ArtikelBerita UtamaHukumKolomPolitik

Pro Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan HTN, Sebuah Catatan Hukum

NUSANTARANEWS.CO – Pada hari Jumat yang lalu, tanggal 21 Juli 2017 penulis berkesempatan menghadiri acara diskusi publik yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hadir sebagai nara sumber Dr. Fitra Arsil, SH., M.H (Ketua Bidang Studi HTN FHUI), Dr. Ifdhal Kasim, SH, LLM (Staf Ahli Deputy V Kantor Staf Presiden) dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc (Pakar Hukum).

Namun Prof Yusril berhalangan hadir, acara dilanjutkan dengan menghadirkan Nara Sumber yang lain, Indra SH, advokat, mantan Anggota DPR-RI yang menjadi Pansus RUU Ormas ketika itu.

Sesi diskusi diawali pemaparan dari pembicara. Bung Ifdhal Kasim, Mantan komisioner Komnas HAM dua periode, berbicara mewakili  Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden mengawali pembicaraan.

Bahan yang disampaikan kurang lebih memproduksi ulang apa yang selama ini telah disampaikan Wiranto. Bung Ifdhal menekankan adanya Keadaan Kegentingan yang memaksa, yaitu adanya Ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Perlu ada tindakan Negara yang secara kongkrit melindungi NKRI dari rongrongan Ormas dimaksud, namun UU Ormas yang ada tidaklah memadai.

UU No. 17/2013 memang memiliki Prosedur hukum yang rinci, namun justru prosedur ini yang dipandang Pemerintah sebagai “Tidak Memadai”. Sebab itulah, terjadi kekosongan hukum disebabkan UU yang ada yakni UU ormas dipandang tidak memadai untuk menindak Ormas dimaksud.

Terlebih, jika Presiden menempuh jalur normal mengajukan rancangan UU perubahan ke DPR, dapat dipastikan tindakan ini tidak efektif dan akan memakan waktu yang lama.

Bung Ifdhal juga mengutip teori “Contrarius Actus” sebagai dasar legitimasi Perppu yang memindahkan otoritas pembubaran Ormas dari Palu pengadilan kepada pejabat yang mengeluarkan Legalitas.

Pembicara kedua, Bung Fitra Arsil nampak tidak terlalu terbuka mengkritik Perppu. Mungkin begitulah pembawaan akademisi yang terkesan ingin bersikap netral. Bung Fitra lebih mengelaborasi kedudukan Perppu sesuai aturan ketatanegaraan dan membandingkannya dengan Perppu di berbagai konstitusi negara dunia.

Menariknya, Negara-negara di Amerika Latin yang notabene banyak berhaluan kiri (sosialis-marxis) disebut paling rajin menerbitkan Perppu. Bahkan, masih menurut Bung Fitra, jika Perppu ditolak, Perppu bisa diajukan ke parlemen berkali-kali hanya dengan merubah nomor padahal isinya sama.

Ada hal yang menarik dan paling urgen digarisbawahi dari apa yang disampaikan Bung Fitra. Menurutnya, Perppu secara ketatanegaraan memang dimungkinkan dan menjadi hak subjektif Presiden. Tetapi Presiden harus secara ketat dalam menertibkannya. Secara materil, diantaranya Perppu tidak boleh mengatur masalah Pemilu dan konten pidana.

Adapun Bung Indra, selaku praktisi yang terlibat merancang UU No. 17/2013 menyatakan landas filosofis pembentukan UU Ormas adalah negara menjadi pelindung dan pembina Ormas. Banyak area yang negara absen dalam melayani rakyat, Ormas justru hadir dan konsen memberikan pelayanan. Misalnya bidang-bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Konsep memberikan sanksi Ormas adalah dalam kerangka pembinaan. Munculnya prosedur penanganan Ormas sejak mediasi, peringatan tertulis, pembekuan sementara, penghentian dana bantuan sampai dengan proses pengadilan, adalah dalam rangka menjaga agar Negara tidak bertindak sewenang-wenang.

Perppu: Cacat Prosedur dan Subtansi

Ada cacat formal prosedural dan material substansial yang terkandung dalam Perppu No. 2/2017. Karenanya, Penulis akan mengawali kritik terhadap pernyataan mengulang Bung Ifdhal Kasim tentang tafsir Kegentingan memaksa versi Pemerintah.

Pertama, meskipun Bung Ifdhal alumni Komnas HAM namun dalam persoalan ini Bung Ifdhal menyelisihi pendapat resmi Komnas HAM. Bung Manajer Nasution, misalnya mencatat setidaknya ada “lima cacat” Perppu. Diantara yang paling menohok adalah pernyataan Bung Maneger yang menyebut “Perppu cacat lahir dan sesat fikir”.

