Budaya / SeniKhazanah

Pledoi Denny JA atas Pandangan Fadli Zon Soal “Puisi Esai” Bukan Temuan Baru

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Penggagas proyek buku “puisi esai” Denny JA menyambut baik pandangan Wakil Ketua DPR RI sekaligus redaktur sastra majalah Horison Fadli Zon terkait apakah puisi esai temuan baru atau bukan.

Fadli Zon, kepada jurnalis NusantaraNews.co menyampaikan penyair ternama Rusia Alexander Sergeyevich Pushkin di abad ke-18 telah menulisnovel bersanjak “Eugene Onegin” yang kini di Indonesia dianggap sebagai “puisi esai” oleh Denny JA.

Baca:
Fadli Zon Sebut Istilah “Puisi Esai” Bagus untuk Pancing Polemik
Soal Puisi Esai Denny JA, Fadli Zon: Itu Bukan Temuan Baru

Dalam pledoi singkatnya berjudul “Antara Puisi Esai dan Novel Yang Dipuisikan Karya Alexander Pushkin” yang didapat tim redaksi NusantaraNews.co, Senin (19/2/2018), Denny JA mengatakan bahwa, penting untuk mendengar apa yang disampaiak Fadli Zon terkait proyek “puisi esai” yang Denny jalankan.

Berikut ini pledoi lengkat Denny JA yang telah dikonfirmasi oleh redaksi NusantaraNews.co:

Fadli Zon itu tokoh yang serius dan banyak membaca sastra. Pandangannya soal puisi berharga untuk didengar. Termasuk pandangannya soal puisi esai.

Menurut Fadli Zon, puisi esai sudah ditemukan sejak lama. Termasuk oleh Alexander Pushkin, penyair Rusia yang mengarang Novel yang dipuisikan: Eugine Onegin.

Masih menurut NusantaraNews.co, menutur Fadli Zon, novel yang dipuisikan itu bisa disebut puisi esai. Lalu bentuk puisi esai itu terus tumbuh dalam puisi balada. Bentuk puisi esai itu sudah ditulis oleh penyair Indonesia pula sebelum Denny JA. Antara lain ditulis oleh Rendra dalam puisi panjangnya.

Saya sudah lama mendengar nama Alexander Pushkin. Namun memang saya belum pernah membaca novel puisi yang berbahasa Rusia. Saya memang tak bisa bahasa Rusia.

Gerak cepat saya cari informasi pada Om Google. Lalu membeli terjemahan novel puisi itu dalam bahasa Inggris melalui Amazon.Com, buku Kindle. Sekejap cukup informasi tersaji dihadapan saya.

Dalam sekejap terasa pula beda antara novel puisi itu dengan puisi esai. Dalam tanggapan sebelumnya, saya sudah jelaskan beda puisi esai dengan puisi Rendra atau Linus Suryadi. Kesempatan kali ini saya fokus pada novel puisi saja, Eugine Onegin, karya Alexander Pushkin.

Baca juga: [Video] Ketika Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon Tanggapi Polemik Puisi Esai

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

-000-

Cukup melihat tahun terbit novel itu, sudah terindikasi beda antara Novel Puisi Alexander Pushkin dan puisi esai. Novel puisi itu ditulis sudah lama sekali, tahun 1825-1832 secara serial. Ia lalu diterbitkan sebagai satu kesatuan di tahun 1833.

Dari sisi bentuk dan isinya, novel esai Pushkin sedikit berbeda dengan puisi panjang atau esai berpuisi dari Alexander Pope (An Essay of Man), atau TS Eliot (The Waste Land). Karya Pope dan Eliot lebih pada renungan filsafat soal hal hal besar dalam hidup yang dituangkan ke dalam puisi. Sementara Pushkin benar benar drama layaknya Novel tapi dituliskan dalam bentuk puisi.

Cukup dengan melihat tahun terbitnya novel Pushkin ini, 1825-1832, kita sudah dapat bayangan. Pastilah novel esai ini tak memiliki catatan kaki yang sentral dalam puisi esai. Catatan kaki yang kita kenal sekarang dirumuskan fungsi dan formatnya oleh Modern Langguage Association (MLA). Sementara MLA saja baru lahir tahun 1883. Yaitu sekitar lima puluh tahun setelah terbitnya novel esai itu.

Novel Pushkin itu kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa lain. Salah satunya ke dalam bahasa Inggris. Yang saya beli di Amazon.com adalah terjemahan Walter Arndt, yang diterbitkan tahun 1963.

Dalam terjemahan itu memang kita temukan catatan kaki. Namun catatan kaki itu ditambahkan oleh penerjemah ke dalam karya asli. Fungsi catatan kaki itu lebih banyak untuk menjelaskan istilah atau ungkapan bahasa Rusia ke dalam bahasa Inggris.

Itu jelas sangat berbeda dengan fungsi catatan kaki dalam puisi esai. Dalam puisi esai, catatan kaki berfungsi sebagai wakil dari fakta sosial, yang dimasukkan ke dalam puisi.

Memang catatan kaki itu yang membuat puisi esai berbeda dengan puisi naratif atau balada pendahulunya. Tak heran, Sapardi Djoko Damono sendiri, ketika memberi pengantar pada buku saya, Atas Nama Cinta, menyatakan itu. Ujar Sapardi, penggunaan catatan kaki dalam puisi esai, yang mencampurkan fakta dan puisi, belum pernah ia temukan dalam puisi lain sebelumnya.

Simak: Puisi Esai Ditolak, Denny JA: Sastra itu Samudera Luas

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

-000-

Apakah puisi esai genre baru atau bukan, tentu akan terus menjadi bahan perdebatan. Naman label genre di masa kini, atau sub genre, dalam prakteknya sudah lebih longgar. Sebagai misal, eksplorasi saja soal genre historical fiction.

Dalam satu jenis genre itu, terdapat lagi begitu banyak sub genre yang berbeda. Hanya beda satu unsur saja, tapi perbedaan yang substansial, karya baru itu bisa ditasbih membawa genre baru. Syaratnya format atau gaya karya ini juga diulang oleh karya lain.

Di situ pula letak khusus puisi esai. Catatan kaki yang membuatnya berbeda. Kini sudah hadir dan terus hadir 40 buku puisi esai, yang akan menjadi lebih 70 buku puisi esai. Sejumlah buku ini ditulis oleh 250 penyair, penulis dari seluruh provinsi Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Semua puisi esai itu menampakkan format yang sama. Setting isu sosial hadir dalam puisi melalui catatan kaki. Mengikuti konvensi yang ada, memang sebuah genre baru telah lahir.

Februari 2018

Baca juga: Denny JA Tetap Lanjutkan Proyek Puisi Esai Meski Ditolak Beramai-ramai

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Pewarta/Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 54