OpiniRubrika

Produk Halal di Negara Minoritas Muslim

Produk Halal di Negara Minoritas Muslim. (Ilustrasi/Foto: NUSANTARANEWS.CO/Line Today)
Produk Halal di Negara Minoritas Muslim. (Ilustrasi/Foto: NUSANTARANEWS.CO/Line Today)

NUSANTARANEWS.CO – Agama dan ekonomi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah menjadi saksi di mana agama dan ekonomi berkembang beriringan.Perkembangan agama Islam salah satunya dipicu oleh faktor ekonomi. Bukti sejarah menyatakan, bahwa Islam masuk ke bumi nusantara salah satu faktor adalah perdagangan, melalui melabuhkan Selat Malaka, para imigran dari Persia mengembangkan bisnis maupun sebagai sarana untuk berdakwah. Tetapi ini bukan dalam konteks sejarah masuknya Islam di Indonesia, melainkan tentang bagaimana proses perkembangan muslim di negara minoritas muslim yang mencetuskan halal industri sebagai gaya hidup. Dan, muncul pertanyaan yang menggeliat dalam benak kita terkait dengan konsep halal industri yang dikumandangkan di negara minoritas muslim. Kemudian yang menjadi pokok sentral adalah agama Islam dan non Islam

Menarik sekali jika dihadapkan dengan konversi tentang agama. Sebuah hal yang sensitif namun menggelitik  untuk dikaji dalam forum diskusi atau di ruang belajar. Tren yang sering santer terdengar adalah transisi di mana sebuah kepercayaan menjadi titik vital dalam perjalanan kerohanian seseorang. Di mana seseorang mendaki sebuah lembah kebenaran melalui agama mampu menemukan ruh kebahagiaan yang hakiki dan sejati.

Baca Juga:

Hal menarik untuk diteliti, karena di tengah isu beberapa media asing yang menstigmatisasi Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan ternyata tidak menyurutkan minat orang-orang non muslim untuk memeluk agama Islam. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan studi kasus para mualaf yang memeluk agama Islam dalam kegiatan dakwah DR. Zakir Naik di Baruga Pettarani UNHAS Makassar pada 10 April 2017. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dalam analisis data ini selain mendeskripsikan juga melakukan analisis SWOT, yaitu analisis kelebihan, kekurangan, peluang dan hambatan terhadap masalah konversi agama khususnya dari non Islam ke Islam. Dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa faktor-faktor yang dominan menyebabkan non muslim memeluk Islam adalah proses berpikir ilmiah dan rasional serta perenungan mendalam dalam pencarian kebenaran akibat kebingungan dan kekecewaan terhadap agama sebelumnya.

Baca Juga:  Tidur Sepanjang Hari di Bulan Ramadhan, Bolehkah?

Jika mengacu pada jumlah penduduk muslim dunia diestimasikan mencapai 1.6 miliar pada tahun 2010 (Pew Research Center, 2011). Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar yang mencapai sekitar 207 juta orang dan mencerminkan 87,18% dari total penduduk di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Sensus Penduduk 2010. Angka ini menunjukkan besarnya konsumen potensial dalam produk halal khususnya di Indonesia. Pasar produk halal ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena menandai adanya peluang bisnis yang diiringi peningkatan permintaan terhadap produk halal (Walker dkk, 2007).

Industri Halal di Pasar Dunia

Sebagian besar penduduk negara di seluruh dunia, memilih produk dengan kualitas mutu yang sudah terjamin aman dalam standar kelayakan. Maka kemudian masyarakat dunia memilih produk yang berlebel halal sebagai pilihan. Tak lain tak bukan karena alasan dalam konsep halal, terdapat sistem hulu-hilir di mana dalam sistem itu terdapat berbagai penelitian dan proses sortasi yang ketat sehingga mampu menciptakan produk yang berkualitas. Di luar alasan ada dalil yang menyerukan untuk mengonsumsi perkara yang halal yang sudah termaktub dalam  ayat berikut ini;

