Politik

PP Merah Putih: Manuver SBY, Buat AHY Karam di Jakarta, Kukut Demiz di Jabar

Susilo Bambang Yudhoyono Saat Konferensi Pers 4 November 2017. (Foto: Istimewa)
Susilo Bambang Yudhoyono Saat Konferensi Pers 4 November 2017. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Koordinator Pergerakan Pemuda Merah Putih (PP Merah Putih) Wenry Anshory Putra menilai, Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilgub Jawa Barat 2018 adalah indikator utama bahwa Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY elektabilitasnya merosot.

“Karena, DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah dua Provinsi yang sangat strategis untuk memenangkan Pemilu 2019,” kata Wenry kepada media di Jakarta, Rabu, (4/7/2018).

Baca Juga:

Ia mencatat, pada Selasa, 21 Maret 2017 KPU DKI Jakarta menetapkan DPT untuk putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2017 mencapai 7.264.749 orang. Pada Sabtu, 21 April 2018 KPU Jawa Barat menetapkan DPT untuk Pilgub Jawa Barat 2018 mencapai 31.735.133 orang.

“Maka, hal yang sangat wajar bila wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi sangat strategis untuk memenangkan Pemilu 2019. Bahkan, pasangan Cagub/Cawagub yang diusung oleh PDI-P pada Pilkada serentak 2017-2018 di Provinsi strategis ini harus tersungkur,” kata dia.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Lalu, lanjutnya, mengapa Cagub/Cawagub yang diusung Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, -red) terkubur di DKI Jakarta dan karam di Jawa Barat?

Menurut Wenry, manuver SBY yang mengusung AHY (Agus Harimurti Yudhoyono, -red) pada Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah blunder pertama. Manuver SBY yang mengusung Demiz (Deddy Mizwar, -red) pada Pilgub Jawa Barat 2018 adalah blunder kedua.

“Mengapa blunder? Karena, kekalahan telak keduanya sangat berkaitan erat dengan manuver-manuver SBY yang justru menjungkalkan keduanya. AHY harus terkubur pada putaran pertama pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Demiz sebagai petahana pada akhirnya karam setelah RK memimpin perolehan suara, bahkan Demiz mampu disalip oleh Sudrajat yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan,” jelasnya.

“Mengapa terjadi demikian? Selain mesin politik yang tidak bekerja maksimal, faktor lainnya adalah kemunculan terus menerus SBY di panggung politik justru mendowngrade Partai Demokrat,” imbuhnya.

Wenry juga mengatakan bahwa, pengaruh SBY setelah 10 tahun berkuasa telah meredup, apalagi ditambah dengan ambisi SBY yang begitu besar menjadikan AHY “sebagai penerusnya”. Hal ini dapat dilihat dari segala manuver yang dilakukan SBY untuk mendongkrak popularitas AHY.

Baca Juga:  PIJP Deklarasi Pemilu Damai, Bertajuk Sepeda HPN 2024

“AHY yang pensiun dini dari kariernya sebagai Prajurit TNI demi menjadi politisi dan diusung Partai Demokrat Cs dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, tentu tidak mendapat simpati masyarakat. Buktinya, AHY terhenti pada putaran pertama yang saat itu Pilgub DKI Jakarta ada tiga pasang Cagub/Cawagub,” ujarnya.

Ditambahkan Wenry, selama SBY terus menerus muncul dalam panggung politik nasional, maka selama itu pula kandidat-kandidat yang diusung Partai Demokrat pada wilayah-wilayah strategis akan terjungkal. “Apalagi bila SBY ngotot mendorong AHY sebagai Capres/Cawapres pada Pemilu 2019,” tandasnya.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,166