Masih menurut Komnas HAM, Bung Natalius Pigai menyebut Perppu melanggar HAM. Perppu tidak dibuat dalam kondisi genting. Kegentingan memaksa harus diawali dengan pidato kepala negara yang memberi statemen “State Of Emergency“.

Jika konsisten dengan ketentuan pasal 22 ayat 1 konstitusi, apalagi jika mematuhi petunjuk Mahkamah konstitusi melalui putusan No. 138/PUU-VII/2009, Perppu ini tidak memenuhi syarat. Pertama, tidak ada kondisi Kegentingan yang memaksa sebagaimana disebut Komnas HAM harus diawali dengan pidato State of Emergency. Sama persis, ketika Perppu Anti Terorisme diteken SBY. Saat itu, SBY mendahului dengan sebuah pidato yang menjelaskan ihwal adanya Kegentingan yang memaksa.

Sementara saat Perppu ini dikeluarkan, Jubir HTI Ismail Yusanto menyebut Jokowi masih asyik jalan-jalan, masih sempat vloging dan Selfi-Selfi (saat ini mantan jubir, karena HTI korban pertama Perppu yang secara sepihak telah dibubarkan pemerintah).

Kedua, tidak ada kekosongan hukum. UU No. 17/2013 telah secara rinci memberikan pengaturan bagaimana prosedur dan tata cara pembubaran Ormas. Prosedur pembubaran diatur secara ketat sejak proses mediasi, peringatan tertulis, pembekuan sementara, penghentian dana bantuan sampai dengan proses pengadilan, diatur dalam pasal 63 s/d pasal 80 UU. No. 17/2013.

Jika prosedur pembubaran yang ketat disebut oleh pembentuk undang-undang untuk menjaga agar penguasa tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), namun Perppu justru menghilangkan prosedur itu melalui penghapusan ketentuan pasal 63 S/d 80, bukankah ini bisa diartikan penguasa sedang mempraktikan abuse of power?

Perppu jika benar esensinya mengisi kekosongan hukum namun pada faktanya memangkas ketersediaan hukum. Perppu setidaknya telah memangkas pasal krusial pada klausul pasal 63 sampai dengan 80 UU No. 17/2013. Lantas, dimana letak kekosongan hukumnya? Di mana letak kegentingannya? Sepertinya penulis terpaksa harus sependapat dengan pernyataan Rocky Gerung yang menyatakan “Perppu lahir karena kepanikan dan kedunguan. Lahir bukan karena Kegentingan yang memaksa, tetapi memaksakan Kegentingan”.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Celakanya, dalih yang gatuk matuk, seolah ilmiah dan akademis dipaksakan menjadi justifikasi penyimpangan lembaga peradilan dalam proses pembubaran ormas. Asas Contrarius Actus dijadikan tameng untuk melegitimasi Perppu.

Pertanyaannya, benarkah asas ini jika diterapkan pada konteks pencabutan status badan hukum perkumpulan Ormas? Bagaimana dengan badan hukum yayasan? Bagaimana dengan badan hukum Perseroan Terbatas?

Apa mungkin nanti salah satu ormas berbentuk badan hukum yayasan juga bisa diputuskan dicabut status badan hukumnya secara sepihak oleh kemenkumham sementara UU yayasan mengatur pencabutan status hukum harus berdasarkan putusan pengadilan.

Prof Yusril dalam acara ILC pernah menyebut satu analogi yang lucu sekaligus menggelitik. Apa bisa dengan dalih asas Contrarius Actus, KUA bisa mencabut status pencatatan nikah tanpa proses pengadilan? Bisa banyak zina nanti? Perseroan Terbatas sedang maju-majunya, tiba-tiba dicabut status badan hukumnya secara sepihak oleh kemenkumham, apa bisa demikian?

Menurut Bung Fitra Arsil, Perppu tidak boleh mengatur norma pidana dan Pemilu, khusus norma pidana harus diatur melalui proses pengundangan normal lewat parlemen. Faktanya, Perppu dalam ketentuan pasal 82A telah mengatur pidana bagi anggota dan/pengurus Ormas yang melanggar bisa kena delik pidana penjara maksimal seumur hidup, atau minimal 5 tahun sampai 20 tahun. Perppu macam apa ini?

Jika Perppu tidak boleh mengatur masalah pemilu sebagaimana disebut Bung Fitra, nyatanya Perppu ini bisa disalahgunakan untuk mengkondisikan suara dan dukungan pada momen pemilu dan Pilpres.

Perppu bisa digunakan untuk meneror Ormas-Ormas yang kontra penguasa, Ormas-Ormas oposisi, sebab jika tidak memberikan dukungan pada penguasa (baca: Jokowi), Ormas bisa saja dibubarkan secara sepihak tanpa melalui proses pengadilan berdasarkan ketentuan Perppu.

