Lintas Nusa

Pola Asuh Pengaruhi Kekerasan Pada Anak

NusantaraNews.co, Cicerbon – Dia mengungkap kekerasan terhadap anak pada September 2017 cukup tinggi. terurama anak sebagai korban prostitusi online. Di mana angkanya sudah mencapai 83 orang. Selanjutnya, disusul oleh anak sebagai korban eksploitasi pekerja anak yang sudah mencapai 76 orang. Hal lainnya adalah anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak yang sudah mencapai 66 orang. Terakhir, anak korban perdagangan masih mencapai 31 orang. Angka tersebut masih di bawah pada 2016. Namun, angka 2017 tidak tertaut jauh.

Menurut Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Sholihah, terdapat tujuh faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak. Di antaranya, budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orangtua, kurangnya kesadaran melaporkananaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan serta merosotnya moral.

“Akan tetapi, pihaknya paling menyoroti pada masalah pola asuh anak. Terdapat tiga pola asuh orangtua yang dapat mempengaruhi kekerasan terhadap anak. Yakni, pola auh permissif, otoriter dan demokrasi,” ucap Ai Maryati Sholihah saat mengisi acara Parenting Skill di Aula Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Cirebon, Rabu (17/20/2019).

Baca Juga:  Dukung Peningkatan Ekonomi UMKM, PWRI Sumenep Bagi-Bagi Voucher Takjil kepada Masyarakat

Diakui olehnya, kekerasan terhadap anak bukan hanya fisik saja, tapi yang paling dikhawatirkan adalah kekerasan psikis terhadap anak. secara kasat mata, jika anak mengalami kekerasan psikis sangat terlihat secara jelas. Anak yang biasa ceria, tiba-tiba akan murung dan tidak akan banyak berbicara.

Untuk itu, kepada orangtua harus sangat hati-hati dalam menerapkan pola asuhnya. Dia menjelaskan, pada pola asuh anak permissif porang tua cendrung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa batasan dan aturan. Namun, tidak ada punishmen dan reward jika anak melakukan sesuatu. Selanjutnya, adalah otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat.

Terakhir, pada pola asuh demokrasi, ungkap dia, orang tua meminta remaja berpartisipasi untuk membuat keputusan tentang keluarga dan nasib sendiri. Hal yang paling penting adalah hargai anak dan bersikap adil. Lalu, dengarkan keluhan anak serta ungkapkan dengan jelas ketidasetujuan yang dimiliki. Baik anak atau orangtua.

“Perlu ada peringatkan lebih awal untuk menghindar ketika marah. Serta berupaya lebih akrab,” pungkasnya.

Baca Juga:  Bagai Penculik Profesional, Sekelompok Oknum Polairud Bali Minta Tebusan 90 Juta

Pewarta: Nita Nurdiani Putri
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 4