FeaturedHankamPolitik

Polemik Senjata Polri, Antara Fungsi dan Tabrak Konstitusi

NUSANTARANEWS.CO – Jelang Sabtu dinihari (29/9) pesawat kargo dari Ukraina dengan nomor penerbangan UKL4024 bermuatan 5,2 ton tiba di bandar udara Soekarno Hatta (Bandara Soetta). Ratusan peti berisi 280 pucuk peluncur granat 40×46 milimeter Standar Alone Grenade (SAGL) dan 5.932 butir granat 40×46 milimeter REFJ langsung mendapat penjagaan ketat di Gudang Unex oleh personil Bais dan Tentara AL serta AU.

Tibanya senjata-senjata itu seakan menguatkan asumsi publik terkait pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmatyo tentang rencana adanya institusi di luar militer yang hendak membeli 5.000 senjata militer ilegal. Panglima tak menyebutkan secara jelas, institusi di luar militer mana yang akan mengimpor senjata ilegal tersebut.

Namun berbagai dugaan tertuju kepada Polri. Meski polri membantah dan mengatakan pengadaan senjata yang dimaksud untuk Polantas karena kerap jadi sasaran pelaku kejahatan. Polri mengaku senjata itu bukan senjata berat.

Sementara itu, Menteri Polhukam pun turut menyanggah ucapan Panglima TNI. Wiranto mengatakan bahwa pemesan senjata itu adalah dari Badan Intelijen Negara, yang mengorder sebanyak 500 pucuk senjata non militer dari PT Pindad.

Namun sanggahan-sanggahan itu tampaknya sia-sia menyusul sehari setelah ratusan senjata berat pesanan Polri dari Bulgaria tiba di Bandara Soetta. Sekitar pukul 20.00 WIB, Kadiv Humas Polri bersama Kepala Korp Brimob Polri, yakni Setyo Wasisto dan Murad Ismail menggelar konferensi pers.

Polri membenarkan senjata-senjata yang tertahan di Gudang Unex Bandara Soetta adalah milik institusi Polri yang digunakan untuk menertibkan keamanan. Polri juga mengaku bahwa pengadaan senjata jenis SAGL ini sudah sesuai prosedur. Tapi disanggah pihak Bais. Lantaran tak mengantongi izin, senjata-senjata itupun ditahan di Bandara Soetta selama berhari-hari.

Baca Juga:  TKD Jatim Blusukan Pasar, Warga Pogot Acungkan Dua Jari Prabowo-Gibran

Sebagai penjaga keamanan, sesungguhnya polisi hanya diizinkan menggunakan senapan untuk melumpuhkan. Dimana kaliber senapan harus di bawah 5,57 milimeter. Sedang panjang selongsong peluru tak boleh melebihi 44 milimeter dengan hulu peluru tumpul. Beda halnya senjata militer yang tujuannya untuk membunuh musuh. Pelurunya lancip dengan panjang selongsong 45 milimeter. Namun temuan di Gudang Unex bukan hanya soal spesifikasi senjata dan jenis pelurunya yang memang diperuntukan bagi militer, melainkan juga dokumennya pun tak lengkap.

Berdasarkan giat pengecekan gabungan yang dilakukan 20 orang dari institusi Polri, TNI dan Bea-Cukai (2/10) ditemukan bahwa pengadaan senjata itu tak memiliki izin impor dari Kementrian Pertahanan dan Bais. Pengecekan senjata di Gudang Unex ini berlangsung selama 40 menit.

Pengecekan senjata itu juga diumumkan oleh Polri. Mula-mula melalui akun Instagram resmi Devisi Hubungan Masyarakat Polri, @devisihumaspolri. Berdasarkan pengecekan, menurut akun Instagram Devisi Humas Polri ini menyebut senjata dan amunisi sudah sesuai dengan dokumen impornya. “Hasilnya akan disampaikan di Menkopolhukam,” kata jubir Polri, Irjen Setyo Wasisto membenarkan informasi yang diunggah akun itu. Namun belakangan, unggahan tersebut dihapus, sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo edisi 15 Oktober 2017.

Sesuai hasil penandatangan berita acara oleh empat pihak; Bais, Brimob, Be-Cukai dan PT Mustika Dutamas selaku pengimpor senjata menyebut jumlah senjata dan amunisi sesuai dengan dokumen. Tetapi untuk jenis amunisi tak sesuai dengan klaim Polri sebelumnya yang mengatakan peluru tersebut untuk melumpuhkan bukan mematikan.

