Esai

Pram, Laku Keabadian dan Ekspresi Kemanusiaan

pram, laku keabadian, ekspresi kemanusiaan, pramoedya ananta toer, kumpulan esai, esai indonesia, nusantaranews
Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Dok Pribadi)

Pram, Laku Keabadian dan Ekspresi Kemanusiaan

Pramoedya Ananta Toer menyebutnya dengan kerja keabadian. Ihwal laku kerja keabadian menjadi ibadah wajib bagi Pram yang ditekuni di ruang-ruang pengap sekalipun, seamsal penjara. Dalam jiwa Pram seolah mengimani kerja keabadian.

Suatu hari ia pernah mengeluarkan diktum “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Dari pengasingan ke pengasingan Pram ingin menjadikan laku keabadian sebagai etos penyambung ekspresi kegelisahan dan kegetiran nurani rakyat pada saat itu. Pram bukan ingin berlagak pongah seolah memantaskan diri sebagai pembawa risalah kebenaran. Ia bukan nabi. Bukan pula rahib Yahudi.

Yang ia semai hanyalah manifestasi peduli terhadap bentuk ketidak adilan sosial. Berusaha mengamati realitas sosial sekitar, lalu menjamah diksi sastrawi yang tepat dan menuliskannya, hingga mengabadi. Baginya, laku menulis bukan hanya sekedar gairah ekspresi untuk mencari ekspektasi pujian terhadap publik.

Pram tanpa berpamrih terhadap pujian semacam itu. Ia telah meninggalkan narasi-narasi manusia modern yang melulu berpamrih ingin dipuji. Baginya persoalan menulis bukanlah instrumen pengukur sejauh mana popularitas seseorang dicapai. Tetapi ia lebih pada suatu titik jihad. Semacam membangkitkan gelora altruisme.

Karya-karyanya dibaca sebagai pemantik api perjuangan dan suluh mengimajinasikan bangsa. Menjadi rujukan mengasah mental dan sumber inspirasi pergerakan. Kontekstualisasi karya-karyanya relevan hingga kini.

Bulan ini kita akan menikmati suguhan maha karya Pram Bumi Manusia yang akan difilmkan oleh sang maestro sutradara fenomenal dalam jagat industri perfilman tanah air, Hanung Bramantyo.

Abadi dengan Nilai-nilai Kemanusiaan

Sebuah karya sastra yang baik lalu beralih menjadi tontonan hingga menjadi sebuah isyarat bernama tuntunan. Secara ekplisit apa yang dituangkan Pram dalam Bumi Manusia sebenarnya berkelindan dengan ketakjuban pribumi ihwal alam pikir eropa. Disitulah kita akan melihat dimana awal pembentukan narasi intelektual baru saja menemukan babakan baru.

Pram ingin mencipta sisi terdalam pergolakan batin manusia. Disetiap karyanya ia hendak mengukuhkan spirit kemanusiaan yang selama ini terbengkalai dalam narasi kehidupan manusia modern. Ketertindasan, nestapa, dan getirnya hidup mewarnai seabrek karya Pram. Pram lalu berdalih “ jika kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal biarpun dia sarjana”.

Pram lalu tak hanya sekadar menekuni laku keabadian sebagai ekspresi rasa cinta dan etos penggerak popularitas diri. Lebih sublim lagi ia mampu menaruh hormat atas nilai-nilai adiluhung kemanusiaan. Bagi sebagian orang Pram merupakan sastrawan yang paham betul konteks format sosial yang dibutuhkaan publik.

Di tengah kompleksitas riuh persoalan politik misalnya, dua novel terakhir Pram Arok Dedes dan Arus Balik yang tak luput dari pengamatannya mengikut sertakan kontekstualisasi nilai-nilai kemanusiaan menarik untuk dikaji hingga saat ini. Justru di tengah kompleksitas persoalan politik kontemporer macam saat inilah yang menjadi isu krusial ialah perihal kemanusiaan. Sebab Pram sendiri pernah berujar “ada yang lebih penting dari politik yaitu kemanusiaan”.

Pram yang sempat digadang- gadang akan meraih penghargaan Nobel Sastra itu benar-benar masyhur mengabadi bersama kemanusiaan. Menekuni laku keabadian bagi Pram berarti mendedikasikan separuh hidupnya pada relung terdalam kemanusiaan.

