Politik

Presidential Threshold Dinilai Mengancam Pelaksanaan Pemilu 2019

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sekalipun mendapat tentangan dan kritikan tajam dari para pakar hukum tanah air, karena dianggap melanggar konstitusi, Pemerintah sampai saat ini tetap bersikukuh dengan usulan presidential threshold sebesar 20 persen.

Hal ini tampak terlihat dari sikap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo yang mengaku tak sabar agar keputusan DPR terkait rapat paripurna RUU Pemilu (20/7) sesegera mungkin diketok.

“UU ini harus segera diselesaikan karena ini mengatur, gawenya Parpol,” ungkap Tjahjo Kumolo kepada wartawan.

Menyikapi hal itu, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie (20/7) menilai sikap ‘ngotot’ pemerintah untuk mengesahkan sistem presedintial threshold sebesar 20 besar dianggap tidak relevan dan mengada-ada.

“Kalau mau tunduk pada putusan MK tentang pemilu serentak, antara Pilpres dan Pemilu Legislatif, maka otomatis presidential treshold itu tidak ada. Jadi sudah tidak relevan berdebat angka 20 persen ataukah 10 persen presedintial threshold,” ujar Gugun El Guyanie kepada Nusantaranews.

Sekretaris LPBH PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga menjelaskan bahwa pemilu serentak 2019 melalui putusan MK itu juga bermakna bahwa koalisi politik dibangun oleh Parpol secara ideologis jauh sebelum pemilu, bukan pragmatis. “Sehingga Parpol atau gabungan Parpol boleh mengusung capres tanpa ada batas presidential treshold, sebelum pemilu,” sambungnya.

Baca Juga:  Sejahterakan Petani, Cawagub Lukman Janjikan Subsidi Pupuk dan Penguatan Bumdes

Dirinya menegaskan sikap pemerintah yang memaksakan kebijakan presidential threshold 20 persen sesungguhnya rawan mengganggu persiapan pemilu dan membuat pelaksanaan pemilu akan semakin terancam.

“Jika fraksi pendukung pemerintah ngotot mengusung 20 persen presidential treshold, maka persiapan pemilu akan berpotensi terganggu. Terutama jika pasal ambang batas presidential treshold dijudicial review ke MK, maka pelaksanaan pemilu semakin terancam,” terangnya.

Bila mengacu pada Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Pemilu 2019 telah resmi disepakati secara serentak. Dimana Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD akan dilaksanakan di waktu yang bersamaan.

Jika demikian, ketentuan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NKRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta Pemilu yang bisa mengajukan pasangan calon presiden.

Itu berarti presidential treshold 20% adalah bentuk pembangkangan terhadap amanat Mahkamah Konstitusi. Sebab Pemilu 2019 yang serentak dilaksanakan untuk Pilpres dan Pileg tidak bisa menjadikan hasil Pileg sebelumnya sebagai syarat presidential threshold. Apalagi menjadikan Pileg tahun 2014 sebagai syarat. Maka menurut Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis, ini jelas tidak masuk akal dan merupakan cara berpikir yang inkonstitusional.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Sementara itu, peneliti LIPI Syamsuddin Haris (20/7) mengatakan bahwa presidential threshold 20 persen sudah tidak lagi relevan. Baginya, presidential threshold hanyalah upaya pemerintah untuk mendikte Pilpres 2019 dengan perolehan suara atau kursi di parlemen 2014 silam. Kalau ini digunakan sebagai syarat Pilpres 2019, itu sebuah penyimpangan.

“Bagi saya ambang batas pencalonan presiden adalah sesuatu yang sifatnya anomali menyimpang dalam sistem presidensial. Bukan hanya berlaku ketika pileg dan pilpres serentak, tapi juga berlaku jika tidak diserentakkan,” kata Syamsuddin.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 42