Khazanah

Rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj pada pembukaan Munas Alim Ulama dan Kombes NU 2019 di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar di Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019). (Foto: Selendang S/NUSANTARANEWS.CO)
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj pada pembukaan Munas Alim Ulama dan Kombes NU 2019 di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar di Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019). (Foto: Selendang S/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Banjar – Rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019.

Concern NU terhadap Kebijakan Pemerintah. NU mempunyai kepentingan besar untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar diorientasinya untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi warga negara Indonesia. Hal ini bisa dilakukan jika semua kebijakan berpihak kepada rakyat, mengurangi kesenjangan sosial antar daerah dan atar kelompok masyarakat. Kebijakan pemerintah harus benar-benar diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat (tashaaruf al-imam
‘ala ar-ra’iyyah manutuh bi al-maslahah). Terkait dengan hal tersebut, NU melalui Munas dan Konbes 2019, ingin menegaskan beberapa kebijakan sebagai berikut.

Pertama, Peningkatan Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan

Kebutuhan akan energi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, bahkan menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak (al-hajat al-‘ammah). Ketersediaan sumber energi mutlak untuk menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan kita. Keduanya saling membutuhkan dan memanfaatkan. Oleh karena itu, energi pada dasarnya sama dengan membahas kehidupan dan keberlangsungannya (hifdh an-nafs wa al-hayat).

Indonesia bukan negara yang kaya atas sumber energi fosil, tetapi bauran energi masih didominasi oleh sumber energi tak terbarukan. Cadangan energi fosil terbatas dan terus menurun. Rasio penggantian cadangan (reserves to replacement ratio) lebih rendah dari rasio pengurasan. Seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, konsumsi meningkat sementara produksi menurun. Indonesia telah menjadi importer netto minyak pada 2003 dan diperkirakan menjadi importer netto gas pada 2020. Dari segi konsumsi, dibanding negara-negara kawasan, konsumsi energi per kapita Indonesia relatif masih rendah. Rasio elektrifikasi belum mencapai 100 persen.

Di sisi lain, pengarusutamaan pemanfaatan EBT (Energi Batu Terbarukan) masih jalan di tempat. Porsi EBT dalam bauran energi saat ini masih berkisar 6%. Pada 2030, porsi EBT diproyeksikan mencapai 25% terhadap bauran dan pada 2050 menjadi 31% terhadap bauran.

Kita tidak bisa lagi terus-menerus bergantung pada energi fosil. Ketersediaan sumber energi fosil selain tidak dapat diperbarui juga semakin menipis baik di Indonesia maupun di dunia. Menurut para ahli, dengan pola konsumsi seperti sekarang, dalam waktu hanya belasan hingga puluhan tahun cadangan minyak dan gas Indonesia akan habis. Ini antara lain bisa dilihat dari naiknya harga minyak dalam negeri dan tidak stabilnya harga minyak di pasar internasional.

Oleh karena itu, demi keberlangsungan kesejahteraan masyarakat dan mengantisipasi kelangkaan energi, upaya-upaya menuju pengolahan energi terbarukan merupakan alternatif terbaik untuk dilakukan.

Kedua, Menangkal Hoaks dan Mendorong Literasi Digital

Kemajuan teknologi informasi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memberi maslalah dan kemudahan-kemudahan bagi manusia, namun di sisi lain juga membawa mafsadat yang bisa mengancam kehidupan masyarakat. Kemajuan teknologi informasi menyisakan limbah yang dapat mengganggu kehidupan manusia. Limbah informasi itu antara lain adalah maraknya peredaran berita bohong (hoaks) berbalut fitnah dan hasutan kebencian.

Hoaks bisa diartikan sebagai informasi yang direkayasa, baik dengan cara memutarbalikkan fakta atau pun mengaburkan informasi, sehingga pesan yang benar tidak dapat diterima seseorang. Perkembangan penetrasi internet di Indonesia membuat platform media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, dan lainnya menjadi sarana efektif untuk
mendistribusikan hoaks.

Survei Daily Sosial (2018) terhadap 2032 pengguna internet di Indonesia menunjukkan bahwa 81.25% responden menerima hoaks melalui Facebook, sekitar 56.55% melalui WhatsApp, sebanyak 29.48% melalui Instagram, dan tak kurang dari 32,97% responden menerima hoaks di Telegram. Masih ada platform media sosial lainnya yang juga dibanjiri hoaks, misalnya Twitter, namun jumlahnya di bawah 30%. Banyaknya pendistribusian hoax di Facebook, WhatsApp, dan Instagram karena tiga aplikasi ini paling populer, paling banyak digunakan di Indonesia.

Hoaks masuk ke dalam pori-pori kehidupan social masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan, dari masalah kesehatan, makanan, politik, SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), hingga bencana alam. Data Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Januari 2017 menunjukkan bahwa jenis hoax di media sosial yang diterima oleh 1.116 respondennya didominasi isu politik dan pemerintahan (91.80%) dan SARA (88.60%). Isu-isu lain seperti kesehatan, makanan, dan bencana alam angkanya berada di bawah 50%.

