NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) STHI Jakarta, Raden Yudi Anton Rikmadani meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak diam soal rencana DPR akan melakukan revisi Undang-Undang Nomor Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, revisi UU KPK kali ini berpotensi mempreteli kekuatan lembaga anti rasuah dalam memberantas korupsi.
“RUU KPK ini telah mengkebiri penegakkan hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Itu bisa dilihat dari isi draf pasal-pasal yang direvisi soal penyadapan, izin dewan pengawas, termasuk kedudukan dewan pengawas itu juga perlu dipertanyakan,” kata Yudi dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/9/2019).
Ia menilai, jika RUU ini disahkan DPR sebelum masa tugasnya berakhir, maka KPK ke depan seolah bekerja hanya menjalankan tugas administratif. Dan, secara berlahan membuat KPK hanya menjadi lembaga penegak hukum yang biasa-biasa saja.
Baca Juga: Yasonna Diminta Pelajari Draf Revisi UU KPK oleh Jokowi
Akibatnya, tegas Yudi, KPK bakal sangat sulit menembus dinding korupsi yang melibatkan orang-orang besar di Indonesia.
“Jika RUU ini ‘dipaksa’ disahkan, maka KPK hanya menjalankan adimintratif penegakkan hukum. Hal ini tidak sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi yang dikatakan ekstra ordinary crime, dan telah menghilangkan semangat lahirnya KPK,” tuturnya.
Oleh karena itu, tegas Yudi, LKBH STHI Jakarta meminta agar Presiden Jokowi bersikap dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR. Tujuannya, agar proses pembahasan revisi tidak dapat dilaksanakan.
Yudi juga mengimbau, Presiden hendaknya mendengarkan aspirasi publik yang menolak revisi tersebut karena melemahkan KPK. Presiden, tegas Yudi, harus komit terhadap upaya memperkuat KPK.
“Presiden harus mendegarkan masukan-masukan dari pihak-pihak yang konsern terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Pewarta: Romadhon