EkonomiOpini

Quo Vadis Sisdiknas?

Quo Vadis Sisdiknas?
Quo Vadis Sisdiknas? Ilustrasi Ist.

Quo Vadis Sisdiknas?

Semenjak digulirkannya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 yang mengundang modal asing untuk ditanam di bidang pendidikan, kemudian melanda dunia pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau perguruan swasta. Maka terjadilah liberalisasi pendidikan di tanah air sebagai akibat dari dinamika sosial dan ketatanegaraan sesudah reformasi politik tahun 1998.
Oleh: Sardjono Sigit

Perguruan swasta yang oleh konstitusi dibenarkan untuk mengambil bagian dalan pencerdasan kehidupan berbangsa, telah bergerak bebas untuk membuka sekolah menurut seleranya masing-masing. Mereka membuka sekolah elite yang sungguh mahal dengan mengadopsi berbagai sistem dari dunia pendidikan di luar Tanah Air.

Sampai saat ini sekurang-kurangnya telah ada 11 negara yang sistem pendidikan dam kurikulumnya menjadi praksis pendidikan di sekolah mereka. Baik yang masuk bersama modal asing atau hanya kurikulumnya saja sebagai bentuk afiliasi. Mereka menyelenggarakan pendidikan pada jenjang TK, Dikdas dan Dikmen, sampai perguruan tinggi. Negara-negara itu adalah Amerika, Inggris, Australia, India, Hongkong, Cina Taiwan, Malaysia, Singapura, Turki dan Maroko.

Sisdiknas dan Liberalisasi Pendidikan
Dalam suatu sistem ketatanegaraan yang normal, negara membuat undang-undang sebagai rambu-rambu pengaturan terhadap sepak terjang masyarakat, agar tidak terjadi anarkhi. Pembuat undang-undang adalah wujud dari suatu tindakan mengatur atau memerintah (governing) sebagai suatu kewajiban dari tugas pemerintah (goverment), untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan (governance).

Begitulah halnya ketika pemerintah menerbitkan suatu undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di tanah air berada dalam rambu-rambu suatu sistem, atau dalam satu sistem, yang disebut Pendidikan Nasional, seperti disebutkan dalam butir b konsiderans UU No. 20/2003.

Marilah kita lihat, apakah pendidikan di tanah air berjalan seperti yang dikehendaki oleh UU Sisdiknas tersebut, yaitu pendidikan diselenggarakan dalam satu sistem untuk membuat rakyatnya menjadi warganegara yang demokratis atau bertanggung jawab serta mempunya kesadaran nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Benarkah bahwa di Indonesia tidak ada sistem lain, yang bukan sisdiknas, dan beroperasi dengan leluasa, kerena pemerintah – dalam hal ini Kemendiknas- memang meliberalkan pendidikan di Tanah Air?

Sekolah Nasional Plus
Fenomena kebebasan dalam hal penyelenggaraan pendidikan ini dimulai oleh lembaga sekolah swasta. Tantangan globalisasi serta tuntatan modernisasi pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi universal telah menyebabkan pada awal tahun 90-an masyarakat penyelenggara sekolah swasta merintis pendidikan yang bernuansa internasional. Mereka memakai bahasa pengantar Inggris dan menyewa guru expatriate, serta mengedepankan penggunaan teknologi informasi. Dengan datangnnya era reformasi, maka gejala pembukaan sekolah sejenis ini makin menjamur. Mereka menamakan diri sebagai Sekolah Nasional Plus, membuat kombinasi kurikulum asing dan kurikulum nasional dan membuat organisasi dengan nama Association of National Plus School, disingkat ANPS.

Istilah plus dipakai disitu untuk menunjukkan bahwa mereka punya kelebihan dari sekolah biasa. Jumlah mereka konon sudah mencapai 80’an di seluruh Indonesia. Mereka bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan di USA, Inggris, Australia, Singapura, India bahkan Turki, dalam perolehan akreditasi maupun franchising. Juga diajarkan bahasa-bahasa asing Cina-Mandarin, Jepang dan Arab, sebagai bahasa asing pilihan kedua atau ketiga.

Salah Kaprah Nomenklatur Internasional
Karena masih mempunyai kelebihan dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan proses pembelajaran oleh guru-guru expatriate, terutama yang berkulit putih, sekolah-sekolah semacam ini ada yang memnyebut dirinya sebagai Sekolah Internasional.