Baca Juga:  WaKil Bupati Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Tahun 2024 Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Sementara sesuai hasil pengecekan hulu granat tersebut tajam yang merupakan ciri peluru untuk para kombatan perang. Peluru yang memiliki daya jangkau lebih dari 400 meter ini memiliki enam ulir. Ini menunjukkan bahwa dalam waktu kurang 14 detik setelah dilontarkan, peluru akan meledak meski tak mengenai target.

Kode ‘HEFJ’ menunjukkan bahwa peluru ini memiliki ledakan dahsyat. Dalam selongsong peluru tertulis jelas HEFJ yang merupakan kependekan dari High Explosive Fragmentation Jump, yang artinya granat tersebut berdaya ledak tinggi dengan pecahan amunisi bertebaran. Granat diisi butiran logam, yang akan menyebar ke segala arah tatkala meledak. Itulah mengapa Wiranto kemudian meminta kepada Polri agar senjata SAGL dan amunisi tajamnya dititipkan ke Mabes TNI.

Sementara untuk senjata peluncur granat yang jumlahnya mencapai 280 pucuk boleh dimiliki Brimob setelah ada rekomendasi Panglima TNI. Dengan catatan pelurunya berisi gas air mata. Ini menyusul Tupoksi Polri adalah mengamankan ketertiban umum, karena Polri bukan kombatan perang yang harus dipersejatai layaknya militer.

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 15 Oktober 2017, Wakil Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Marsekal Madya Purnawirawan Eris Heryanto mengatakan bahwa izin dari Menteri Pertahanan mutlak diperlukan bila suatu lembaga bermaksud mengimpor senjata dengan spesifikasi militer dari luar negeri. Ini sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010 tentang perizinan senjata militer di luar Kemenhan dan TNI.

Sedang izin Menteri Pertahanan sebagai Ketua Harian KKIP, lanjut Eris juga dibutuhkan tatkala ada institusi yang ingin membeli senjata dari luar negeri. “Undang-Undang Industri Pertahanan mewajibkan semua pengguna membeli sistem persenjataan yang sudah dibuat di Tanah Air,” kata Eris.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Prabowo Gibran, Anton Charliyan berbaur dalam Acara Kampanye Akbar di GBK Senayan

Dirinya mengatakan senjata yang dipesan Polri dari Bulgaria sebenarnya sudah diproduksi oleh PT Pindad. Dimana PT Pindad sebelumnya telah mengeluarkan SPG-1, pelontar granat mandiri yang tidak dicantumkan ke senapan Laras. Menurut Eris, ini varian khusus yang dibuat setelah PT Pindad mengeluarkan tiga varian pelontar granat yang bisa dilekatkan pada senapan SS1 dan SS2. Polantar granat ini juga lanjut dia juga bisa diisi amunisi kaliber 40 milimeter, persis dengan SAGL dari Bulgaria.

Namun Murad Ismail kemudian mengatakan alasan mengapa Polri tak membeli dari Pindad karena menurutnya spesikasi produknya berbeda. “Produk ini produk Bulgaria. Pindad ada produksi, tapi kalibernya berbeda dengan kebutuhan kami,” ujar Murad di Mabes Polri.

Terkait polemik pengadaan senjata berat milik Polri yang menjadi persoalan pokok sejatinya bukan mengenai izin tidaknya, ataupun ihwal perdebatan jenis spesifikasinya. Melainkan adalah ditabraknya undang-undang negara.  Sesuai tupoksinya, tugas Polri adalah Kamtibmas, sehingga mengimpor senjata berat merupakan tindakan inkonstitusional. Karena Polri bukan kombatan perang seperti Militer yang harus dipersenjatai SAGL ataupun RPG.

Sehingga alasan mengimpor senjata karena ketidaksesuaian spesifikasi bisa dibilang tidak pada tempatnya dan bahkan sebagai tindakan inkonstitusional.

Dalam hal ini, anggota Tim Pelaksana KKIP Muhammad Said Didu menegaskan bahwa perbedaan spesifikasi teknis tidak bisa menjadi dalih Polri untuk mengimpor senjata. “Yang ditekankan dalam Undang-Undang Industri Pertahanan itu fungsinya, bukan spesifikasinya,” tegasnya.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3