kemakmuran. Ketimpangan diatasi dengan asumsi ekonomi harus terus tumbuh. Namun kita tak ingin pula ekonomi tumbuh, namun hanya terlalu didominasi oleh 10 elit terkaya. Kita tak ingin Indonesia tumbuh, namum semakin banyak rakyat yang merasa “Tapi Bukan Kami Punya.”

Penulis: Denny JA, Peneliti sekaligus Sastrawan Indonesia
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 5