Politik

Publik Indonesia Dalam Bayang-Bayang Teror

NUSANTARANEWS.CO – Dalam kurun waktu yang begitu singkat, teror tengah membayang-bayangi publik Indonesia. Kali ini teror dialami para pemuka agama. Namun bila dicermati seksama, ada tren kuat mengenai kecenderungan memojokkan kelompok tertentu.

Ada perlakuan khusus dan berbeda dari pemerintah dalam menyikapi teror yang dialami para pemuka agama kali ini. Mulai kasus teror terhadap ulama di Bandung, teror seorang biksu di Tanggerang dan juga kasus teror kepada pastor di Sleman, Yogyakarta.

Apa itu teror? Teror adalah upaya menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sementara meneror bermakna berbuat kejam, sewenang-wenang, semena-mena, paksaan, ancamam, tindakan, kata-kata/pernyataan, dan lain sebagainya untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. Bahkan seseorang bisa dianggap meneror hanya cukup dengan tatapan mata. Untuk menyebut pelaku teror disebut teroris.

Dalam beberapa kasus baru-baru ini yang dialami sejumlah pemuka agama, sesungguhnya adalah teror. Teror pertama dialami Kiai Umar Basri pimpinan pondok pesantren Al Hidayah (Santiong), Cicalengka, Kabupaten Bandung pada 27 Januari 2018. Dimana usai shalat Subuh berjamaah Kiai Umar Basri dianiaya seorang tidak dikenal.

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Selang beberapa hari kemudian tepatnya 1 Februari 2018, seorang ustadz bernama Ustadz Prawoto, di Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kidul, Bandung, Jawa Barat juga mendapat perlakuan teror kekerasan serupa, hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.

Mengenai dua kasus ulama di Jabar ini, tak begitu mendapat sorotan dari pemerintah. Pihak kepolisian pun hanya menyebut si pelaku orang gila. Sehingga teror yang dialami dua tokoh Islam di Jabar ini tak sampai berlarut-larut. Dan juga tak menimbulkan protes keras dari umat Islam itu sendiri.

Berbeda dengan kasus teror kedua, yang dialami Biksu Mulyanto Nurhalim di Kabupaten Tanggerang pada 5 Februari 2018. Dimana sekelompok orang dengan mengatasnamakan warga mengusir Biksu Mulyanto Nurhalim dengan dalih menyalahgunakan fungsi tempat tinggal menjadi tempat ibadah. Kasus ini kemudian menimbulkan keributan, hingga muncul anggapan sikap intoleran yang lagi-lagi cenderung dialamatkan kelompok mayoritas, yakni umat Islam.

Puncaknya pada teror ketiga, setelah pada 11 Februari 2018, seorang bernama Suliyono melakukan pembacokan kepada Romo Edmund Prier saat memimpin Misa Kudus di Gereja St Lidwina, Trihanggo Gamping, Sleman, Yogyakarta. Kasus itu mendadak menjadi viral. Semua pihak berlomba-lomba angkat bicara.

Baca Juga:  Jadi Pembicara Tunggal Prof Abdullah Sanny: Aceh Sudah Saatnya Harus Lebih Maju

Meski ada kesamaan teror, dalam kasus pembacokan ulama di Jabar cukup selesai terduga orang gila. Sementara kasus teror kepada pastor Gereja St Lidwina di Sleman menjadi berlarut-larut setelah pelaku dikaitkan dengan kelompok intoleran dan radikal.

Bahkan Kapolri dan Panglima TNI yang dalam dua kasus teror terhadap ulama di Jabar tak memberikan reaksi, namun untuk kasus Gereja St Lidwina, Kapolri dan Panglima TNI turun langsung, memberikan perhatian khusus.

Perhatian khusus dari Kapolri dan Panglima TNI ini secara tersirat seakan ingin menegaskan bahwa ternyata tindakan intoleransi di Indonesia merajalela. Konsekuensi logisnya tentu akan ada satu pihak yang tersudutkan. Siapa? Inilah bayang-bayang teror yang sedang dihadapi publik Indonesia saat ini. (ed)

Editor: Gendon Wibisono

Related Posts

1 of 3