Berita UtamaKolomOpini

Pilkada: Pragmatisme Versus Idealisme – Opini Slamet

Negara tanpa Kepala Negara - Lukisan  Bismar Siagian
Negara tanpa Kepala Negara – Lukisan Bismar Siagian

NUSANTARANEWS.CO – Pasca dibelakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai tahun 2005 lalu, dinamika politik di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal itu ditunjukkan dengan pertarungan politik di daerah yang sebelumnya hanya menjadi domain elite politik di daerahnya masing-masing, kini berubah menjadi domain publik. Kebijakan ini pun berdampak pada “menularnya” konflik politik pada masyarakat kelas bawah yang semakin runcing. Padahal, sebelum partisipasi langsung masyarakat diberlakukan, konflik politik seolah hanya menjadi “suguhan” bagi masyarakat kelas elite yang paham politik dan aktif dalam kegiatan politik praktis.

Alhasil, dengan adanya keterlibatan masyarakat secara langsung, maka muncullah pendekatan-pendekatan secara masif yang dilakukan oleh para elite politik dalam rangka memenangkan hati para calon pemilihnya. Tidak hanya berlomba-lomba menyampaikan visi dan misi, pola pendekatan elite politik kepada masyarakat kelas bawah juga dilakukan melalui pemberian imbalan yang berbentuk praktis, seperti uang dan barang. Inilah yang menjadi awal dari “tradisi” money politik berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Meski demikian, tidak bisa digenelarisir bahwa pola pikir masyarakat hanya terpaku pada model pemikiran yang pragmatis. Di sisi lain, masih banyak kelompok-kelompok masyarakat yang masih memiliki idealisme tinggi dalam menentukan pilihan politiknya. Oleh karena itu, pertarungan Pilkada pada hakikatnya adalah pertarungan dua kutub pemikiran besar; idealisme dan pragmatisme. Secara umum, idealisme dipahami sebagai sebuah keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, budaya dan kebiasaan.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Sambut Kunjungan Deputi 3 Bidang Penanganan Darurat BNPB

Sementara itu, lawan dari idealisme adalah pragmatisme, yakni aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Tentu ini adalah dua kutub pemikiran yang sangat bertentangan dan tidak bisa disandingka satu dengan yang lainnya. Dalam ajang Pilkada, pertarungan dua kutub ini tidak bisa dihindari karena secara umum, tipologi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya terbagi ke dalam dua model tersebut.

Pragmatisme – Idealisme Elite Vs Kelas Bawah

Pola pikir pragmatis tidak hanya menjangkiti masyarakat kelas bawah yang memang secara kemampuan ekonomi berada di bawah rata-rata. Namun, pola pikir tersebut juga menjangkiti kelas elite yang nyatanya secara ekonomi dan pendidikan lebih mapan. Oleh karena itu, tidak adil rasanya jika istilah pragmatis hanya dilabelkan pada masyarakat kelas bawah, padahal realitasnya ia menjangkiti seluruh level masyarakat termasuk tokoh agama, aktivis, hingga kaum cendekia.

Baca Juga:  Aglomerasi RUU DK Jakarta

Bagi kelompok ini, maka dalam menjatuhkan pilihan politiknya akan ditentukan oleh seberapa besar “imbalan” yang mereka dapatkan atau akibat apa yang akan ditimbulkan secara praktis. Imbalan yang dimaksud, tidak semata-mata pada uang atau pun barang, namun juga pada jabatan dan status tertentu. Inilah yang dikatakan bahwa pragmatisme tidak hanya terjadi pada kelas masyarakat kelas bawah, tapi juga pada masyarakat kelas atas. Hanya saja, pragmatisme keduanya memiliki level yang berbeda. Jika pada masyarakat kelas bawah, wujud dari pragmatisme ditunjukkan dalam bentuk uang dan barang, maka pragmatisme pada kelas elite bisa saja berupa uang, barang dan jabatan.

Pragmatisme elite ini memiliki efek yang sangat besar, mengingat patron klien di Indonesia masih sangat kuat. Oleh karena itu, jika elitenya sudah terjangkit pragmatisme, maka akan dengan mudah menular kepada masyarakat kelas bawah yang mengikutinya. Mengetahui kekuatan inilah justru tidak sedikit elite masyarakat yang “menggadaikan” pengaruhnya untuk mencari keuntungan secara pribadi. Jika demikian, maka arah keberpihakan pemerintah daerah selanjutnya tidak bisa diharapkan, karena secara subtansi jabatan yang diembannya adalah buah dari pembelian suara, bukan pengabdian.

Baca Juga:  Wabup Nunukan Hadiri Rembug Stunting dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim

Sebaliknya, untuk masyarakat dan elite yang memiliki pola pikir idealis, penentuan politik akan sangat dipengaruhi oleh objektivitas. Alhasil, kelompok ini akan melihat pilihan politik sebagai pilihan jangka panjang yang akan menentukan keberlangsungan pembangunan daerah. Dalam kaitannya dengan masih kuatnya patron klien di Indonesia, maka pola pikir elite yang semacam ini akan mampu mempengaruhi publik dalam menentukan pilihan politiknya. Sayangnya, arus pragmatisme telah menggerogoti banyak level elite dengan kemasan “realistis.” Bahasa ini adalah bungkus yang lebih halus istilah pragmatis, karena memiliki titik temu pada pemikiran yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek.

Adapun masyarakat kelas bawah semakin melanggengkan pragmatismenya karena level elite yang menjadi acuan menyediakan seperangkat hal untuk menyuburkan pola pikir pragmatisnya. Jika demikian, maka siapa harus menunjukkan idealismenya terlebih dahulu? Tentu jawabannya adalah kelas elite, karena dala status sosial masyarakat yang masih menganut patron klien, pilihan elite akan berpengaruh besar pada keputusan masyarakat kelas bawah[]

*Slamet, Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini menjadi Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Bidang Hubungan Internasional.

Related Posts

1 of 11