HankamHukumOpiniPolitik

Pilkada 2018 Entry Point Memberangus Isu SARA dan Politik Berbiaya Tinggi

Hampir 20 tahun usia demokrasi diperjuangkan oleh mahasiswa pada tahun 1998 dulu hanya baru memberi peluang kepada para elit politik kebebasan berebut kekuasaan. Era Soeharto yang otoriter dan diktator mengkebiri kemerdekaan berpolitik rakyat sehingga demokrasi menjadi sebuah tuntutan untuk menjalankan tatanan berbangsa dan bernegara selanjutnya.

Maka pada demokrasi sekarang mendirikan partai dipermudah tanpa ada lagi tekanan kekuasaan atau pembatasan. Bagi putera-puteri Indonesia bisa berkiprah mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif maupun eksekutif baik secara individu maupun kepartaian.

Namun demokrasi Indonesia ada 3 titik lemahnya. Pertama, sistem demokrasi berbiaya tinggi (high cost). Tidak rahasia lagi, seseorang ikut berkiprah dalam dunia politik dengan sistem Pemilu,Pilpres dan Pilkada yang terbentuk sekarang harus mengeluarkan uang dari koceknya dengan jumlah angka fantastis yang tidak sembarang orang bisa menjangkaunya. Cost itu jauh melebihi modal mendirikan sebuah perusahaan bisnis berskala besar.

Untuk seorang caleg DPRD tingkat Kabupaten saja harus menyiapkan dana saksi dan kampanyenya serta atribut sebanyak ratusan juta rupiah dan untuk DPR RI bisa mencapai miliaran rupiah. Sedangkan untuk seorang Calon Bupati/Walikota membutuhkan biaya politik mencapai puluhan miliar rupiah dan untuk Gubernur bisa mencapai ratusan miliar untuk membiayai saksi, mesin partai dan tim sukses serta ditambah biaya kampanye dan media sosialisasi.

Kedua, politik transaksional. Sudah jadi rahasia umum juga, perpolitikan Indonesia penuh transaksional terutama pada Pilkada dan Pilpres antara calon Bupati/Walikota/Gubernur/Presiden dengan partai pengusung serta tim-tim pendukung lainnya. Membayar uang mahar untuk diusung oleh partai dan biaya jasa tim sukses. Transaksional ini bisa berupa posisi jabatan dan jatah proyek jika menang. Transaksional juga berupa bargaining position kelompok-kelompok preman dan kaum radikal agar terus bisa eksis dan tumbuh mengembangkan sayapnya.

Ketiga, isu SARA yaitu mengunakan isu sentimen-sentimen Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Sahwat berkuasa begitu besar, para konsestan politik cenderung menghalalkan segala cara. Dengan mengunakan isu SARA dan fitnah (black campaign), kontestan melalui tim suksesnya menyebarkan hasutan kebencian kepada lawan politiknya. Seperti Jokowi difitnah PKI dan anti Islam. Ahok adalah korban nyata kampanye SARA pada pilkada DKI 2017. Ahok sebagai etnis Cina dan berasal dari kalangan nasrani diserang kampanye SARA bertema anti Nasrani dan Cina.

Baca Juga:  Sumbang Ternak Untuk Modal, Komunitas Pedagang Sapi dan Kambing Dukung Gus Fawait Maju Pilkada Jember

Terbongkarnya demokrasi uang

Pada Pilkada 2018 sekarang membongkar permainan 3 hal yang saya uraikan diatas. Terbongkarnya skandal tersebut sebenarnya bukan hal yang aneh adanya mahar politik. Tapi sayang tidak pernah diproses alias patah dijalan.

La Nyala Mattalitti membongkar mahar politik yang terjadi selama ini dan sekaligus tingginya biaya politik berkompetisi dalam Pilkada.

La Nyala kader Gerindra dan seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 menyatakan bahwa dia dimintai uang Rp 40 miliar untuk uang saksi yang harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Kalau tidak bisa La Nyalla tidak akan direkomendasikan sebagai Calon Gubernur Jawa Timur.

Berdasarkan pengakuan La Nyala saat bertemu dengan Prabowo, dia ditanyakan kesiapan untuk uang saksi. Satu saksi Rp 200.000. Di tiap TPS ada dua saksi. Jumlah TPS mencapai 68.000 TPS. Dengan hitungan itu maka La Nyalla harus menyiapkan Rp 28 miliar untuk saksi. Tapi, kata La Nyalla, yang diminta justru Rp 48 miliar. Uang itu harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017.

Dia mengaku sudah mengucurkan Rp 5,9 miliar yang diterima oleh Tubagus Daniel Hidayat (Bendahara La Nyalla) dan diserahkan ke saudara Fauka. La Nyalla mengatakan, Prabowo justru merespon dengan marah-marah dan memakinya dan lalu membatalkan pencalonannya.

