HukumOpiniPolitik

Presiden Jokowi dan Proses Pembusukan Demokrasi

Demokrasi bukan semata proses dan prosedur, tidak saja tentang kuantifikasi kekuasaan mayoritas. Pemilu yang menjadi “pasar bebas” para pelaku politik hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap HAM dan kebhinekaan, kebebasan warga dari berbagai bentuk de-privasi dan kebebasan atas hak-hak sosial-politik dan ekonomi merupakan bahan baku demokrasi. Bahan baku lainnya adalah kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

Pendek kata, demokrasi adalah proses, sekaligus tujuan karena fundamennya adalah kebebasan multidimensi. Dalam sistem politik demokratis, kebebasan dipagari konstitusi dan peraturan perundang undangan sebagai turunannya.

Dari sudut pandang demokrasi substantif, pemerintahan Presiden Jokowi tampak tertatih-tatih membangun dan merawat kebebasan warga. Bebas dari kemiskinan dan ketimpangan. Jumlah penduduk miskin masih tinggi, hampir 28 juta jiwa pada Maret 2017. Bila digabung dengan jumlah penduduk rentan miskin, mencapai 100 juta. Lebih besar daripada gabungan jumlah penduduk beberapa negara tetangga. Kondisi penduduk miskin semakin dalam dan parah, ditandai semakin jauhnya jarak pengeluaran mereka dari garis kemiskinan. Jarak pengeluaran di antara kelompok miskin juga semakin lebar.

Ketimpangan pendapatan antara kelompok miskin dan mampu tetap dalam tanda bahaya. Rasio gini sebagai alat ukur ketimpangan cenderung stagnan selama beberapa tahun terakhir. Masih bertengger di angka 0,393 pada Maret 2017, berkurang hanya 0,001 dari angka September 2016. Dalam penguasaan kekayaan ekonomi negara, Indonesia berada di peringkat 4 negara paling timpang sedunia setelah Rusia, India dan Thailand. Satu persen penduduk terkaya menguasai hampir 50 persen kekayaan negara ini (Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016). Menurut Laporan Oxfam & INFID 2017, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk termiskin.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Sejak awal berkuasa, Presiden Jokowi menunjukkan gejala kurang bersahabat dengan demokrasi. Tak lama berselang setelah pelantikannya, Presiden Jokowi menaikkan harga BBM pada bulan November 2014. Kompensasi yang diberikan kepada rakyat kurang mampu, tidak sebanding dengan dampak yang diterima akibat kenaikan harga BBM. Tak ayal, kondisi kehidupan wong cilik – penyumbang utama keterpilihan Presiden Jokowi – semakin tergerus.

Dalam ranah pemberantasan korupsi, pada tahun 2015, Presiden Jokowi membiarkan terjadinya pelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui skenario kriminalisasi Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto. Bukan saja rasa keadilan kita tercabik-cabik, tetapi masa depan demokrasi terancam dengan sangat serius. Korupsi masif dan sistemik terbukti menggerogoti demokrasi kita dalam seluruh dimensinya.

Semakin lama, gejala otoritarianisme semakin mengeras. Pemerintahan Presiden Jokowi rajin mengkriminalisasi para pihak yang kritis dan bersebarangan dengan pemerintah. Untuk membungkam kelompok yang tidak sejalan, segala cara digunakan mulai dari rekayasa delik ujaran kebencian hingga pasal pornografi. Berbagai stempel negatif seperti penyebar fitnah dan hoax, anti-kebhinekaan & Pancasila disematkan kepada para pihak yang memiliki pandangan berbeda dari penguasa.

Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) seperti dikutip Harian Kompas 1(8/9), pada tahun 2016 10 aktivis dipidana menggunakan UU ITE. Sementara, hingga September 2017, 6 orang dipidana, tidak termasuk yang sedang diusut. Penjeratan dengan UU Pornografi, Habib Rizieq Shihab (HRS), tokoh sentral gerakan Islam anti Ahok dan Presiden Jokowi, menjadi korban. HRS harus hijrah sementara ke Arab Saudi guna menghindari jeratan hukum hasil rekayasa penguasa. Belakangan, Ustadz Abdul Somad (UAS), sang da’i muda fenomenal asal Riau menjadi incaran persekusi dan pelarangan karena tidak bersahabat dengan penguasa.

Baca Juga:  Jadi Pembicara Tunggal Prof Abdullah Sanny: Aceh Sudah Saatnya Harus Lebih Maju

Tafsir Pancasila, nasionalisme dan NKRI dimonopoli penguasa ala Orde Baru. Atas nama Pancasila dan NKRI harga mati, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 diterbitkan untuk membubarkan ormas yang tak bersahabat dengan penguasa. Tak sejalan dengan selera ideologi kelompok pendukung juga menjadi alasan di balik pembubaran ormas. Tanpa melalui proses pengadilan, korban pertama Perppu Ormas ini adalah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) karena mengambil jalan politik Islam. Dan yang paling utama karena HTI bersikap kritis terhadap pemerintah.

Dalam ungkapan Vedi Hadis, Deputi Direktur Asia Institute di Universitas Melbourne, gejala ini sebentuk kompetisi antara konservatisme Islam dan hiper-nasionalisme, yang ditandai dengan kembalinya diskursus gaya Orde Baru melalui Pancasila dan negara terintegrasi (Tempo 16/9). Keduanya merupakan kemunduran dalam politik kenegaraaan dan kebangsaan Indonesia.

Yang pasti, tindakan pembubaran ormas nir-kekerasan yang keberadaan dan hak-haknya dijamin konstitusi adalah kecelakaan dan cacat demokrasi.

Rumus demokrasi adalah gagasan dilawan gagasan, propaganda dihadapi dengan propaganda. Bukan dengan pelarangan selama tidak ada pemaksaan kehendak atau tindakan kekerasan.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Masih panjang daftar perilaku anti demokrasi dari rezim yang berkuasa. Hal ini diperparah dengan terkooptasinya para cerdik-cendikia, pemihakan media mainstream kepada pemodal dan penguasa, melempemnya kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa.

Yang sedang menggejala adalah oligarki berbaju demokrasi. Penguasaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang bersembunyi di balik kepentingan rakyat banyak.

Tak heran, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2016, seperti yang dirilis BPS beberapa waktu lalu, merosot tajam menjadi 70,09, turun sebesar 2,73 poin dari angka 72,82 setahun lalu. Sesungguhnya, tren penurunan IDI telah terjadi sejak 2015, satu tahun paska pemerintahan Presiden Jokowi berkuasa. Namun kurang mendapat perhatian publik.

IDI dibangun atas tiga aspek utama yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi, yang diturunkan dalam 11 variabel. Pada tahun 2016, berdasarkan temuan BPS, aspek IDI yang mengalami penurunan paling besar adalah Lembaga Demokrasi (4,82 poin), diikuti Kebebasan Sipil (3,85 poin) dan Hak-Hak Politik (0,52 poin).

Akhirul kalam, selama tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi proses pembusukan demokrasi secara cepat dan dari segala penjuru. Yang sedang dijalankan adalah oligarki berselimut demokrasi dalam kubangan fanatisme buta warga. Bagi pendukung fanatik buta, “no matter what, the king can do no wrong!” Penguasa tidak bisa dan tidak boleh salah.

Oleh: Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus The Institute for Democracy Education (IDe)

Related Posts

1 of 13