Baca Juga:  Naik Pangkat Jenderal Kehormatan, Prabowo Disebut Punya Dedikasi Tinggi Untuk Ketahanan NKRI

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thayyib) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al Baqarah: 168)

Terkait dengan konsep halal tersebut, agama merupakan elemen utama dalam kultur kehidupan yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan keputusan untuk membeli (Delener, 1994; Pettinger dkk, 2004; Schiffman dan Kanuk, 2008; Shafie dan Othman, 2006). Meskipun terdapat tuntutan agama dan hukum yang sangat ketat dalam hal makanan, namun sejauh mana orang akan mengikuti hukum tersebut tentu saja akan sangat bervariasi (Bonne dkk, 2006). Menurut Schiffman dan Kanuk (2008), definisi perilaku konsumen yakni suatu perilaku yang ditujukan untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk. Engel, Blackwell dan Miniard (1993).

Sebenarnya ada yang melatar belakangi bagaimana konsumen non muslim memilih dengan keyakinan tinggi akan produk industri halal, sehingga menjadi tren santer di kalangan non muslim. Ada tiga faktor yaitu pengetahuan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Tiga hal tersebut yang paling signifikan untuk merubah sudut padang seseorang adalah pengetahuan. Di mana seseorang mampu menggali sebuah pertanyaan, kemudian menjawabnya dengan keyakinan penuh.

Berkembangnya Produk Halal

Ekonomi Islam adalah bagian penting dari ekonomi global saat ini. Ada tujuh sektor ekonomi Islam yang telah meningkat secara signifikan, yaitu kuliner, keuangan Islam, industri asuransi, fashion, kosmetik, hiburan, dan pariwisata. Di mana keseluruhan sektor itu mengusung konsep halal dalam setiap produknya. (Andriani et. al, 2015). Definisi industri halal mencakup berbagai kebutuhan sekunder, primer maupun tersier.

Baca Juga:  Kepala DKPP Sumenep Ajak Anak Muda Bertani: Pertanian Bukan Hanya Tradisi, Tapi Peluang Bisnis Modern

Salah satu dari faktor keberhasilan yang menjadi contoh adalah produk kecantikan (cosmetic). Negara pertama kali yang mencetuskan kosmetik halal adalah Inggris, karena dorongan pasar sehubungan dengan populasi muslim yang terus meningkat. Permintaan inilah yang memicu perusahaan kosmetik di Inggris terdorong untuk menggagas kosmetik halal. Selain itu, muslim milenial ingin menjalani gaya hidup modern tanpa mengorbankan keyakinan mereka.

Pada saat ini perusahaan-perusahaan kosmetik banyak bersertifikasi halal. Kesadaran sebagian masyarakat memandang lebel halal tidak cuma pada makanan, melainkan sebagai sesuatu keharusan yang bersifat kebutuhan primer. Indikator yang menjadi bukti otentik pada produk halal adalah unsur-unsur atau bahan-bahan yang bebas dari najis. Demikian pula pada proses pasca produksi. Jika bahan-bahannya berasal dari hewan, maka pertanyaannya adalah apakah hewan itu najis? Kalaupun hewan itu terbukti tidak najis, maka bagaimana proses penyembelihannya? Apakah menggunakan hukum syariat Islam? Adapun kosmetik yang sudah terbukti seleksi bebas dari unsur najis dan sesuai dengan syariat Islam belum tentu bisa menjadi pilihan, sebab beberapa kosmetik tidak bisa menembus air, otomatis wudhu tidak sah. Maka dari itu, perlu adanya terobosan baru yang berkenaan dengan kehalalan produk bagi perusahaan-perusahaan kosmetik. Produk yang benar-benar tak cuma berkonsentrasi pada produksi dan pasar namun juga berkonsentrasi pada kehalalan produk.

 

Penulis: Annas Sholahuddin, lahir di Bojonegoro. Sekarang aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY). Belajar di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta, Prodi Teknologi Hasil Pertanian.

Related Posts

1 of 3,141