Kekacauan penggunaan istilah internasional ini dimulai dari Sekolah Asing Expatriate yang diizinkan beroperasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan Repebulik Indonesia. Kata internasional ini merujuk pada nationalities murid-muridnya, bukan sistem pendidikannya. Misalnya, Jakarta International School itu adalah sekolah Amrika, Nederlandse International School adalah sekolah Belanda, Deutsche Internationale Schule itu adalah sekolah Jerman, dan lain-lain. Murid mereka terdiri dari berbagai kebangsaan. Jadi, bukan sistem pendidikannya yang internasional. Sistem yang betul-betul internasional adalah apa yang disebut International Baccaleareate Program, disingkat I.B. Institusi ini dibentuk tahun 1968, berpusat di Swiss.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Beberapa negara maju pada waktu itu bersepakat untuk membentuk wadah pendidikan yang memungkinkan lulusannya dari manapun mempunyai akses ke perguruan tinggi di negara-negara maju tanpa harus melalui sipenmaru oleh negara setempat. Program I.B inilah yang betul-betul internasional, dan sudah dilaksanakan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Di sini pun I.B sudah mulai diperkenalkan juga oleh beberapa sekolah swasta.

Program ini sangat berat persyaratannya. Hanya sekolah kaya saja yang mampu menyelenggarakannya dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Karena itu masyarakat dihimbau untuk tidak mudah terkecoh dengan reklame I.B. sekolah-sekolah yang melaksanakan sistem ini mendapat sertifikat International Baccaleareate Organisasi atau I.B.O dengan pengawasan berkala yang cukup ketat.

Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Nasional Plus
Sekolah-sekolah yang menyebut diri sebagai Sekolah Nasional, semestinyalah berjalan menurut rambu-rambu Sistem Pendidikan Nasional. Bagi Sekolah Nasional Plus atau SNP yang berbobot nasionalnya masih tebal, ketentuan-ketentuan dari sisdiknas, dalam hal ini kurikulum nasional, masih diikuti dengan patuh, disamping kurikulum asing yang diberikan sebagai bentuk plus tadi. Murid-muridnya dipersiapkan dengan baik untuk mengikuti Ujian Nasional sebagai ketentuan sisdiknas.

Tetapi bagi mereka yang acuh terhadap sisdiknas, dari waktu ke waktu nasionalisme pendidikannya semakin tipis. Bahkan banyak SNP yang sama sekali mengabaikannya. Mereka yang mengadopsi sistem pendidikan yang bukan nasional ini tidak mempersiapkan muridnya untuk Ujian Nasional. Sebagian dari mereka bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah. Apakah ini bukan bentuk liberalisme pendidikan di Tanah Air, walaupun bukan negara yang menyelenggarakan sekolah itu? Siapa yang dapat menjamin, seberapa jauh pembentukan nation and character building sebagai calon warganegara dewasa bagi anak-anak Indonesia itu dapat terlaksana? Apakah laissez fair policy di bidang pendidikan itu akan dibenarkan? Dengan dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka liberalisasi pendidikan ini nyaris sempurna, meniru istilah Prof. Syafii Maarif.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Pembukaan Sekolah dan Perizinanan yang Sembarangan
Menurut undang-undang, setiap pembukaan sekolah (swasta) harus melalui perizinan. Pembukaan sekolah semacam ini, yang harus mempertimbangkan banyak faktor, ternyata dianggap angin lalu. Banyak sekolah semacam ini dibuka di kompleks perumahan, memakai rumah tinggal, mengganggu lalu lintas, membuat gaduh lingkungan, dan seterusnya menjadikannya seolah-olah home industry belaka. Di antara mereka bahkan ada yang sama sekali tidak mempunyai izin.

Ini terjadi terutama pada jenjang Taman Kanak-kanak, Kindergarten, Play Group atau sejenisnya, yang merupakan komoditi menggairahkan bagi penyelenggaranya. Gaya hidup metropolitan orangtua modern yang tidak mau kalah dala hal status simbolnya, mendorong menjamurnya industri pendidikan seperti ini.

Kalau gejala sosial di kota-kota besar di Indonesia seperti ini tidak segera ditata dan diarahkan secara konstruktif, dikhawatirkan bahwa liberalisasi pendidikan, yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan swasta seperti ini akan memberikan dampak jauh bagi hari depan bangsa. Pendidikan bukan sekedar menjadikan seorang anak untuk menjadi orang, tetapi juga menjadi seorang “warganegara”.

Dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1915, berjudul Democracy and Education an Introduction of the Philosophy of Education, John Dewey (1859-1952), seorang filosof Amerika yang percaya bahwa kondisi kritis dari suatu masyarakat demokratik dan industri itu memerlukan penanganan pendidikan yang baru (that the exigencies of democratic and industrial society demanded new educational techniques), mengambil contoh bagaimana leadership dari pemimpin-pemimpin Rusia telah membentuk warga negara Jerman yang tangguh nasionalismenya. Dikatakannya, “…under the influence of German thought in particular, education became a civic function, and the civic function was identified with the realization of the ideal of the national stateTo form the citizen, not the man became the aim of education…”

Tujuan pendidikan nasional tidak sekedar membentuk kepribadian manusia Indonesia yang baik, tetapi juga menjadikannya seorang warga negara yang baik. (ed. Banyu)

Penulis: Sardjono Sigit, Purnawirawan Widyaiswara Utama Pusdiklat Depdiknas, Mantan Atase Dikbud untuk United Kingdom di London.

Related Posts

1 of 3,050