KEDUA, secara materil (isi) ketentuan penghapusan klausul pasal 63-80 dan disisipkannya pasal 80A dalam Perppu, meniadakan asas due proces of law dan asas equal before The law. Tidak adanya lembaga pengadilan untuk menengahi sengketa antara Ormas dengan Pemerintah, menjadikan hak Ormas untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin konstitusi akan tercederai.

Ormas tidak berdaya, tidak bisa membela diri atas adanya tuduhan, penyelidikan, dan vonis sepihak dari Pemerintah yang membubarkannya. Kemudian ada yang berdalih, kan bisa di PTUN kan? Ini logika sesat yang dolalah! Bagaimana mungkin ada orang punya logika, tabrak saja duluan, kan nanti bisa dibawa ke rumah sakit?

Perppu juga menghilangkan ketentuan pengadilan melalui penyisipan pasal 80A. Pada kondisi ini, tentu anggota atau pengurus ormas tidak mendapatkan hak konstitusional berupa jaminan atas pengakuan, keamanan dan rasa aman, perlindungan, akses atas kepastian hukum yang berkeadilan dan persamaan kedudukan di muka hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Pemerintah menjadi superior, Pemerintah tidak equal dengan Ormas. Ormas menjadi inferior dan tidak memiliki posisi hukum yang sejajar. Sewaktu-waktu, Pemerintah bisa secara sepihak melakukan pembubaran.

Baca Juga:  Pemerintah Desa Pragaan Daya Salurkan BLT DD Tahap Pertama untuk Tanggulangi Kemiskinan

Apalagi, pasal teror pada klausul 82A telah menjadi pasal zombie yang menakut-nakuti publik untuk menjalankan hak konstitusional berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Bagaimana mungkin, Perppu ormas ikut mengkriminalisasi pengurus atau anggota Ormas? Katakan, suatu Ormas memiliki anggota 10 juta jiwa, apa iya 10 juta jiwa akan di proses pidana berdasarkan pasal zombie 82A yang ancamannya pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun.

Dalam hal ini, Penulis teringat penuturan Bung Indra dalam diskusi yang mempertanyakan kualitas Legal Drafter dari Pemerintah. Sebab, baik dari sisi prosedur sampai substansi, Perppu ini banyak masalah. Bung Indra kurang yakin produk ini hasil dari kajian tim Legal Drafter Pemerintah, yang menurutnya kualitasnya jauh dengan produk Perppu ini.

Ikhtiar Menjaga Konstitusi

Mengoreksi kekeliruan Perppu ini bisa dilakukan melalui jalur hukum dan politik. Secara politik, DPR bisa mengontrol Perppu melalui masa sidang selanjutnya. Adapun secara hukum Perppu merupakan objek hukum yang dapat diajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi.

Karena itulah kami para Advokat, Komunitas Sarjana Muslim Indonesia (KSHUMI) dan Law Sharia Institute yang berhimpun dalam KOALISI ADVOKAT PENJAGA KONSTITUSI hendak mengajukan Yudicial Review atas terbitnya Perppu No. 2/2017 tentang perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas.

Ikhtiar ini dilakukan dalam rangka mengembalikan tata kelola negara agar sesuai dengan amanat konstitusi, agar tidak ada penyalahgunaan wewenang berdalih hukum. Ikhtiar ini juga dalam rangka menjaga negara agar tetap dalam rel Negara Hukum (Rechstaat) dan tidak terjerumus dalam praktik Negara Kekuasaan (matchstaat).

Tentu ada sebagian yang menganggap diskusi publik ini tidak berguna, jika tidak setuju ajukan saja Judicial Review ke MK. Penulis kira, persoalannya tidak sesederhana itu. Diskursus ini juga penting dan harus membumi, merakyat, agar semua elemen anak bangsa yang juga memiliki saham politik di negeri ini memiliki andil yang sama untuk menjaga konstitusi dan cita-cita bangsa.

Kita tidak ingin membiarkan negara berjalan keluar dari rel konstitusi. Kita tidak ingin praktik kediktatoran melalui sarana Perppu menjadi sarana klasik untuk membungkam kritik dan Anti demokrasi.

Itulah sebabnya, penulis berbangga dan salut dengan berbagai pernyataan penolakan Perppu oleh berbagai elemen masyarakat. Kontras, Komnas HAM, YLBHI, ulama, profesional, tokoh politik, akademisi hukum, semua telah menyuarakannya.

Agar suara itu menjadi lebih kongkrit, hemat penulis secara simultan berbagai elemen masyarakat sipil (civil society) sebaiknya juga turut mengajukan judicial review ke MK, baik secara bersamaan atau secara mandiri.

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H., Advokat, Koordinator Koalisi Advokat Penjaga Konstitusi

 

Related Posts

1 of 37