Kecenderungan penggunaan tema politik dan SARA sebagai komoditas utama produsen hoaks juga terlihat dari data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Sepanjang Desember 2018, frekuensi hoax terkait isu politik menempati peringkat pertama (40.90%) sedangkan frekuensi hoaks SARA menempati posisi kedua (17%).

Hal yang paling mengkhawatirkan belakangan ini adalah digunakannya hoaks dalam propaganda politik yang dibungkus dengan isu SARA. Hoax politik mengandung isu SARA dan sebaliknya isu SARA dikaitkan dengan isu politik. Hoaks politik bernuansa SARA perlu menjadi perhatian serius bagi kita semua karena berisi hasutan dan kerap merekayasa ketersinggungan, yang dikenal dengan pelintiran kebencian (hate spin). Hate spin adalah usaha-usaha sengaja oleh para pengobar kebencian untuk mengada-adakan atau merekayasa kebencian.

Hoaks dan hasutan kebencian harus dilawan, di samping efek sosial yang ditimbulkan, tapi juga karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman yang dipahami NU, sebagaimana tertuang dalam mabadi’ khairo ummah. Hoaks dan hasutan kebencian mengandung bahaya antara lain merendahkan martabat manusia; menyuburkan prasangka dan diskriminasi; dapat memicu kekerasan/kejahatan kebencian, konflik antar kelompok dan paling buruk dapat menyebabkan pembersihan etnis (ethnic-cleansing).

Upaya menangkal hoaks pada dasarnya merupakan upaya untuk merawat akal sehat (hifz al- ‘aql) sebagai salah satu dharuriyat yang harus dilindungi. Karena itu, bersama melawan hoaks merupakan aktifitas syar’i yang perlu dilakukan bersama. Sebaliknya, orang-orang yang sengaja memproduksi hoaks untuk berbagai kepentingan pada dasarnya merupakan aktifitas yang berlawanan dengan prinsip syariat Islam, hifz al-‘aqli.

Ketiga, Perdamaian Papua

Meskipun pemerintah telah berusaha keras untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan politik di Papua dan Papua Barat pasca UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001, namun gerakan-gerakan yang sifatnya separatis dan tuntutan kemerdekaan masih berlanjut hingga kini. Bahkan ada kecenderungan bahwa gerakan ini makin menguat di ranah internasional.

Sementara kekuatan riil mereka tidak begitu besar di dalam negeri namun respon represif dan kekerasan akan menciptakan trauma di dalam masyarakat Papua dan Papua Barat juga akan berdampak dan memancing simpati luar negeri. NU memiliki hubungan historis yang sangat erat dengan perdamaian Papua terutama yang direpresentasi melalui tokoh NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sudah dipersiapkan ketika Gus Dur menjadi presiden, meskipun penandatangannya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

Gus Dur juga yang mengembalikan harkan dan martabat rakyat Papua dengan mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Bendera bintang kejora yang begitu ditakuti juga diperbolehkan untuk dikibarkan asalkan posisinya di bawah bendera merah putih. Hal ini menunjukkan, NU berkepentingan untuk menjaga perdamaian di Papua dan kebijakan berkeadilan untuk rakyat Papua.

Ketiga, Produk Tembakau Alternatif

Masyarakat Indonesia, terutama warga NU, sangat akrab dengan tembakau. Bukan saja karena banyak warga NU yang merokok, tapi tidak sedikit warga NU yang kehidupan ekonominya juga bergantung pada tembakau. Karena itu, kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah terhadap persoalan tembakau, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan warga NU.

Di pihak lain, kini tembakau sudah menjadi industri, mendatangkan pendapatan negara yang tidak kecil. Indonesia juga menjadi pasar produk tembakau yang luar biasa. Bukan hanya industri rokok dalam negeri, tapi juga banyak sekali perusahaan rokok dari berbagai negara yang menjadikan Indonesia sebagai pasar. Meski mendatangkan devisa negara namun industri tembakau juga membawa dampak kesehatan. Industri rokok seolah hidup seperti pepatah disayang, tapi selalu ingin ditendang. Di satu sisi mendatangkan devisa, namun di pihak lain dianggap merusak kesehatan.

Memperhatikan dua arus yang sama-sama kuat tersebut, sangat penting dipikirkan untuk mendorong produk tembakau yang beriko kesehatan lebih rendah dengan mengembangkan produk-produk alternatif. Konsep alternatif rokok atau produk tembakau yang berisiko lebih rendah sudah ditemukan pada tahun 1976 ketika Profesor Michael Russell menyatakan Orang merokok karena nikotin tetapi meninggal karena tar. Karena itu, rasio tar dan nikotin dapat menjadi kunci menuju merokok yang beresiko kesehatan lebih rendah.

