Opini

Reaksioner Political Syndrome

Reaksioner Political Syndrome (Ilustrasi)
Reaksioner Political Syndrome (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO – Robert Hughes pernah mengatakan, “Political Stress is always apt to shrink the private arena and attach it on the public”. Reaksioner Political Syndrom adalah salah satu gangguan kejiwaan (Psychiatric Disorder), yang kini sedang akut di masyarakat.

Gangguan kejiwaan ini meski masih dalam klasifikasi strass tingkat rendah. Biasanya gangguan ini berawal dari didunia maya lalu bermetamorfosa ke dalam dunia nyata. Yang paling membahayakan adalah, jika gangguan kejiwaan ini diderita oleh para tokoh politik, yang pasti rentan diikuti oleh para pendukungnya. Ternyata tokoh politik bisa menjadi virus penyakit pada masyarakat. Nama gangguan kejiwaan tersebut belum menjadi istilah resmi didalam disiplin ilmu psikologi, namun menjadi istilah para penulis dan pengamat sosial.

Gangguan kejiwaan Reaksioner Political Syndrome (RPS) diakibatkan dari dukungan politik secara berlebihan. Biasanya sipenderita sangat rajin mencari dan mengkomentari akun lain yang berbeda pemahaman yang pada akhirnya terjadi perdebatan. Maka itu tidak heran biasanya menjelang pilpres dan pilkada tidak sedikit dari mereka yang memutus tali perkawanan atau bahkan terjadi perceraian suami istri.

Baca Juga:  Mesin Propaganda Arus Utama Barat Marah Karena Mitos 'Isolasi Putin' Runtuh

Di dalam otak terdapat Dopamin, yakni sel otak yang berperan dalam membentuk motivasi dan kecanduan. Dopamin juga berfungsi untuk mengatur dan menstimulasi aktifitas motorik. Dari rutinitas perdebatan politik didunia maya, lalu terjadi peningkatan hormon dopamin dalam otak, dimana si penderita makin agresif dalam melakukan aktifitas perdebatan. Dari sana sipenderita mencari informasi sebagai bahan perdebatan, bahayanya jika saat mendapatkan informasi dengan mudah diterima tanpa dipelajari atau disaring lagi seiring dengan peningkatan dopamin, maka rentan sekali membuat posting hoax dan fiktif yang melanggar undang-undang dan pada akhirnya dapat merugikan dirinya sendiri dan keluarganya.

Bicara soal prilaku pengguna sosial media, kritis itu memang perlu, tapi adakalanya pengguna media saat ini banyak yang tidak bisa membedakan antara kritis dan benci. Dimana kebencian itu rentan bebuntut pada sikap ingin selalu menjatuhkan orang lain. Terlebih lagi bicara soal kebenaran dalam politik, sudah pasti kedua pihak merasa dirinya yang paling benar. Artinya, dalam dunia politik, kita harus menghindar sebagai kontra kebenaran yang diklaim pihak lawan. Atau, boleh saja jika berdiskusi dengan sehat, tetapi jika dirasa kurang sehat dan cenderung kearah perdebatan yang panas, maka hentikan sedapat mungkin.

Baca Juga:  Bercermin dari Wilson Lalengke, Pemimpin Sejati yang Melindungi Anggota tanpa Batas

Maka untuk menghindari bahaya gangguan kejiwaan ini, alangkah baiknya kita tidak perlu mengkomentari posting politik yang dilakukan oleh orang lain. Toh jika posting orang lain bernada negatif, Ada dua hal yang timbul bagi sipemosting negatif akan menerima konswekensi terisolasi dalam kehidupan sosial atau bisa juga terkena sangsi pidana. Mengkomentari posting politik orang lain juga menjadi salah satu penyebab utama memicunya RPS. Belum lagi jika pada kenyataan sipenderita mengalami kekalahan, hal ini akan menjadi syndrom yang panjang dikemudian hari, yang disebut dengan Political Stress Syndrome (PSS) Dimana sipenderita tak bisa mengontrol emosi hingga tidak sedikit yang masuk kedalam kasus pidana.

Begitupun bagi yang hobi memberi postingan. Alangkah baiknya jika memang memiliki respon terhadap politik, maka sering-seringlah memposting hanya kelebihan orang yang kita dukung atau memberi pujian pada setiap action positif. Hal ini dilakukan untuk mengurangi gesekan dan kekecewaan jika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

Baca Juga:  Klausul 'Rahasia' dari 'Rencana Kemenangan' Zelensky: Bergabung dengan NATO dan Memperoleh Senjata Nuklir

Namun demikian kita juga tidak perlu takut untuk selalu memposting tema apapun. Mengingat menulis adalah bagian dari melatih keterampilan jurnalis. Dengan catatan, apa yang kita angkat tidak menyerang pribadi orang lain atau atau melanggar UU. Terlebih lagi jika terdapat unsur sara dan kebencian. Dengan begitu kita bisa melakukan aktifitas dunia maya dengan sehat.

Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekepal daging, kalau itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, kalau itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh, Itulah hati” (HR. Bukhari).

Penulis: Vetris

Related Posts

1 of 3,050