Hukum

Reformasi Penegakan Hukum Pengguna Narkotia untuk Mengurangi Overcrowded Penjara

Peneliti MaPPI FHUI, Cendy Adam/ Foto: mappifhui.org
Peneliti MaPPI FHUI, Cendy Adam/ Foto: mappifhui.org

NUSANTARANEWS.CO – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) mengapresiasi program pengurangan overcrowded penjara dalam paket reformasi hukum Presiden Jokowi. Optimalisasi pidana denda dan pidana bersyarat serta pengetatan penahanan kami rasa tepat untuk mengurangi overcrowded.

Untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap program tersebut, MaPPI FHUI juga merekomendasikan pembenahan regulasi dan penanganan perkara narkotika. Demikian keterangan dari Peneliti MaPPI FHUI, Cendy Adam dalam keterangan persnya, yang diterima nusantaranews.co, Rabu (12/10) malam

“Penanganan perkara narkotika memiliki kontribusi signifikan terhadap overcrowded penjara di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, dari tahun 2012–2015 tahanan dan terpidana narkotika menempati lebih dari setengah kapasitas rutan dan lapas. Dari presentase tersebut, tersangka/terdakwa/terpidana yang dikaterogikan sebagai pengguna menempati hampir seperempat dari kapasitas penjara di Indonesia,” terang Cendy.

Menurut dia, KUHAP dan UU Narkotika telah memberikan ruang bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk mengurangi overcrowded dengan menempatkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke lembaga rehabilitasi medis dan sosial. “Hal ini kemudian diperkukuh dengan Peraturan Bersama yang disepakati  Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, BNN, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan,” katanya.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Namun demikian, lanjut Cendy, aparat penegak hukum cenderung memaksimalkan pengenaan pidana penjara kepada tersangka/terdakwa/terpidana kasus narkotika, termasuk pengguna. Pada seluruh kasus penyalahgunaan narkotika (74 kasus), hanya 2 terdakwa yang ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial selama proses peradilan. Masa penahanan rata-rata tinggi: 152 hari/tahanan.

Selain itu, katanya lagi, sebagian besar kasus (147 kasus) alat bukti yang dihadirkan hanya 2 orang saksi penyidik dan 1 alat bukti surat keteragan kandungan narkotika. Dengan alat bukti tersebut harusnya penanganan perkara dapat berlangsung cepat dan penahanan dapat dipersingkat.

“Polisi, Jaksa dan hakim juga lebih memilih mengenakan pasal kepemilikan (Pasal 111 dan 112 UU Narkotika) dan pembelian narkotika (Pasal 114 UU Narkotika) dibandingkan dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Pasal 127 UU Narkotika) hanya karena pasal kepemilikan dan pembelian narkotika lebih mudah dibuktikan, memuat ancaman pidana yang lebih berat, serta lebih praktis untuk dieksekusi,” kata Cendy menjelaskan.

Lebih lanjut Cendy menyatakan, pengalaman Indonesia serta studi dari berbagai negara telah membuktikan pemenjaraan pengguna narkotika tidak menyelesaikan permasalahan apapun. Pemenjaraan pengguna narkotika seringkali gagal menghasilkan deterrence effect (efek jera) di masyarakat.

Baca Juga:  Terkait Tindak Premanisme terhadap Wartawan Cilacap, Oknum Dinas PSDA Disinyalir Terlibat

“Buruknya pengawasan dan sistem pembinaan di dalam penjara terbukti tidak mampu mengatasi masalah adiksi, penggunaan narkotika di dalam penjara serta penyebaran HIV/AIDS,” ujarnya.

Oleh karenanya, Cendy mendaskan, MaPPI FHUI merekomendasikan Presiden Jokowi: (1) Memaksimalkan penggunaan instrument rehabilitasi medis dan sosial dalam penanganan perkara narkotika dibanding pidana penjara; (2) Merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 yang mempersulit pemberian pembebasan bersyarat bagi terpidana narkotika, terutama pengguna narkotika; dan (3) Dalam jangka panjang, pemerintah harus menghapus kerancuan pasal kepemilikan, pembelian serta penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri yang ada dalam UU Narkotika. (Fadil/Red-02)

Related Posts