Puisi

Pisau Puisi dan Kelopak Mawar yang Gugur – Puisi Eddy Pranata PNP

Sembilu Cahaya

engkau yakin ia tak sepenuhnya muak padamu?
ibarat tempias hujan di teras rumahmu
masih membasahi pot melati, mawar dan anggrek
bebunga itu mata dan hatinya memancarkan
sembilu-cahaya, o– cinta!

lalu layaknya sampai di persinggahan– dalam jauh perjalanan
banyak sejarah kecil harus dituliskan
kenangan dan impian mengkristal butir keringat
: ayo, ayunkan langkahmu
hingga di persinggahan berikutnya
setelah tanjakan terjal, setelah turunan tajam
bebatuan hidup yang mengeras, pecahkan

(hanya suara balam mengoyak nyeri
dan segumpal kenangan yang melukai)

bebunga itu mata dan hatinya memancarkan
sembilu-cahaya, o– cinta!

o, chin, sudah tiba saatnya kita bicara baik-baik saja
engkau tidak melukis di dadaku
aku tidak menulis di karang hatimu
: o, engkau melesat ke ketinggian langit
aku terjun ke kedalaman laut!

Cirebah, 20 Juni 2016

Pisau Puisi

seumpana satu kata yang membuhulmu adalah pisau
ajari aku memahami satu kata saja
: pisau yang mengiris-iris leher waktu
berdarah-darah rindu dan setia
pisau yang diam-diam kausembunyikan
di balik baju kepenyairanmu
tajam dan berkilat-kilat!

aku memilih bertualang hanya bersama Puisi
yang selalu memelukku dengan tangan kasih

dan kelak akan kauziarahi kuburan bernisan batu
tanpa namatanpa taburan bunga
belukar kecil menutupnya
hanya sebaris sajak menempel di batu nisan
: kematian adalah cinta paling abadi!

Cirebah, 6 Juni 2016

Puisi yang Retak Dalam Otak

dedaunan bergoyang, angin yang mengelusnya
setelah itu kedipkanlah matamu

akan tampak kupu-kupu terbang merendah
dengan sayapnya yang rapuh hinggap di ranting kering

sesaat kemudian kupu-kupu dengan sayap rapuh itu
masuk ke dalam rumahmu lewat jendela yang terbuka
berputar-putar di atas kepalamu lalu masuk ke dalam ubun-ubun
memecah puisi yang retak dalam otak!

Cirebah, 5 Juni 2016

Kalian Tidak Tahu
Menjelang Malam Bulan Sabit
Aku Tersenyum dalam Ritmis Zikir

airmatamu berguguran tetapi engkau tersenyum
tanganmu kian erat mendekap edelweis
bibirmu bergetar-getar: “aku lebur pada edelweis
yang tumbuh di sela batu karang”

kaubangun rumah mimpimu di sisa usia
menjadi istana kecil penuh bunga
kaupasrahkan tubuh dan senyummu
tapi tidak hati dan jiwamu

seumpana gelas retak kautuang anggur
: kaukubur seluruh rahasia dalam liang puisi
liang yang tajam!

dan bila aku dan dirimu matahari senja
semburatnya sangat bersahaja
sangat berwarna

kalian tidak tahu

menjelang malam bulan sabit
aku tersenyum dalam ritmis zikir.

Cirebah, 30 Mei 2016

Langit Hati ‘Weisku

di sekujur tubuhmu yang mulai mengeriput
berapa banyak kausembunyikan sajak-sajakku
yang kauambil dari masa lalu dan masa depanku
dari keringat, luka, kerlip mercusuar dan gelora laut?

o, dari segala yang membuat rindu!

ilalang tumbuh di atas kubur
siapa yang membersihkan dengan mata berlinang
apakah nueiku yang sangat kaurindu?

dengan sebait sajak kaucipta
kunang-kunang di penghujung malam
kauikuti ke mana terbang
: menyusuri jalan kampung, ke bukit, ke lembah
lalu melesat ke langit paling tinggi
langit hati ‘weisku!

Cirebah, 28 Mei 2016

Kelopak Mawar yang Gugur

untuk menyembunyikan airmatamu yang bercucuran
engkau mandi hujan dan berdendang
tapi kalau mau lebih memperhatikan jelas terdengar ratapan
: “sejauh melangkah berujung ke dinding sesal
sedalam menyelam membentur bebatuan berlumut tebal”
lalu kaukemas masalalumu yang retak dengan tangan dan tubuh gemetar
susah payah kaumenyeruak dari balutan kabut yang tiba-tiba mengurung
dan setiap airmatamu bercucuran
kuduga engkau akan terus mandi hujan
dan berdendang walau jelas serupa ratapan
: “perih dada ini bukanlah karena luka
tapi lebih karena kelopak mawar yang gugur!”

Cirebah, 11 Mei 2016

Eddy Pranata PNP
Eddy Pranata PNP

*Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah, sebuah dusun di pinggiran barat Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatera Barat.  Sehari-hari beraktivitas di Disnav Ditjenhubla di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016).Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Kanal, Jejak, Indo Pos, Suara Merdeka, Padang Ekspres, Riau Pos,  Kedaulatan Rakyat, Batam Pos, Sumut Pos, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Radar Banyuwangi, Solopos dan lain-lain. Puisinya juga terhimpun dalam beberapa antologi bersama: Rantak-8 (1991), Sahayun (1994), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Pinangan (2012), Akulah Musi (2012), Negeri Langit (2014), Bersepeda ke Bulan (2014), Sang Peneroka (2014), Metamorfosis (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Negeri Laut (2015), dan Palagan Sastra (2016), dan lain-lain.

Related Posts

1 of 150