Tidak itu saja, La Nyala juga membongkar biaya yang harus disiapkan pada Pilkada. La Nyala diminta kesiapan untuk sanggup menyediakan uang Rp 200 miliar. Nilai angka yang sangat fantastis untuk bertarung menjadi Gubernur. Suatu jumlah angka yang merusak nilai-nilai luhur dalam sistem demokrasi. Omong kosong besar, demokrasi adalah menjadi sebuah cara yang baik dalam melahirkan pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang tulus dan bekerja untuk rakyat jika beban biaya politk yang begitu besar ditanggung oleh kandidat dalam berkompetisi.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Bukti Pemimpin Pilhan Rakyat

Terbongkarnya demokrasi SARA

Tak kalah pentingnya pada Pilkada 2018 juga membongkar praktik Isu SARA. Terbentukya koalisi antara Partai pendukung Jokowi (Pilpres 2014) dan Ahok (Pilkada DKI 2017) dengan partai kontra Jokowi atau Ahok dibeberapa daerah pada Pilkada 2018 ini juga membongkar permainan isu SARA dalam berdemokrasi akhir2 ini mengancam keutuhan NKRI serta kerukunan berbangsa bernegara.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Jokowi dan Ahok serta partai pendukungnya diserang oleh lawan politik mereka dengan isu SARA yang dilakukan secera sistematis, terstruktur dan masif. Kelompok tersebut terkenal dengan sebutan Alumni 212 yang pernah menggalang aksi berjilid-jilid mengunakan sentimen SARA untuk membangun kebencian kepada Ahok pada Pilkada 2017 kemarin dan pembunuhan karakter Jokowi yang masih terus berlangsung pada saat sekarang ini.

Pada Pilkada 2018, PKS dan Gerindra memberikan dukungan pada Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno yang diusung oleh PDIP. Hal itu menimbulkan kekecewaan kelompok 212 atas rekomendasi mereka yang tak digubris oleh tiga parpol, yaitu Gerindra, PKS dan PAN di mana satu di antaranya rekomendasi untuk mengusung La Nyalla Mahmud Matalitti pada Pilkada Jawa Timur 2018

Selain di Jawa Timur juga mengusung satu paslon di Sulawesi Tenggara. Di tingkat kabupaten/kota, keempat partai tersebut berkoalisi di 16 wilayah, seperti Magetan, Lebak, Tangerang, dan Kota Tangerang. PDIP sendiri berkoalisi dengan PKS di 33 wilayah, Gerindra di 48 wilayah dan PAN di 58 wilayah.

Kelompok tersebut berharap bahwa Koalisi Partai 212 (PKS, PAN, Gerindra dan PBB) tetap solid dan tidak berkoalisi dengan partai yang mereka tuding sebagai partai pendukung Penista Agama dan PERPPU ormas.

Dalam jumpa pers bersama La Nyalla Mattalitti di sebuah restoran di kawasan Tebet, Jakarta Selatan tanggal 11 Januari 2018, Al Khaththath Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam membongkar keterlibatan Alumni 212 di dalam politik praktis dengan mengunakan isu Islam.

Baca Juga:  Wacanakan Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Golkar Sebut Ganjar Kurang Legowo

Dalam keterangan Al Khaththath bahwa kemenangan Anies-Sandi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 tak lepas dari peran para ulama 212. Dia menganggap para ulama tersebut sudah memperjuangkan dengan pengerahan aksi bela Islam 212 berjilid2 dengan semangat 212 dan semangat Al Maidah 51. Al Khaththath mengatakan bahwa Habib Rizieq berpesan kepada ketiga ketum (Gerindra, PKS dan PAN) adalah partai-partai mereka menggunakan metode yang sama untuk mencapai kemenangan di Pilgub DKI. Rizieq ingin agar metode tersebut ditiru di pilkada-pilkada lainnya.

Jadi, jelas sudah dari keterangan Al Khaththath tersebut bahwa isu SARA begitu vulgarnya dimainkan dalam demokrasi sekarang. Negara seperti membiarkannya. Kepolisian seperti gamang menyeret kelompok tersebut atas praktik SARA yang melanggar hukum.

Resolusi bangsa

Sekarang pertanyaan bangsa ini, apakah sistem demokrasi yang terbentuk sekarang ini dibiarkan atau dicarikan suatu formula baru?

Munculnya kasus politik berbiaya tinggi yang dibongkar La Nyalla Matalitti dan kejujuran Al Khaththath membuka pengunaan isu SARA dalan berdemokrasi seharusnya menjadi kajian kita bersama membangun tatanan negara yang melindungi segenap bangsa dan persatuan Indonesia serta menjamin terlaksananya demokrasi yang membuka kesempatan kepada putera-puteri Indonesia untuk mengabdi dalam pemerintahan tanpa beban biaya.

Negara tidak boleh lengah atas kejahatan berdemokrasi tersebut karena dapat memporak-porandakan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta memicu konflik berdarah massal. Negara tidak bisa sekedar melakukan himbauan moral saja atau melalui pendekatan politik maupun cara persuasif. Negara harus mempersiapkan produk hukum yang keras tanpa kompromis dan membentuk lembaga khusus menindak praktek tersebut.

Jika kasus isu SARA dipercayakan pada prosedur hukum yang berlaku dan perangkat yang ada sekarang tidak mustahil berapa lama lagi Indonesia mengalami kehancuran. Jika sistem berdemokrasi berbiaya tinggi, alangkah tololnya rakyat hidup di negara penuh tipu-tipu politik berwajah malaikat tetapi mengkorup dan menindas bangsa ini.

Oleh: Aznil, Aktivis Pospera & Presidium PENA ’98

Related Posts

1 of 12