Heboh instruksi nonton bareng film G30S/PKI dan adanya informasi “penyelundupan” 5.000 senjata tempur yang disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo setidaknya mengkonfirmasi dua hal.
Pertama, adanya power game di level elit, khususnya di lingkar dekat Presiden Jokowi. Kedua, penegasan adanya pembelahan besar dalam masyarakat.
Power game atau permainan kekuasaan dikaitkan dengan akan berakhirnya masa jabatan Gatot dan Pilpres 2019. Gatot lahir di Tegal 13 Maret 1960, berarti secara normal enam bulan lagi akan pensiun, kecuali diperpanjang masa jabatannya oleh presiden. Dengan berbagai manuvernya, Gatot kini dipandang menjadi kandidat potensial untuk mendampingi Jokowi sebagai cawapres atau bahkan malah bisa menjadi pesaing sebagai capres.
Sebagai cawapres, Gatot dinilai sebagai kandidat yang paling ideal untuk mendampingi Jokowi karena latar belakang militernya dan “kedekatannya” dengan umat Islam. Jokowi butuh figur model Gatot untuk merebut kembali hati umat Islam, karena faktor ini menjadi titik lemah Jokowi.
Ketika terjadi hiruk pikuk Pilkada DKI, sikap Gatot jelas sangat bertolak belakang dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Polri menyebut berbagai Aksi Bela Islam bertujuan makar, Gatot dengan tegas menolaknya. Saat diwawancarai sebuah stasiun TV, Gatot bahkan mengaku sangat tersinggung, kalau umat Islam yang notabene komponen utama pendiri NKRI disebut mau makar.
Pada putaran kedua Pilkada DKI, TNI mengerahkan pasukan untuk ikut mengamankan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hadirnya prajurit TNI di TPS ini dinilai menjadi salah satu faktor yang ikut membantu kemenangan pasangan Anies-Sandi. Mereka berhasil menetralisir kemungkinan kecurangan yang akan dilakukan kubu Ahok-Djarot.
Gatot juga dinilai lebih dekat dan punya empati terhadap penderitaan rakyat kecil akibat ketimpangan ekonomi yang kian dalam. Ketika berlangsung Rapimnas Golkar di Balikpapan, Kaltim (22/5) dia membaca sebuah puisi milik Denny JA yang menyoroti ketimpangan antara si kaya dan mayoritas rakyat kecil yang menjadi si miskin.
Gatot juga sangat kritis dan khawatir adanya dominasi China dan gelombang pengungsi China yang karena keterbatasan pangan mulai membanjiri kawasan Asia Tenggara. Sementara pemerintahan Jokowi sangat aktif mendatangkan investasi dari China. Media-media di Australia bahkan menyebut Gatot sebagai ultra nasionalis.
Berbagai pernyataan dan langkah Gatot yang dinilai lebih dekat dan membela umat Islam dan rakyat kecil ini menimbulkan banyak simpati, utamanya di kalangan umat Islam. Banyak ulama dan kelompok-kelompok di kalangan umat Islam yang kemudian mengidolakan Gatot dan menjagokannya sebagai capres penantang Jokowi.
Dukungan terhadap Gatot kian meluas ketika secara tegas dia menginstruksikan seluruh jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng (nobar) film G30 S/PKI.
Di luar euforia dukungan terhadap Gatot, ada pula yang menyikapinya secara hati-hati dan waspada. Benarkah sikap Gatot dan berbagai langkahnya semata hanya karena kesadaran bahwa sebagai bagian terbesar bangsa, umat Islam harus mendapat peran yang proporsional? Atau dia justru digunakan oleh Jokowi untuk mendekati umat Islam?
Pasca Pilkada DKI pengaruh ulama yang menggerakkan Aksi Bela Islam, seperti Habib Rizieq Shihab dan Ustad Bachtiar Nasir dkk, menjadi sangat kuat. Mereka menjelma sebagai sebuah “kekuatan politik” yang harus diperhitungkan oleh siapapun yang berniat menjadi Presiden RI. Pengaruhnya bahkan sudah mengalahkan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Karena itu Jokowi perlu figur lain untuk merebut pengaruh tersebut.
Apakah mungkin Gatot berani bersikap sangat frontal dalam soal pemutaran film G30S/PKI tanpa izin atau setidaknya restu dari Jokowi? Kalau atas restu apa targetnya? Dan kalau tidak atas restu mengapa tidak ada teguran dari Jokowi? Reaksi Jokowi terhadap aksi nobar juga tidak terlalu jelas. Melarang atau mendukung. Jokowi hanya menyatakan perlu dibuat film G30S/PKI yang sesuai dengan generasi milineal.
Tidak salah bila kemudian muncul kecurigaan bahwa Jokowi memainkan dua kartu kembar. Tito sebagai bad cop yang “memusuhi” umat Islam. Sebaliknya Gatot bertindak sebagai good cop yang merangkul, melindungi dan mengayomi umat Islam.
Daftar pertanyaan tersebut kian bertambah panjang dengan munculnya statemen soal adanya “penyelundupan” senjata yang mengatasnamakan Presiden Jokowi.
