HukumPolitik

Referendum Reklamasi, Mantan Komisi Hukum: Ngawur Berat

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tawaran referendum mengenai reklamasi Teluk Jakarta oleh Peneliti NSEAS Muchtar Effendi Harahap, mendapat tanggapan serius dari mantan Anggota Komisi Hukum DPR RI, Djoko Edhi Abdurrahman.

Djoko Edhi menilai tawaran refendum hanya akan mengganjal Anies Sandi untuk menutup reklamasi. Artinya reklamasi boleh ditutup setelah minta pendapat publik (referendum). Dengan demikian, menurut Djoko Edhi kekuasaan gubernur bisa dihilangkan dengan referendum.

“Info yang saya terima dari tokoh-tokoh aktivis Jakarta Utara dari PAN, sudah ada bagi-bagi duit dari taipan untuk menggulirkan isu referendum itu. Isu referendum Muchtar Efendy Harahap, mantan wartawan koran Inti Jaya itu, ngawur berat,” ungkap Djoko Edhi melalui keterangannya kepada redaksi, Rabu (1/11/2017).

Mengapa? Sebab, pertama, UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum, sudah dicabut. Dan tak ada gantinya hingga kini.

Baca: Menyikapi Kasus Reklamasi Teluk Jakarta Dengan Referendum

Latar belakang dicabutnya UU Referendum itu setelah Timor Timur lepas. Masyarakat Timtim menggunakan UU Refenrendum utk melaksanakan referendum Timtim. “Jika tak dicabut, UU itu akan digunakan oleh Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka,” sambungnya.

Baca Juga:  Survei Parpol, ARCI Jatim: Golkar-Gerindra Dekati PKB-PDIP

Dirinya menambahkan, UU No. 5/1985 itu adalah satu dari 5 UU Politik 1985, termasuk di dalamnya UU Asas Tunggal.

Kedua, lanjut Djoko Edhi, masalah reklamasi adalah hukum administrasi negara (HAN). Bukan HTN. Jadi, tak ada hubungannya dengan referendum, andai kata pun ada UU Referendum.

Alasan ketiga, yurisdiksi atau jurisdiksi reklamasi merupakan kekuasaan hukum UU Pemda, UU No. 22 dan pembaruannya tentang otonomi. Sedangkan yang menyangkut kekuasaan pusat adalah hukum atributif. “Jadi yang dikemukakan Luhut Binsar Panjaitan salah berat. Untuk Jakarta, masih ada UU No 34 tentang ibukota, diperbarui dengan UU No 17 / 2006. Saya ikut di pansus UU ini di DPR,” kata dia.

“Nah, lalu referendum yang mana yang ditulis Mochtar itu? Yaitu, referedum ala taipan. Rang-ngarang, kata orang Madura,” ujarnya.

Untuk pembangunan Pulau Reklamasi itu, Aguan menarik kredit di Guandong Rp 40 triliun. Dan, super blok Reklamasi sudah dipasarkan di Hongkong, Guangshow, dan Singapore. Menurut Djoko Edhi, jika distop, bangkrut Aguan. “Urugannya oleh Tomy Winata, dan tanah urugnya oleh Wisesa,” jelasnya.

Baca Juga:  Bagai Penculik Profesional, Sekelompok Oknum Polairud Bali Minta Tebusan 90 Juta

Pelanggaran di reklamasi, kata Djoko Edhi terungkap seiring dengan ditangkapnya Anggota DPRD DKI Sanusi dan Presdir Alirman dalam OTT KPK. Aguan sempat dicekal KPK, dan di pengadilan terungkap Ahok menerima Rp 1,6 triliun dari Aguan CS.

Kini KPK mulai menggunakan Perma No 13 tahun 2016 tentang tata cara penanganan kejahatan korupsi oleh korporasi. Perma ini mampu membuat korporasi sebagai tersangka korupsi yang sebelumnya tak bisa. Perma ini adalah semacam bus dari UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor dan UU No 30 tahun 2004 tentang KPK. (*)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 41