Sejak saat itu, ditetapkan bahwa bahaya merokok hanya disebabkan oleh racun yang muncul akibat pembakaran tembakau. Sebaliknya, produk tembakau tanpa pembakaran dan produk nikotin murni dianggap lebih resiko bahaya jauh lebih rendah meski masih memiliki potensi menyebabkan adiksi/ketergantungan. Beberapa negara seperti Jepang, AS, Inggris dan UE menekankan perlunya membantu perokok untuk beralih ke produk alternatif yang lebih baik atau yang dampak kesehatannya berkurang, jika tidak bisa berhenti merokok.

Negara-negara tersebut memberikan akses terhadap informasi mengenai produk tembakau alternatif yang lebih baik kepada publik dan memfasilitasi publik untuk dapat mengakses produk-produk ini. Negara-negara tersebut menganggap bahwa penelitian yang ada sekarang ini cukup untuk mendorong mereka mengadopsi prinsip tembakau berisiko rendah.

Di Indonesia, produk tembakau berisiko rendah atau produk tembakau alternatif secara resmi oleh pemerintah. Sejak tahun 2010, produk vape (lebih banyak dikenal sebagai rokok elektrik) semakin banyak bermunculan, dengan 466 varian tersedia di pasar dan jumlah pengguna serta peritel yang semakin banyak – meski tidak ada peraturan/status hukum produk tersebut. Selain itu, sulit untuk mendapatkan respon dari pemangku kepentingan industri tembakau mengenai keberadaan jenis produk ini. Pemerintah juga belum cukup terbuka untuk mengembangkan produk tembakau alternatif yang bisa mengurangi resiko merokok
dengan dibakar. Pemerintah –melalui Kementerian Kesehatan — seringkali masih menganggap sama saja antara produk tembakau yang dibakar dan tidak dibakar tanpa didasarkan pada riset yang memadai.

Di tengah gencarnya kampanye anti rokok dengan narasi besar rokok adalah sumber segala jenis penyakit, munculnya produk tembakau alternatif harus dilihat sebagai jalan baru yang bisa mengurangi resiko orang merokok di satu sisi, dengan tetap memperhatikan persoalan ekonomi, sosial budaya, di sisi yang lain.

Produk tembakau alternatif dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau regulasi di Indonesia dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tarif cukainya lebih tinggi dari produk tembakau biasa. Intinya, produk tembakau alternatif hanya dilihat sebagai obyek cukai yang bisa mendatangkan devisa negara.
Di luar persoalan cukai, belum ada pembicaraan yang memadai persoalan produk tembakau alternatif termasuk dalam berbagai regulasi yang dimiliki pemerintah Indonesia. Meletakkan produk tembakau alternatif dalam keranjang HPTL belum cukup. Pemerintah harus mempunyai kerangka baru regulasi pertembakauan dengan meletakkan produk tembakau alternatif yang bisa mengurasi resiko sebagai jalan baru produk tembakau di Indonesia.

Keempat, Revolusi Industri 4.0

Industri 4.0 adalah sistem industri yang bertumpu pada penggunaan teknologi, terutama teknologi informasi. Dalam sistem ini, proses bisnis didominasi oleh mesin dan keterhubungan antar mesin yang sangat efisien. Walhasil, proses bisnis tidak memerlukan banyak sumber daya manusia.

Industri 4.0 mempengaruhi bagaimana warga berperilaku ekonomi. Misalnya, sebelum era aplikasi jasa transportasi makanan, orang perlu memiliki restoran untuk bisa berjualan makanan. Dengan aplikasi, orang bisa berbisnis dari dapur rumahnya, dan memasarkannya melalui penjualan aplikasi online. Demikian juga petani di desa, dapat langsung menjangkau pembeli di kota, melewati middle-men (blanthik) berupa tengkulak. Ini menimbulkan efisiensi dalam proses bisnis. Biaya menjadi lebih rendah, kesempatan terbuka lebar bagi orang-orang yang dapat memanfaatkannya.

Namun peluang ini juga membawa dampak-dampak yang perlu dipertimbangkan dan diantisipasi, misalnya:

1. Pekerjaan kasar (blue-collar) dengan persyaratan ketrampilan dan pendidikan rendah seperti buruh assembly (perakitan) akan menjadi minimal.

2. Industri jasa akan meningkat pesat, karena akses terhadap pasar menjadi lebih terbuka melalui IoT (Internet of Things).

3. Akibat IoS (the Internet of System), pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan mesin dan teknologi informasi akan semakin mendominasi, baik di sektor manufaktur maupun jasa.

4. Hubungan antar manusia dalam area industri berkurang jauh, karena sebagian manusia bekerja secara soliter, berhadapan dengan mesin.

5. Karakter relasi antara industri/produsen dengan pasar/konsumen berubah secara total. Pasar dan konsumen memiliki lebih banyak pilihan melalui internet, dan lebih mudah untuk menuntut pertanggungjawaban atas kualitas layanan/produk.

6. Revolusi Industri 4.0 berpotensi mempertajam kesenjangan ekonomi warga, sebagaimana yang terjadi di negara Amerika Serikat di mana perusahaan-perusahaaan teknologi informasi dengan valuasi sangat tinggi menciptakan lapis kelompok kaya
baru di tingkat yang sangat tinggi.

Editor: Achmad S & Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,145