ArtikelFeatured

Potret Perempuan dalam Bingkai Ketatanegaraan

 “Jika perempuan itu baik, maka jayalah negara. Tetapi jika perempuan itu buruk maka runtuhlah negara”[1]

Soerkarno, Presiden RI Pertama.

Apa yang telah dikatakan oleh Soekarno sejalan dengan yang dikatakan pepatah timur tengah “Perempuan adalah Tiang Negara, maka apabila perempuan itu baik, akan baik pula ngaranya, dan apabila perempuan itu rusak, maka rusak pula negaranya”. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan berperan penting dalam membina keutuhan dan kinerja dalam suatu negara, karena perempuan harus benar-benar dijaga kekokohannya, secara lahir dan batin. Tentunya menjadi tiang negara  membutuhkan kecerdasan yang dan intlektual yang tinggi segingga kaum perempuan harus belajar dengan giat agar dapat berkontribusi dalam kemajuan negara.

Secara konstitusional Indonesia telah disebutkan sebagai negara hukum pada UUD 1945 pasala 1 ayat (3) “Negara Indonesia  adalah Negara Hukum”[2]. Indonesia memiliki karakteristik mandiri hal ini terlihat dari penerapan konsep atau pola hukum yang dianutnya. Konsep yang dianut yakni sesuai dengan pancasila. NKRI sebagai negara hukum yang berdasar pada pancasila, tentu memiliki maksud dan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan sebuah negara yang aman, tentram, sejahtera dan tertib dimana kedudukan hukum sertisap negaranya dijamin sehingga dapat tercapainya suatu keserasian.

Negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan, pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat disampaikan melalui lembaga perwakilan rakyat.[3] Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan perempuan di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.[4]

Pasca runtuhnya rezim orde baru dan bergulirnya reformasi telah membuka keran keterlibatan perempuan secara lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam suatu kebijakan publik. Proses transisi demokrasi yang telah dan sedang berjalan memungkinkan perempuan untuk berperan di lembaga-lembaga yang baru direformasi. Dalam pemberian ruang  Upaya meningkatkan keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam lembagalembaga yang menghasilkan kebijakan publik dipandang penting dan menjadi prioritas gerakan perempuan.

Di beberapa wilayah Indonesia ada beberapa masyarakat yang masih menomorduakan perempuan. Perempuan dianggap hanya bertugas melayani kebutuhan kaum lak-laki saja, dan dianggap tidak cakap hukum secara mandiri dan harus selalu izin kepada sumi dalam melakukan perbuatan hukum.[5] Padahal secara legalitas perempuan memiliki kesetaraan dimata hukum hal ini sesuai dengan ketentuan konstitusi pada pasal 28 d ayat (1)[6].  Persamaan hak dan kedudukan merupakan semangat yang terkandung dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional maupun nasional.  Dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 26 Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik[7] menunjukkan bahwa tidak ada pembeda apapun, termasuk jenis kelamin terhadap hak perempuan untuk memperoleh kesamaan dimata hukum dalam melakukan perbuatan hukum.

Dalam teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahnkan ketertiban dan kebebasannya. Teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum dapat diterapkan kepasa siapapunsecara adil, tanpa memandang status sosial, ras, atau gender. Begitu juga pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari teori hukum liberal yang memandang hubungan peran lelaki dan perempuuan berdasarkan pada kesamaan.[8]

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Menurut Margaret Davies sebagaimana dikutip oleh Niken Savitri, Westren Yurisprudence dan hukum pada umumnya adalah patriarki dan dapat memiliki banyak pengertian, hal ini terlihat sebagai berikut[9]:

  1. Secara empiris dapat dikatakan bahwa hukum dan teorihukum merupakan domain laki laki, mereka yang menulis hukum dan teori-teori hukum.
  2. Hukum dan akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat hukum dan teori-teori hukum melalui imajinasi merka. Permasalahan yang kemudian muncul ketika berkaitan dengan kelompok yang terpinggirkan dalam pembuatan keputusan dan teori hukum tersebut dimana kelompok tersebut juga menerapkan nilai nilai yang ada pada sistem dan budaya mreka. Dari kedua hal tersebut saling menguatkan sepertihalnya wadah dan tutupnya, jadi hukum karenanya tidak berbicara atas nama perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya, sehingga bentuk ideologi patriarki secara umum diulang dalam hukum.
  3. Ketika hukum yang memang tidak netral  tersebut dapat kemudian digunakan oleh yang berpengalaman yang menggunakannya sebagai alat untuk menekan orang lain , tidak menjadi pertimbangan bagi pembuat hukum, dan juga tidak dipertimbangkan bahwa banyak orang dalam kasus dipengaruhi pesan tertentu dari hukum dan kultur yang ada.

Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam aliran kau positivis telah melanggengkan tidak adailan gender. Hal ini terlihat dari perumusan peraturan perundang-undangan, apratur penegak hukum dan budaya hukumnya, yang masih menggunakan perspektif dan pengalaman perempuan, naum tetap menggunakan standar dan nilai-nilai patriarki yang hidup dalam masyarakat.

Partisispasi politik perempuan khususnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi agenda penting pemerintah dan badan legislatif. Berbagai kebijakan afirmasi dan penguatan terus diupayakan guna mewujudkan demokrasi yang inklusif, dan masyarakat sebagai salah satu pilar penting demokrasi mempunyai peranan yang  penting untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan yang lebih luas dan bermakna.[10] Perkembangan posisi dan peran politik perempuan Indonesia amatlah lamban. Hal ini terlihat secara kualitatif, perempuan Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia.

Dalam hal ini pemerintah telah membuka keran untuk wanita agar dapat berperan secara aktif dalam menjalankan ketatanegaraan bangsa ini, hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan  beberapa undang-undang terkait perempuan seperti undang-undang kesetaraan dan keadilan gender yang masuk dalam prolegnas pada tahun 2012 lalu. Adanya inisiatif parlemen mengajukan UU KKG dianggap sebuah trobosan yang sangat berarti bagi reformasi kebijakan di Indonesia. Adanya RUU KKG diharapkan dapat mendorong terbentuknya suatu pemahaman tentang kesetaraan gender mulai dari tingkat keluarga, pemerintah hingga masyarakat.[11]

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Adanya ketentuan keterwakilan perempuan dalam kursi parlemen dicantumkan dalam undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 8 ayat (2)[12], dalam pasal ini akomodasi keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen pada kepengurusan partai tingkat pusat sebagai syarat peserta pemilu. Ketentuan yang sama juga masuk dalam RUU pemilu pasal 143 ayat 2.

Perempuan masakini tentu tidak hanya dituntut untuk bisa mendidik anak tapi juga dituntut untuk dapat mengambil peran penting diberbagai bidang dalam pemerintahan. Hal ini pun terlihat pada keterwakilan perempuan masih rendah. Hasil pemilu legislatif 2014 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR sebanyak 17,3 persen dan DPD 25,76 persen.[13] Presentase tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 2009. Berdasarkan dara Badan Pusat Statistik (BPS) hasil survei angkatan kerja nasional, agustus 2016 menunjukkan angka perempuan 15 tahun keatas mengurus rumah tangga sebesar 37,79 Persen. Sedangkan perempuan 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2016 sebesar 48 persen.[14]

Perempuan mempunyai peran dan kedudukan yang sama seperti laki-laki dalam politik. Peran serta perempuan sangat penting dalam dunia politik, karena banyak isu-isu terkait perempuan yang memerlukan adanya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemilihan Anggota Legislatif di Provinsi Riau periode 2014-2019 berpengaruh terhadap kebijakan affirmative action keterwaklilan perempuan di legislatif.

Dengan meningkatnya keterwakilan perempuan yang terpilih menjadi Anggota legislatif, diharapkan tidak hanya kuantitas yang diprioritaskan namun yang terpenting adalah kuantitas yang diikuti kualitas, sehingga perempuan berperan aktif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti dalam menggunakan hak inisiatif untuk mengusulkan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan daerah berpihak untuk kepentingan perempuan.

Penulis: Latipah, Mahasiswa Ilmu Hukum, UIN Syarifhidayatullah Jakarta 2015.

 

[1] 15 kata-kata bijak Presiden Indonesia www.cermati.com diunduh pada 27 Februari 2018

[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, perubahan ke 3 dalam amandemen ke 4 UUD 1945 menyatakan pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”

[3] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm. 174.

[4] Desy Artina, Keterwakilan politik perempuan dalam pemilu legislatif provinsi riau tahun 2014-201, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 1 VOL. 23 JANUARI 2016: hal 124

[5] Anita Dhewy, Perempuan dan kebijakan publik, Jurnal Perempuan, vol 22 No. 1 Februari 2017 hal 6

[6] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 D ayat (1) “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

[7] KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK, Pasal 14 (1) “Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. Pasal 26 “Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul Kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain” Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

[8] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, 10 Febuari 2017 hal 10.

[9] Niken Savitri, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT.Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 17-19.

[10]Keterwakilan Perempuan di Parlemen dan Kualitas Kebijakan”, at beritapalu.com, diakses pada 27 Februari 2018

[11] Women Reasearch Institute, Keterwakilan Perempuan Diparlemen, wri.or.id, diakses pada 28 februari 2018

[12] Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelum atau partai Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan

partai politik tingkat pusat;f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

[13] Buku PMBG  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Tahun 2016 , www.kemenpppa.go.id, diakses pada 26 Februari 2018

[14] Data Badan Pusat statistik Tahun 2016, Tenaga Kerja Wanita,  www.bps.go.id diakses pada 27 Februari 2018

Related Posts

1 of 6