Berita UtamaOpiniTerbaru

Refeksi 71 Kemerdekaan Indonesia: Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya

Refeksi 71 Kemerdekaan Indonesia: Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya
Membangun Jiwa, Membangun Badan/Ilustrasi nusantaranews (copy rigth batatx.photo) via kompasiana

NUSANTARANEWS.CO – Merefleksikan HUT RI ke-71, nasionalisme dan kebangsaan mendominasi diskusi interaktif Pengurus PMII Cabang Kabupaten Bekasi dengan jajaran Mabincabnya. Secara garis besar kaidah hidup berbangsa yang menopang keberlangsungan negara dirasa mulai kehilangan aktualisasi maknawi dalam konteks implementasi cita-cita kemerdekaan Indonesia.

“Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya. Untuk Indonesia Raya”, demikian petikan lagu Indonesia Raya sebagai pemantik diskusi. Terasa benar, setiap kata tertuang dalam Lagu yang dicipta W.R. Supratman itu, tersirat makna pembangkit jiwa nasionalisme, spirit kesatuan dan kebangsaan dalam jangka yang sangat panjang. Lagu Indonesia Raya bukan pelengkap ritual upacara belaka, namun lebih dari sekedar itu.

Mengapa bangunlah jiwanya dahulu, kemudian barulah badannya Untuk Indonesia Raya? Ada pesan tersirat dari sang pencipta. Makna yang tidak hanya didengarkan saja namun perlu menangkap secara mendalam makna yang terkandung dalam tiap baitnya sebagai refleksi atas kebingungan hati dalam menapaki rentang jalan bangsa pasca merdeka.

Bila pra-Kemerdekaan perjuangan terfokus pada merebut Kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan dapat direbut seutuhnya, bukan berarti merdeka pula perjuangan untuk bangsa. Sebagai anak bangsa kita berkewajiban terus menjaga kedaulatan bangsa serta terus berjuang demi bangsa dalam konteks yang tidak lagi merebut kemerdekaan dari tangan imprelalis tamak, namun dalam tataran membangun “Jiwa dan badannya untuk Indonesia Raya” sebagai bentuk implementasi dari perjuangan pasca Kemerdekaan.

Baca Juga:  Jatim Menang Telak, Khofifah Ucapkan Selamat ke Prabowo Menang Pilpres

Pemuda: Membangun Jiwa, Membangun Badan

Dalam buku-buku sejarah perjalanan bangsa, mulai dari zaman maritim, agraria hingga era industri, banyak tertulis tumpang tindihnya peradaban. Semua itu dibingkai dengan kisah heroik para pejuang terdahulu dengan spirit dan tujuan yang satu yakni “kemerdekaan”.

Pada abad Ke-19 barulah secara nasional, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya yang tidak serta merta mulus dan berjalan mudah. Pasca proklamasi pun bangsa ini masih terus berkutat pada ranah perjuangan guna merebut kemerdekaan seutuhnya. Karena belum relanya imprelis tamak mengakui kemerdekaan bangsa ini secara hakiki.

Misi pendirian NKRI penuh dengan lumuran darah. Tak hanya perjuangan berupa fisik, perundingan-perundingan dan loby dukungan-pun turut serta digencarkan dengan maksud dan tujuan yang sama. Selanjutnya, dalam kontek kemerdekaan bangsa kini, kita patut mempertanyakan sudah sejauh mana rentang waktu kemerdekaan itu telah benar-benar memerdekakan rakyat dari kungkungan pembodohan dan ketidakberdayaan? Kita pun patut mempertanyakan khususnya sebagai pemuda, apa yang sudah kita lakukan/berikan untuk tanah pertiwi dalam mengimplementasikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya dengan tindakan nyata yang berkesinambungan?

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Sejatinya, kendati telah merdeka bukan serta merta kita berleha-leha dalam euforia kebebasan Bangsa. Idealnya dengan kebebasan yang telah dimiliki ini kita mampu merangseg pada panggung dunia dalam berbagai bidang prestasi yang mampu membawa kejayaan bangsa pada pentas dunia. Baik prestasi di bidang politik, olah raga, pendidikan, ekonomi, sains dan lain sebagainya. Sebab, meski merdeka bukan berarti perjuangan turut pula bebas/selesai. Sebagai pemuda kita memiliki tanggung jawab guna meneruskan cita-cita perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri yang dulu diperjuangkan dengan lumuran darah, derita dan sengsara.

Untuk Indonesia Raya

Logikanya, setelah merdeka mestinya bangsa dapat lebih maju dengan kebebasan bernegara yang didapatnya. Berbanding terbalik dengan logika, bangsa ini masih saja tergoyahkan dengan selentingan propaganda/sabotase yang dimunculkan oleh pihak-pihak yang tak senang bila bangsa ini melesat maju menjadi negara perkasa. Sehingga Kemerdekaan hakiki masih utopis. Kemerdekaan sejatinya sebagai gerbang awal dalam perjuangan selanjutnya dalam menaklukan ketidakberdayaan di segala bidang. Berkenaan dengan hal ini Bung Karno telah mewanti-wanti dari jauh-jauh hari  “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, dan perjuanganmu lebih berat karena melawan Bangsa sendiri”.

Baca Juga:  Ketua Lembaga Dakwah PCNU Sumenep Bahas Tradisi Unik Penduduk Indonesia saat Bulan Puasa

Perang dengan bangsa sendiri memang lebih sulit karena memang musuh bersifat kasat mata dan terselubung di balik topeng-topeng heroik pendusta dan munafik.  Selain itu strategi koalisi penjahat serta merta seolah laksana benteng-benteng pertahanan yang kokoh yang tak mudah untuk dihancurkan. Saat ada segelintir pejuang yang berusaha menggedor dengan sekuat tenaga, maka dengan seketika mereka akan dihujam dengan panah propaganda dan tipuan keji yang akan menembus jantungnya. Ketika jatuh tersungkur, mereka bersorak gembira melihatnya. Lalu amanlah cita-cita bejat mereka dari kehancuran, dalam bejana koalisi jahat dan penjilat penggerogot sendi-sendi Nusantara.

Perjuangan takkan boleh mengenal kata usai dan selesai. Perjuangan sebagai pelita harus terus berkobar menggelora dalam setiap sanubari regenerasi bangsa. Dimana sebelumnya telah dipersiapkan dengan membangun jiwa dan badannya. Sekokoh apapun benteng dengan label “kemufakatan jahat” lambat laut akan hancur juga, walaupun tidak dengan waktu yang sebentar. Namun, percayalah hasil takkan pernah mengkhianati perjuangan.

“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.” Merdeka……!!! (Eman Sulaeman, kader PMII Cabang Kabupaten Bekasi)

Related Posts

1 of 47