Kecurigaan pada Bom (Ilustrasi Nusantaranews)NUSANTARANEWS.CO – Saat menyambut bulan puasa, fenomena tutup aurat mendadak digandrungi rakyat Indonesia, terutama kalangan artis. Tak hanya itu, fenomena meramaikan masjid juga tak ketinggalan. Baik saat jelang berbuka hingga terawih. Fenomena ini bukan tanpa sebab, namun keberadaan Ramadhan yang sangat dirindukan dan membawa pahala melimpah inilah pemicunya.
Hanya saja aktivitas ketaatan di bulan Ramadhan ini agaknya terganggu dengan adanya sentimen terhadap penceramah tertentu dan pengkhususan kebolehan beberapa penceramah saja. Tak sampai di situ adanya penjagaan ketat oleh pihak berwajib saat pelaksanaan sholat terawih hingga kecurigaan besar pada setiap warga yang berhijab pasca peristiwa pengeboman 14 Mei lalu.
Hal ini sangat menodai kesucian Ramadhan. Betapa tidak, di bulan suci ini negara harusnya mensuport setiap individu warga untuk melakukan setiap aktivitas ketaatan bukan malah menjadikan warga semakin tak nyaman dan risih.
Sentimen Islam
Agaknya situasi seperti ini semakin mengecilkan harapan Indonesia akan mengalami perubahan. Perubahan untuk menjadi lebih baik lagi dan tak lagi sentimen terhadap Islam apalagi setelah tragedi bom bunuh diri. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhinya. Pertama, kesalahpahaman terhadap Islam. Islam masih dipandang sebelah mata hanya sebatas agama ritual semata, dan menafikan keberadaannya memiliki aturan politik dan negara. Paham sekulerisme inilah penyebab kesalahpahaman memahami hakekat Islam. Masih ada penyamaan agama ini dengan agama lain yang tak memiliki aturan dalam bernegara.
Kedua, ketakutan terhadap Islam. Maraknya pencitraburukan Islam dan syariahnya, penggambaran yang menakutkan dan framing-framing buruk media adalah penyebabnya. Tak sedikit yang beranggapan bahwa Islam dengan aturannya akan mengekang kebebasan yang selama ini diagungkan. Keruntuhan liberalisme atau paham kebebasan ini tak akan dibiarkan, maka wajar apabila stigma negatif ini akan selalu dihadirkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung-jawab baik dalam skala nasional maupun internasional.
Ketiga, ketidakpercayaan terhadap Islam. Dewasa ini tak ada satupun negara yang menerapkan Islam bukan Arab Saudi bukan pula Turki. Tak ada contoh riil yang mampu diindra saat ini. Penerapan Islam hanya ada dalam sejarah masa lalu. Masih ada ketidakpercayaan dengan Islam apalagi memiliki banyak perbedaan saat ini dengan masa lalu.
Alergi Islam
Faktor-faktor di atas yang menjadikan Indonesia saat ini seolah-olah alergi terhadap Islam dan hanya menerima Islam dari sisi ritualnya saja. Maka impossible Indonesia akan mengalami perubahan, untuk menerima Islam ataupun memuliakannya. Apalagi momen bulan puasa ini hanya dijadikan perubahan sesaat merubah perilaku atau penampilan yang tak berbekas dan tak berpengaruh di bulan yang lain.
Fenomena ini pula akan menambah beban Indonesia sulit mengalami perubahan. Sekalipun mayoritas rakyat Indonesia mengakui bahwa aturan Allah pastilah yang terbaik, namun tak ada yang meliriknya. Padahal jika dibandingkan dengan kapitalisme dan sosialisme, Islamlah juaranya. Saat ini saja penerapan kapitalisme menjadikan Indonesia sarang koruptor, mudah terjerat utang, terlebih ingin menyelamatkan dari kemiskinan yang ada malah lebih banyak lagi, walhasil rakyat menjadi lebih sengsara.
Maka perlu adanya second opinion, jika kapitalisme telah nampak kebobrokannya, sudah sewajarnya melirik aturan lain. Sama halnya dengan kapitalisme dan sosialisme yang berawal dari wacana, maka kesempatan yang sama juga harus diberikan pada Islam. Sehingga mewujudkan perubahan Indonesia menjadi lebih baik lagi tak sekedar mimpi namun kenyataan yang akan terwujud.
*Dian AK, penulis aktif di Women Movement Institute