Dari pernyataan Gatot, media kemudian menghubung-hubungkan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri. Kebetulan BIN saat ini juga dipimpin oleh Budi Gunawan seorang jenderal polisi yang dikenal mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati.
Sampai di sini kalkulasi politiknya menjadi liar dan bisa ke mana-mana, apalagi bila dikaitkan dengan pertanyaan “apakah Jokowi akan tetap maju menjadi capres melalui jalur PDIP?”
Tuduhan Gatot ini sungguh tidak main-main. Apalagi sampai ada pernyataan sebagai Bhayangkari negara akan menyerbu pelaku “penyelundupan” senjata dan akan ditindak tegas meskipun pelakunya seorang jenderal. Menko Polhukam Wiranto sampai harus membuat klarifikasi bahwa BIN mengajukan pembelian senjata jenis pistol sebanyak 500 pucuk, bukan 5.000 pucuk seperti disebut Gatot.
Pernyataan Gatot tersebut sekaligus juga mengkonfirmasi belum harmonisnya hubungan TNI-Polri pasca pemisahan kedua institusi tersebut. Sudah lama muncul ketidakpuasan di kalangan TNI tentang peran Polri yang luar biasa besar, sementara TNI perannya kian mengecil setelah diputuskan kembali ke barak. Pada level prajurit di bawah, isu yang muncul berkaitan dengan masalah kesejahteraan.
Mantan Komandan Korps Marinir yang kemudian menjadi Irjen Dephan Letjen TNI (Purn) Suharto pada suatu kesempatan secara bercanda menyatakan, dia pernah bertanya mengapa prajurit TNI tidak bisa akur dengan polisi. Jawabannya sangat lucu tapi cukup mengagetkan “Bagaimana ndan. Kita gajiannya sebulan sekali. Dia gajian setiap hari!”
Pembelahan Masyarakat
Di level masyarakat isu nobar dan soal “penyelundupan” senjata ini kemudian digoreng menjadi sebuah perdebatan yang seakan tidak ada habisnya. Semua itu kian menegaskan adanya pembelahan yang lebar dan dalam, pada masyarakat kita.
Jika kita amati media sosial, aktivis dunia maya ini terbagi dalam dua kubu yang bertentangan secara diametral.
Kubu yang mendukung Gatot mayoritas adalah umat Islam yang pada Pilkada DKI menjadi penentang Ahok dan Jokowi. Sementara penentang Gatot terdiri dari sebagian pendukung Jokowi, para pendukung Ahok dan pendukung PDIP.
Yang terkena dampak langsung dari aksi nobar ini secara politik adalah PDIP. Karena itu tak mengherankan bila sejumlah politisi PDIP bereaksi sangat keras.
Di PDIP ada Ribka Tjiptaning anggota DPR RI yang secara terbuka mengaku bangga menjadi anak PKI. Sejarah tentang Presiden Soekarno, yang dekat dan mempunyai hubungan mesra dengan PKI, juga kembali dibuka. Salah satunya adalah ide Soekarno menyatukan kekuatan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom). Presiden Jokowi sendiri pernah dituding sebagai anak seorang anggota PKI.
Pembelahannya nyaris sama dengan Pilkada DKI. Aktor perannya juga sama. Bedanya hanya pada posisi. Pada Pilkada DKI umat Islam yang menjadi tertuduh dengan Panglima TNI sebagai pembelanya. Sementara sekarang yang menjadi tertuduh adalah kelompok pendukung Ahok, pendukung Jokowi dan institusi Polri/BIN.
Situasi seperti ini tidak bisa terus dibiarkan. Dalam jangka panjang akan berdampak buruk pada kohesi berbangsa dan bernegara. Kita menjadi bangsa yang gaduh. Hampir semua persoalan bisa perdebatkan, dijadikan bahan permusuhan.
Akar persoalan sesungguhnya adalah pada rasa keadilan masyarakat. Mereka merasa pemerintah hanya dimiliki dan melindungi kelompok tertentu. Rakyat terutama umat Islam yang menjadi mayoritas merasa diperlakukan tidak adil. Penegak hukum bertindak tebang pilih dan tidak imparsial.
Di luar itu, masalah kesenjangan ekonomi yang kian menganga tajam, menjadi sebuah ancaman yang serius.
Pembelahan pada masyarakat sesungguhnya hanya symptom, gejala penyakit, bukan akar penyebab persoalan. Sementara power game hanya bunga-bunga yang akan mekar silih dan berganti bersamaan pilpres atau pilkada.
Diperlukan kesadaran bersama dan langkah nyata, utamanya dari pemerintah untuk mendiagnosa secara serius dan menyembuhkan akar persoalannya.
Seperti sebuah padang ilalang, rumput kering menumpuk dan bertebaran di mana-mana. Hanya diperlukan sebuah pemantik, bahkan sebatang puntung rokok yang menyala, rumah besar bernama Indonesia ini bisa terbakar habis.
Dalam konteks ini, berbagai manuver Gatot bisa dianggap sebagai warning. Peringatan agar kita semua lebih mencintai dan merawat bangsa ini. Semoga!
Penulis: Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik