Politik

Prof. Syaiful Bakhri: KPK Bisa Menjadi Obyek dan Subyek Hak Angket

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tepat pada Rabu (7/6) lalu, tujuh fraksi di DPR RI melakukan pemilihan pimpinan Panitia Khusus Hak Angket KPK. Hasilnya, politisi partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa terpilih sebagai ketua. Total ada 23 nama anggota DPR yang masuk dalam Pansus Hak Angket KPK.

PDIP mengirim Masinton Pasaribu, Eddy Kusuma Wijaya, Risa Mariska, Adian Yunus Yusak, Arteria Dahlan dan Junimart Ginting. Golkar mengirim Bambang Soesatyo, Adies Kadir, Mukhammad Misbakhun, John Kennedy Azis dan Agun Gunandjar. Asrul Sani dan Anas Thahir menyusul dari fraksi PPP.

Selanjutnya NasDem mengirim Taufiqulhadi dan Ahmad HI M. Ali. Fraksi Hanura, Dossy Iskandar. PAN kirim Mulfachri Harahap, Muslim Ayub, dan Daeng Muhammad. Sementara Gerindra kirm nama-nama Moreno Suprapto, Desmond Junaidi Mahesa, Muhammad Syafii, dan Supratman Andi Agtas. Dua partai lainnya yakni PKB, PKS dan Demokrat menyatakan diri menolak Hak Angket KPK.

Munculnya Pansus Hak Angket KPK ini segera membuat gaduh dan mengundang banyak kritik. Mereka yang tergabung dalam Pansus ini membantah keras keberadaannya adalah upaya untuk melemahkan KPK yang tengah menangani kasus dugaan korupsi berjamaah proyek pengadaan KTP elektornik (e-KTP). Tapi tuduhan itu terus dilancarkan sejumlah pihak dan sebagian masyarakat. Dan diketahui, Ketua DPR sendiri yakni Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus korupsi e-KTP dan sudah ditetapkan tersangkan oleh KPK.

Nyaris satu bulan Pansus Hak Angket KPK ini mengemuka, kini perlahan mulai surut dari pembicaraan. Bahkan kabarnya Gerindra berbalik arah, keluar dari Panasus Hak Angket KPK.

Baca Juga:  Jadi Pembicara Tunggal Prof Abdullah Sanny: Aceh Sudah Saatnya Harus Lebih Maju

Terlepas dari itu, perdebatan panjang terkait keberadaan Pansus Hak Angket KPK ini ialah menyangkut soal apakah tepat KPK sebagai lembaga negara independen dapat dijadikan obyek dan subyek dari angket itu sendiri. Hal inilah yang selanjutnya melahirkan polemik, apakah angket DPR terhadap KPK merupakan bentuk investigasi ataukah intervensi.

“Dengan mendasarkan pada konstruksi yang dibangun dalam Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014, apakah KPK dapat menjadi obyek dan subyek hak angket? Terhadap pertanyaan di atas, saya berpendapat KPK bisa menjadi obyek dan subyek hak angket,” kata Rektor Universitas Muhammdiyah Jakarta, Prof. Syaiful Bakhri, Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Menurutnya, Pendapat ini didasarkan pada alasan-alasan; pertama, KPK adalah lembaga negara independen yang dibentuk dengan Undang-Undang, dan karenanya merupakan pelaksana Undang-Undang. Sebagai bagian dari lembaga penegak hukum, maka KPK dituntun untuk tunduk dan taat kepada ketentuan hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, kewenangan yang diberikan oleh UU kepada KPK berpusat pada kegiatan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan. Ketiganya merupakan bagian dari hukum acara pidana yang memiliki dua segi, yakni Pembuktian dan Perlindungan HAM. Kewenangan ini rentan sekali dengan pelanggaran HAM, apabila tidak dilaksanakan secara taat asas dan perpedoman pada Undang-Undang. Maka, jika KPK melampaui atau melaksanakan kewenangan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan tidak berdasarkan Undang-Undang, itu artinya KPK telah menyimpangi pelaksanaan Undang-Undang, dan karenanya adalah sah untuk menjadi obyek angket DPR.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Telak di Jawa Timur, Gus Fawait: Partisipasi Milenial di Pemilu Melonjak

Kedua, KPK merupakan lembaga penunjang (the auxiliary), dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berlaku, telah terdapat beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksudkan sebagai instrumen hukum untuk pemberantasan korupsi. Begitu pula sejak sebelum KPK di bentuk, Kepolisian dan Kejaksaan telah memiliki kewenangan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Itulah sebabnya, kehadiran KPK sesunggunya merupakan lembaga penunjang (auxiliary), terhadap kewenangan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan tindak pidana korupsi yang ada pada Kejaksaan dan sebagian pada Kepolisian. Bukti bahwa KPK merupakan lembaga penunjang dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan: “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: (a) koordinasi dengan instansi yang berw enang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berw enang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.”

Sehingga menurut UU, KPK bukanlah organ utama (domain organ) dalam pemberantasan tindak pidana korupi, melainkan organ penunjang (auxiliary organ) terhadap fungsi yang telah lebih dahulu ada pada Kepolisian dan Kejaksaan. Walaupun dalam kedudukannya, KPK independen dan tidak berada dibawah Presiden, namun karena fungsi KPK bersifat penunjang terhadap fungsi Kepolisian dan Kejaksaan yang berada di bawah Presiden, maka KPK tergolong sebagai subyek angket.

Baca Juga:  Dukung Di Munas Golkar 2024, Satkar Ulama Jawa Timur Beber Dukungan Untuk Airlangga

Ketiga, hak angket merupakan hak konstitusional DPR yang ditentukan dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Itulah sebabnya, pelaksanaan hak angket sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR tersebut harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak. Khususnya lembaga hukum seperti KPK, yang pada hakikatnya juga melakukan penyelidikan, dan karena memiliki kewajiban baik moril maupun hukum, untuk menghadiri dan menghormati pelaksanaan hak tersebut. Walaupun dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, tidak secra eksplisit menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun bukan berarti KPK tidak dapat dijadian objek dan subyek hak angket. Juga tidak berarti semua lembaga negara yang melaksanakan UU dapat dijadikan objek dan subjek hak angket. Dasar hak angket haruslah pada konteks fungsi dari suatu lembaga negara, bukan sekedar apakah sebagai pelaksana UU atau tidak.

“Karena DPR juga melaksanakan UU, apakah mungkin DPR meng-angket dirinya sendir? Tentu tidak,” tegasnya.

Prof. Syaiful Bakhri menegaskan, KPK merupakan obyek dan subyek dari hak angket DPR. Seperti layaknya sebuah investigasi, angket bertujuan untuk mengkonfirmasi kebenaran yang hendak dicari kepada berbagai sumber, baik sumber primer maupaun sumber lainnya, sehingga wajib dihormati dan dipatuhi.

“Hak angket harus dipandang sebagai sebuah bentuk investigasi yang lumrah dalam negara hukum yang demokratis, bukan sebaliknya dipandang sebagai bentuk intervensi,” pungkasnya.

Pewarta: Ucok Al Ayubbi
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 54