NUSANTARANEWS.CO – Pembentukan holding memang penting sebagai bagian dari skema restrukturisasi BUMN. Pembentukan induk usaha ini juga bukan isu baru dalam tata kelola BUMN di Indonesia, karena telah mengemuka sejak zaman Menteri Tanri Abeng. Kita ingat, beliau pernah menyusun cetak biru penataan BUMN yang dikenal dengan istilah Reformasi BUMN Gelombang I dan Gelombang II.
Walhasil, Reformasi BUMN (1997–1998) membuahkan kinerja perbaikan BUMN, antara lain terjadi peningkatan jumlah BUMN yang sehat dari 82 buah bertambah menjadi 87 buah (dari 59,6% menjadi 68%) dari seluruh total populasi BUMN. Dari sisi pendapatan juga terjadi peningkatan, yaitu sebesar 155,2%, kemudian laba usaha meningkat sebesar 207,1%, dan laba sebelum pajak meningkat sebesar 194,1%.
Dari studi kasus tersebut, dapat dilihat bahwa holding merupakan salah satu opsi yang dirasa perlu sebagai upaya menguatkan struktur, permodalan, meningkatkan efisiensi dan koordinasi, serta memudahkan investasi. Dengan holding, ke depan BUMN dapat berangsur-angsur tumbuh secara mandiri, tanpa mengandalkan Penyertaan Modal Negara (PMN) serta semakin profesional.
Namun demikian, proses pembentukan holding perlu dikalkulasi secara matang baik dari sisi regulasi maupun teknis. Kita bisa belajar misalnya pembentukan Holding BUMN Industri Pupuk dan Semen telah berjalan saat ini, adalah hasil proses inisiasi pembentukan holding yang telah dimulai sejak tahun 1990‐an. Di mana cikal bakal pembentukan Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), telah dimulai sejak Pupuk Sriwijaya menjadi induk perusahaan bagi empat BUMN sektor industri pupuk pada tahun 1997.
Pemerintah perlu menentukan skala prioritas, BUMN sektor mana yang menjadi unggulan untuk diholding. Misalnya BUMN sektor pangan, sektor infrastruktur/karya dan sektor perumahan. Ketiga sektor inilah yang memiliki hubungan erat dengan misi BUMN sebagai agent of development. Sedangkan BUMN sektor energi, tambang, dan jasa keuangan perlu dilakukan kajian lagi secara mendalam oleh sebab sektor-sektor ini relatif telah memiliki kekuatan modal dan pasar tersendiri.
Sebagai penutup, holding BUMN merupakan salah satu opsi yang dapat dipilih untuk menguatkan perusahaan negara di masa depan, akan tetapi perlu menggunakan cara-cara yang elegan dan tidak menabrak peraturan dan undang-undang. Perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali ketentuan di dalam Pasal 2A PP No. 72/2016 sembari menunggu DPR RI mengesakan UU BUMN.
Bahrullah Akbar, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)