Seorang pelaku keabadian (penulis) ia tidak hanya bisa memotret ornamen yang bertumpu pada kedangkalan maknawi dalam setiap karyanya. Lebih jauh lagi ia harus benar-benar memahami seluk beluk pergulatan batin yang dialami oleh umat manusia modern. Dimana relasi horizontal manusia dengan lingkungannya baik berupa sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan semisal nestapa, kesepian, dan getirnya hidup harus benar-benar menjadi atensi para pelaku keabadian.

Seiring dengan merebaknya ragam media cetak dan online dalam skala besar, kita lalu berjumpa orang-orang disekitar kita yang tiap akhir pekan eksis dengan update tulisan terbaru mereka di media sosial. Dari berbagai genre pun asal telah berhasil dikibarkan di media cetak dan online tak luput juga dikibarkan di akun pribadi mereka. Seolah tulisan tersebut telah menjadi suluh yang menerangi kegelapan manusia modern, lalu mereka memantaskan diri sebagai pengedar kebenaran sambil berdalih “Akulah seorang intelektual”.

Padahal karya-karya yang berseliweran masih terlampau jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sama sekali nir-nilai kemanusiaan. Yang ada hanyalah bias-bias romantisme. Para pelaku keabadian tidak hanya dituntut untuk mengekspresikan tentang rembulan, rindu, hujan, mentari dan semacamnya. Tetapi ia harus betul-betul memahami konteks format sosial secara holistik, layaknya para pelaku keabadian semasa rezim Orde Baru.

Rezim Orde Baru menjadi saksi maha hebat pelaku keabadian turun dari menara gading membaur bersama rakyat. Mereka menyuarakan hak-hak kemanusiaan yang saat itu dimajalkan oleh spirit konsep otoritarian penguasa. Membaurnya sastrawan kian menemukan titik ajal. Karya-karya mereka yang memosisikan hak-hak adiluhung kemanusiaan dibredel dan sesekali dilarang terbit karena dianggap melawan kekuasaan sang rezim.

Pram sendiri merupakan sekelumit dari beberapa sastrawan yang karya-karyanya diberangus begitu saja tanpa proses pengadilan. Ia merupakan sastrawan pejuang kemanusiaan yang mengakrabi penjara-penjara sebagai tempat memungut aksara. 12 tahun Pram mendekam dibalik jeruji besi pulau Buru. Meninggalkan artefak kebadian berupa karya yang mengetuk akal budi dan menentramkan nurani.

Pram tak takut untuk menyuarakan hak-hak kemanusiaan. Di tengah romantismenya menekuni laku keabadian dia kerap mendapat tindakan represif dan diskriminasi dari rezim Orde Baru. Ia telah bergumul dan dibentuk oleh lingkungan yang anti-sosial, nir-keadilan, dan marginisasi hak-hak kemanusiaan.

Barangkali berkat lingkungan yang semacam inilah Pram berani membukakan mata manusia untuk melihat hak-hak mereka yang diabaikan. Sebab menulis bagi Pram merupakan suatu keberanian mengekspersikan hak-hak kemanusiaan dan mendorong rakyat bergerak secara massif mengkritisi keadaan. Membaca seabrek karya Pram membuat wawasan kita menjadi tercerahkan dan sesegera mungkin berlaku adil sejak dalam pikiran.

Pram sendiri menaruh harapan besar pada setiap karyanya. Dia berharap karya-karyanya dapat membuat pembaca merasa terkuatkan dan menjadi berani. “Dan kalau itu terjadi saya menganggap tulisan saya berhasil”. Begitu kata Pram.

Akhirnya, harus kita sadari bahwa salah satu maha karya terhebat sepanjang sejarah manusia ialah sejauh mana ia berani mengekspresikan hak-hak kemanusiannya lewat kerja keabadian. Dan maha karya hebat itu ada dalam diri Pram. Pram tidak mati. Dia benar-benar mengabadi bersama nilai-nilai kemanusiaan. Begitu.

 

 

Oleh: Muhammad Ghufron, Penikmat Buku dan Musik tinggal di Yogyakarta. Karya-karyanya nangkring disejumlah media seperti Radar Madura, Koran Madura, Mata Madura, NU Online, Laduni.id, takanta.id dll. Alumni PP. Annuqayah Guluk-guluk Madura

Related Posts

1 of 3,050