Puisi

Rapat Raksasa Ikada dan Setelah 71 Tahun Merdeka – Puisi Jose Rizal Manua*

RAPAT RAKSASA IKADA**
19 September 1945

Pertempuran demi pertempuran
terus berlangsung
Dan korban-korban terus berjatuhan
di persada Nusantara.
Dengan persenjataan seadanya;
Bambu runcing, golok dan parang
Rakyat berjuang!
Bergerilya menggempur kubu
Penindas dan penjajah.
Sebelum maupun sesudah
Kemerdekaan Republik Indonesia
Di Proklamirkan.
Untuk menyambut kemerdekaan itu
Di Jakarta, pada tanggal 19 September 1945
Berlangsung rapat raksasa.
Dalam rantai persatuan yang kuat
Beratusribu masa rakyat
Datang berduyun bagai gemuruh air bah
Membanjiri lapangan Ikada
Berbondong datang dari pelosok Jakarta.
Dari pelosok Tangerang, Banten, Bekasi
Bahkan dari pelosok Cikampek juga.
Semua berbekal semangat menggelora
Mengarak poster-poster
Mengarak spanduk-spanduk
Dan bendera-bendera Dwi-Warna.
Di tengah lautan merah putih, terbaca:
“Satu Tanah Air
Satu Bangsa!
Satu Tekad
Tetap Merdeka!”
Tak lagi tersisa istilah takut
Tak lagi ada langkah surut
Walau di bawah ancaman senjata
Dan mayonet terhunus serdadu Jepang.
Sorak-sorai dan pekik “merdeka”
Segera membahana, ketika
Bung Karno melangkah gagah
Menyibak kerumunan massa
Lalu berdiri dengan penuh kharisma
Di atas podium utama.
Keadaan jadi sangat gawat
Situasi jadi sangat sekarat.
Penjajah bersenjata
Berhadapan muka dengan massa rakyat
Dalam jarak beberapa tombak.
Tak ada pidato hari itu.
Untuk meredam amarah rakyat
Demi mencegah pertumpahan darah
Akhirnya Bung Karno berpidato:
“Percayalah rakyat kepada Pemerintah Republik.
Kalau saudara-saudara memang percaya kepada
Pemerintah Republik Indonesia yang akan mem-
pertahankan proklamasi kemerdekaan itu, wa-
lau pun dada kami akan dirobek-robek karenanya,
maka berikanlah kepercayaan kepada kami
dengan tunduk kepada perintah-perintah kami
dan tunduk kepada disiplin.”
Sunyi sesaat.
Hening memagut setiap jiwa.
Setelah sesaat berlalu
Kesejukan menyelinap ke setiap dada
Walau udara terik,
Walau panas tak terkira.
Pidato yang singkat itu
Merembes ke relung-relung jiwa.
Massa rakyat
Berangsur-angsur surut
Meninggalkan gelanggang
Pulang dengan tenang.
Namun di sanubari mereka tekad
Telah terpatri, yaitu:
Semangat perlawanan terhadap penjajahan
Semangat perlawanan terhadap penindasan
Dan semangat dalam menjunjung tinggi
Nilai-nilai kedaulatan dan kemanusiaan.

Jakarta, 19 September 2003.

SETELAH 71 TAHUN MERDEKA

Setelah 71 tahun merdeka
Jurang tambah menganga.

Kemarau menyeracau
Kering dan panjang
Seperti bayangan senja
Yang membentang lengang.
Sementara kehidupan yang niscaya
Mengambang di ambang senjang;
Yang kaya bertahta di singgasana
Yang miskin memilin perut berisi kentut.

Hujan hanya kerinduan
Jauh dan dalam
Seperti langit misteri
Yang menyelimuti sanubari.
Sementara kehidupan yang niscaya
Merayap bersama harga-harga;
Yang kayaraya ongkang-ongkang di atas singgasana.
Yang sengsara menggapai-gapai sangsai fatamorgana.

Setelah 71 tahun merdeka
Hutang tambah membahana.

17 Agustus 2016

BULAN SEPOTONG MERONDA KOTA JAKARTA

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini
masyarakat sibuk kasak-kusuk
mass media asyik kipas-kipas.

Bulan sepotong meronda kota Jakarta
sambil melagu malu-malu:
“ya ya ya ya ya ya
ya kredit ya macet
ya ya ya ya ya ya
ya kejepit ya kegencet”

Mereka bergunjing di rumah-rumah, di hotel-hotel
tentang moler, sawer, dower, teler, ngeper dan beser.
Tentang sogok, mogok, pasok, momok, rampok dan gorok.
Kisah sekamar melar sepasar.

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini;
masyarakat sibuk kasak-kusuk
mass media asyik kipas-kipas.

Bulan sepotong meronda kota jakarta
sambil melagu ragu-ragu:
“ya ya ya ya ya ya
ya narko ya tikno
ya ya ya ya ya ya
ya narkotik ya no no”

Mereka bergunjing di kampus-kampus, di kantor-kantor
tentang cekal, mental, jegal, kapal, rudal dan tumbal.
Tentang doping, shoping, jogging, kancing, beking dan jaring.
Kisah sekota melar sebenua.

BAHKAN DALAM USIA YANG KE- 62 KINI

Nenek moyangku adalah bangsa bahari
Mengarungi samudera hingga ke Malagasy
Sementara aku tak pernah pegang kemudi
Bahkan dalam usia yang ke- 62 kini
Belum ada dharmaku bagi nusantara
Belum ada bhaktiku bagi Ibu Pertiwi
Nenek moyangku adalah bangsa bahadur
Dengan niscaya membangun Borobudur
Sementara aku masih saja ngelindur

Jakarta, 14 September 2016

 Jose Rizal Manua
Jose Rizal Manua

*Jose Rizal Manua, lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 September 1954. Penyair dan dramawan yang sekaligus pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air (1988), yang meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman, tanggal 14-22 Juli 2006. Tahun 1975 mendirikan Teater Adinda bersama Yos Marutha Effendi dan tahun 1986 mendirikan Bengkel Deklamasi Jakarta. Selain itu ia juga adalah seorang pemeran dan pengisi suara dalam beberapa film seperti Oeroeg (1993), Kala (2007), Fiksi (2008), Asmara Dua Diana (2009), dan Meraih Mimpi (2009). Penghargaan lain yang pernah diraih yaitu bersama Teater Tanah Air (TTA) meraih The Best Performance dan meraih medali emas di The Asia Pacific Festival of Children Theatre 2004, yang diadakan di Toyama, Jepang.

**Puisi Rapat Raksasa Ikada pernah dibacakan di Gedung DKI Jakarta dan didedikasikan kepada Sutiyoso, Gubernur Kepala Daerah khusus Ibukota Jakarta Raya.

Related Posts

1 of 124