EkonomiPolitik

Program Maritime String Of Pearl Tiongkok Sasar Indonesia

NUSANTARANEWS.CO – Sekitar tahun 1930-an silam, Soekarno dan Sam Ratulangie pernah berkata bahwa kawasan Asia Pasifik akan menjadi pusat peradaban dunia. Keduanya berucap, perang laut teduh akan jadi babak pembuka kemerdekaan Asia Raya.

Ramalan itu tampaknya benar-benar terwujud nyata. Perang antara China dan Amerika Serikat (AS) di laut China Selatan pecah. AS terus mendesak Beijing untuk segera menghentikan mega proyek reklamasi pulau-pulau di kawasan Laut China Selatan. China berang dengan keusilan AS.

“Jika AS tidak berhenti menekan China untuk menghentikan kegiatannya, maka perang AS-China tidak bisa dihindari di Laut Cina Selatan. Intensitas konflik akan lebih tinggi dari apa yang biasanya dianggap orang-orang sebagai gesekan. Kami tidak ingin konflik militer dengan AS, tetapi jika itu datang, kita harus menerimanya,” demikian laporan surat kabar The Global Times pada pertengahan tahun 2015 lalu.

China terus melakukan pergerakan guna memperkuat pertahanan. Tiongkok berupaya untuk menguasai negara-negara kawasan Asia melalui doktrin sekaligus program maritime string of pearl. Sebuah doktrin dan program pembangunan ekonomi berbasis kelautan guna menguasai jalur perdagangan negara-negara strategis di sepanjang wilayah jalur laut Tiongkok Selatan dan Selat Malaka. Seperti dipahami bersama, Selat Malaka merupakan jalur perdagangan sutra (sea lane of communication) yang sudah melegenda.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Prabowo Gibran Deklarasikan Pemilu Damai Jaga NKRI Bersama 163 Komunitas Relawan

Sejak digulirkannya doktrin dan program Maritime String of Pearl, presiden Tiongkok Xi Jinping mulai menggencarkan kerjasamanya dengan Indonesia melalui presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk program pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim Indonesia melalui skema Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point (MSRP). Doktrin ekonomi dan politik Tiongkok di laut telah memancing perseteruan dan rivalitas (emerging rivalry) negara-negara besar macam Amerika Serikat, Rusia dan Jepang.

Kerjasama Xi Jinping dan Joko Widodo dengan skema SERB dan MSRP tersebut menawarkan pembangunan insfrastruktur di sejumlah pulau terbesar di Indonesia sehingga Tiongkok yang tampil sebagai investor dapat menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia sedikitnya memiliki 10 pelabuhan terbesar yakni Pelabuhan Belawan di Medan, Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar, Pelabuhan Sorong di Sorong, Pelabuhan Batam Center di Batam, Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta, Pelabuhan Harbour Bay di Batam, Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi, Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang, Pelabuhan Bakauheni di Lampung, dan Pelabuhan Merak di Banten.

Baca Juga:  Khofifah Effect Makin Ngegas, Elektabilitas Prabowo-Gibran di Jatim Melonjak Pesat

Hubungan Jokowi dan Xi Jinping dipertegas dalam perhelatan akbar Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60 di Jakarta-Bandung 19-24 April 2015 silam. Jokowi bersama Xi Jinping menyepakati kerjasama perdagangan sebesar US$ 150 miliar, termasuk di kawasan maritim Indonesia.

Kedigdayaan China di kawasan laut Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan membuat resah sejumlah pihak. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla tak tinggal diam serta memperingatkan agar jangan sampai perseteruan di kawasan sengketa itu berujung konflik yang tak berkesudahan.

“Kami memahami bahwa menyelesaikan sengketa wilayah tidaklah mudah. Oleh karena itu, akan menjadi lebih produktif jika negara yang berkonflik dapat melakukan usaha bersama untuk menyelesaikan persoalan itu demi keuntungan bagi kawasan,” kata Wapres saat menghadiri Boao Forum for Asia (BFA) di Hainan beberapa waktu lalu. Wapres menegaskan, konflik harus dirubah dengan dengan kerjasama kongkret.

“Kita harus mengubah potensi konflik menjadi peluang kerja sama konkret. Kita harus mampu membuang jauh perbedaan-perbedaan kita dan mengutamakan pada tujuan umum kita untuk mempertahankan peran Asia sebagai mesin pertumbuhan secara global,” ujarnya.

Baca Juga:  Juara Pileg 2024, PKB Bidik 60 Persen Menang Pilkada Serentak di Jawa Timur

Boao Forum for Asia adalah kegiatan swadaya atau non profit yang membahas mengenai kegiatan perekonomian, politik, inovasi dan budaya di Asia. Forum tersebut diselenggarakan di Kota Boao, Provinsi Hainan, selama empat hari dan mengutamakan pada upaya pembaruan persediaan bahan bakar di dunia serta pembangunan ekonomi di kawasan. Forum tersebut membahas 12 tema diskusi terkait teknologi canggih, kemajuan pabrik dan industri terkini di kawasan Asia. (Litbang NNC)

Penulis: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 56