MancanegaraOpini

Post Truth dan Hegemoni Amerika

Armada VII Amerika
Armada VII Amerika Serikat/Foto: Youtube

NUSANTARANEWS.CO – Post truth dan hegemoni Amerika. Retorika anti-Cina di Amerika Serikat (AS) bukanlah hal baru. Presiden Donald Trump boleh dibilang hanya memperkuat narasi anti-Cina sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Sejalan dengan itu, Gedung Putih kemudian mulai membangun opini tentang bahaya ancaman Cina terhadap tatanan dunia yang demokratis dengan menyebut Cina sebagai negara totaliter. Bahkan para elit di Washington memandang Cina sebagai musuh yang setara dengan Uni Soviet.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Washington kemudian melakukan tekanan terhadap Beijing. Bukan itu saja, bahkan AS mengancam sekutunya untuk tidak membeli produk teknologi Cina atau menjual teknologi canggih ke Cina.

Perang dagang AS-Cina merupakan salah satu bentuk diplomasi perang yang dilancarkan oleh Washington. Permainannya jelas. Jika Amerika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, Amerika akan mengenakan sanksi, baik politik maupun ekonomi. Kebijakan ini merupakan platform bersama Partai Republik dan Demokrat bahwa, Amerika harus mempertahankan keunggulan globalnya dengan segala cara. Pax Americana harus dilestarikan.

Baca: NATO Kembali Provokasi Rusia Dengan Penempatan Rudal THAAD di Rumania

Konsekuensi dari itu, AS kemudian meningkatkan kekuatan militernya secara masif, khususnya Armada Angkatan Laut yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk menjaga stabilitas dan perdamaian dunia versi Amerika tentunya.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Sebaran Kodam Amerika Serikat

Kodam-Kodam pun dibentuk diberbagai belahan dunia. Kodam Utara Amerika USNORTHCOM (United State North Command) didukung dengan kekuatan Armada II, Kodam Selatan Amerika USSOUTHCOM (United State South Command) ditopang dukung dengan kekuatan Armada IV, Kodam USCENTCOM (United State Central Command) di kawasan Timur Tengah dan sebagian Afrika didukung dengan kekuatan Armada V, Kodam USEUCOM (United State Europe Command) untuk wilayah Eropa di dukung dengan kekuatan Armada VI, dan Kodam USPACAOM untuk Asia Pasifik dan Australia di dukung dengan kekuatan Armada VII.

Untuk memenuhi kekuatan kodam-kodam tersebut, AS mengoperasikan lebih dari 10 kapal induk yang masing-masing bisa membawa puluhan bahkan ratusan pesawat tempur beragam jenis, termasuk pengintai, pembom dan heliokopter. Selain Kapal Induk, setiap armada memiliki puluhan kapal perang pendukung yang beragam jenis pula. Seperti destroyer, fregat, cruiser, dan kapal selam. Ada juga kapal tanki, penyapu ranjau serta kapal pengangkut.

Selain penyebaran Kodam-Kodam tersebut, AS juga mengendalikan hampir seribu pangkalan militer, termasuk ratusan fasilitas riset biokimia di seluruh dunia yang tersebar di hampir seratus negara.

Baca Juga:  BRICS: Inilah Alasan Aliansi dan Beberapa Negara Menolak Dolar

Baca: Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia

Dengan postur militer yang sedemikian rupa, tidak mengherankan bila nafsu perang AS begitu besar untuk menaklukkan dunia. Sehingga banyak perang yang tidak masuk akal melanda dunia sebagai akibat visi perdamaian dunia yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington. Terbelahnya Yugoslavia, Perang Teluk, Perang Afghanistan, Perang Irak, penghancuran Libya, pendudukan Suriah, serta Perang Yaman merupakan contoh yang masih hangat. Belum lagi operasi rahasia di Afrika dan Amerika Selatan.

Tidak mengherankan bila secara paralel AS kemudian menjadi pengekspor senjata terbesar dunia dan menghabiskan hampir US$ 1 triliun per tahun untuk anggaran militernya. Dan angka ini belum termasuk biaya perang yang dikobarkannya di berbagai belahan dunia.

Intervensi dan agresi menjadi komoditas penting politik luar negeri AS. Dengan menciptakan ancaman dan rasa tidak aman yang dikemas oleh media mainstream – maka opini yang tercipta akan sesuai dengan keinginan Gedung Putih. Post-truth. Inilah teknik komunikasi global yang terbukti semakin efektif untuk menekan kawan dan lawan. Contoh konkrit korban post truth pasca Perang Dingin adalah kriminalisasi terhadap Slobodan Milosevic.

Baca Juga:  Dewan Kerja Sama Teluk Dukung Penuh Kedaulatan Maroko atas Sahara

Baca: Retorika Palsu Media Barat Tentang Krisis di Ghouta Timur

Boleh dibilang, post-truth telah menjadi komoditas penting dalam mendukung kebijakan luar negeri AS. Opini Gedung Putih adalah kebenaran yang harus diterima, bukan faktanya. Hari ini, opini yang dibangun adalah bahaya ancaman Cina terhadap tatanan global, agresifitas Rusia sebagai ancaman terhadap keamanan Eropa, bahaya nuklir Korea Utara, rezim Presiden Assad yang kejam, demikian pula kriminalisasi terhadap Muammar Qaddafi, menyebut tentara Iran teroris, dan sebagainya. AS terus memproduksi opini permusuhan kepada negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Ya, post truth telah mengubah realitas menjadi kebohongan. Dengan kata lain, AS kini menjadi sumber kebenaran yang harus diterima bila tidak ingin dikriminalisasi dan dimusuhi oleh dunia. (Agus Setiawan)

Artikel Terkait

  1. Libya, Negeri Makmur Sejahtera Yang Dihancurkan Koalisi Kapitalis-Teroris
  2. Alasan AS Memberi Sanksi Baru Terhadap Iran
  3. Rusia dan Eropa Kompak Tetap Berkomitmen Terhadap Kesepakatan Nuklir Iran
  4. Ibarat “Quick Count” Media Mainstream Barat Telah Menjadi Referensi Pembenaran Kejaharan Perang Yaman
  5. Kampanye Disinformasi Skala Penuh Telah Dilancarkan Media Barat Untuk Memfitnah Presiden Assad

Related Posts

1 of 3,054